Bukan Dungu, Tapi Keliru
10170 View
*Ikrom F.
(Catatan untuk Muhtadi ZL)
Muhtadi ZL, sang cerpenis itu, adalah seorang pecinta—meski ia jenis pecinta yang agak-agak gimana. Kala ini ia jatuh cinta dengan manusia etis yang dilalui oleh fungsional kinerja otak. Atas pandangan homo sapiens milik Yuval Noah Harari, ia merasa manusia saat ini banyak kerancuan, kerusakan dan kemerosotan dalam memaknai realitas. Benarkah yang dikatakan pecinta satu ini? Benarkah manusia modern, yang secara kognitif telah menggeser bangsa purbakala, masih punya sikap seperti itu?
***
Dalam esainya, Muhtadi menjelaskan bahwa manusia yang memiliki kapasitas otak begitu besar, seharusnya dituntut banyak berpikir untuk mengatasi situasi polemik yang terjadi. Ia berkeyakinan, algoritma logika dan hati dapat memberi solusi yang pasti, maka naif bila seseorang punya sikap hewani:
Dari penemuan ilmiah yang spektakuler tersebut, seharusnya manusia lebih banyak berpikir untuk mengatasi berbagai macam polemik, baik yang kontinu atau deskontinu. Mengingat dengan kapasitas otak yang besar dan dibatu akal serta hati yang mulia seharusnya manusia begitu naif bilamana masih bersikap serupa mamalia atau hewan secara universal.
Benarkah? tidak juga
Muhtadi melewatkan pemahaman dasar tentang otak, fungsi dan tata cara penggunaannya serta penjabaran dari Noah—nama akrab yang saya berikan dan selanjutnya begitu. Bab awal yang menerangkan “Hewan tak Berarti” bukan hanya menyimpulkan data sains. Di situ, juga dijelaskan tutorial evolusi otak agar sebanding dengan kebudayaan manusia, yang terawat, yang terjaga. Beberapa kali, bahkan, Noah mengklarifikasi kapasitas otak tak bisa jadi alat bantu serta sejenisnya untuk menilai kecerdasan manusia.
Mari saya kutipkan paragrafnya;
Bahwa evolusi seharusnya mengunggulkan otak yang lebih besar mungkin sepertinya, yah, tak perlu otak cerdas untuk bisa dipahami. Kita sedemikian terpesona oleh kecerdasan kita yang tinggi sehingga menganggap bahwa dalam hal otak, semakin besar pasti semakin baik. Namun bila benar demikian, famili kucing pastilah juga telah menghasilkan kucing yang bisa menghitung-hitung kalkulus.
Hal ini menunjukkan bahwa Muhtadi sangat senang menyimpulkan hal-hal yang sulit dimengerti. Dia asal memaknai kalimat “kapasitas otak” tanpa sesekali ragu, adakah maksud lain yang diberikan Noah? Padahal Noah, di buku itu, lebih tertuju kepada penggambaran keanehan homo sapiens, sebagai satu-satunya genus yang unggul dalam tatanan kindom hewan, yang dimulai dari evolusi otak. Perkembangan evolusi otak, kemudian berindikasi pada soal budaya, pengetahuan dan ilmu. Fakta literal ini oleh Noah, selanjutnya diberi ‘penekanan’ bahwa jika kapasitas otak (akal) itu besar, maka dampak buruk juga besar.
Saya tidak akan panjang lebar membahas manusia modern yang dijelaskan Muhtadi. Baiklah, pandangan manusia saat ini tidak bisa menjadi bias perilaku mereka, adalah salah-tidaknya kebenaran (?) tetapi mengklaim manusia yang sama seperti hewan, bila akalnya tak digunakan itu benar-benar bermasalah. Sebab garis pemisah yang perlu dibawahi, yaitu perbedaan antara manusia dan hewan, yang terletak di akal. Titik. Cuma apabila menganggap pengetahuan manusia yang belum berhasil menciptakan manusia beradab, adalah sebuah pernyataan yang gagah perkasa tapi maaf, gegabah.
Tentu, jika kita berpikir, pikiran kita saja belum mampu mencapai hal-hal di luar pengetahuan manusia murni. Sebab kita masih bergantung pada manusia lain untuk sekedar memenuhi hidup. Seperti Desmond Stewan yang menganggap, di masa modern umat manusia bergantung pada segalanya. Saya perlihatkan sepenggal kutipannya;
Manusia modern—sangat bergantung pada obat-obatan, kemahiran dokter, hitungan komputer, dan ramalam-ramalan perencanaan ekonomi.
Ketergantungan ini akhirnya memaksa manusia perlu bertekuk lutut pada hal-hal yang melampaui batasannya. Batas-batas yang dimilikinya pun, tidak hanya berupa akal, tapi tubuhnya. Contoh dalam pengetahuan agama yang sering kita terima dan amalkan; kita bisa saja menerima ilmu aqidah bahwa Allah itu ada, namun melakukan riset kebenaran Allah itu harus ada di mata, itu mustahil. Kemustahilan melihat zat Allah yang punya sifat mukhalafatu lil wahadisti tidak akan sama dengan kita bisa lihat pohon secara empiris.
Atau saat kita merenungkan cerita kuasa Tuhan dan kuasa hamba; Seorang anak perempuan India berumur 12 tahun yang mati ketika harus berjalan kaki kembali ke kampungnya—150 km dari kota yang dilockdown.
Di saat itu terjadi, kita akan merasa takut dan cemas untuk menyalahkan Tuhan, sebagai sang pencipta malapetaka. Menganggap baik peran Tuhan, termasuk cara etis kita. Bahwa di balik segala sesuatu musibah adalah ujian bagi hamba, juga gadis perempuan itu. Bahwa Tuhan yang Adil dan Bijaksana—meminjam kalimat Goenawan Muhammad—pasti punya alasan mulia. Bisakah kita bertanya, apakah Tuhan sangat menginginkan kematian gadis itu sebagai pengingat menjelang akhir kisah kita di dunia?
Setidaknya, cerita dan pandangan agama membuat kita berhenti bernalar secara radik. Karena metode yang kita terima sementara ini, akan menyebabkan pada bias pengklaiman profil kita sendiri. Di situ, akal sudah melakukan sidang munaqasah penelitian tentang kajian teorinya, apakah hasilnya benar-benar sama dengan realitas.
Hal ini saja membuat pikiran kita pusing. Meski kapasitas otak memiliki bobot besar ketimbang mamalia, batasan itu masyqul terjadi. Memang kita tak pernah memikirkan seberapa besar peran pengetahuan, dalam menyoal perilaku buruk manusia. Tetapi, kecerdasan beretika, sebenarnya, tak membutuhkan ilmu apapun. Tidakkah Muhtadi ingat akan pertanyaan; walau tanpa agama, apakah manusia bebas melakukan zina?
Batas akal itu yang sama sekali belum ada dalam tulisan Muhtadi. Sah-sah saja, hal itu dilakukan sebagai alat justifikasi tulisannya yang tentu mengekor kepada pandangan konservatisme manusia beretika, yang pikirannya sehat, yang hatinya tepat. Namun garis pemisah ilmu dan etika, saya kira itu perlu ada. sebab akal manusia yang terbatas, harus dipaksa untuk berpikir fenomena busuk tingkah lakunya, dan itu agar beda dengan hewan, termasuk salah satu kekeliruan dalam berpikir.
*Penikmat pemikiran Islam kontemporer