Literator Pesantren, Upaya Pemberdayaan Santri Milenial
5859 View
Oleh: Nur Faizah*
Perkembangan zaman yang semakin pesat memberikan dampak yang begitu besar bagi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada lompatan atau goncangan dan pergeseran dalam kehidupan yang dialami manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dengan dampak-dampak yang ditimbulkan baik positif dan negatif telah menyulap manusia dan dunianya menjadi sesuatu yang berbeda dari masa sebelumnya. Kebutuhan hidupnya, karakter dasarnya, cara pandangnya, mentalitasnya, semua berubah. Hal ini tentu dapat dilihat pada praktek kehidupan manusia dalam menjalani ritme kehidupannya sehari-hari.
Pesantren sebagai salah satu pusat kajian keilmuan yang berperan dalam pengembangan peradaban suatu bangsa, tidak boleh lagi berada dalam ketinggian ‘langit’ yang hanya mengkaji teori tanpa melihat, menganalisis dan menyesuaikan dengan situasi sosial kemasyarakatan sekitar. Pesantren melalui visi misinya semestinya menjadi pihak terdepan dalam merespon setiap problematika masyarakat.
Kemudian, apa yang terjadi dalam dunia pesantren saat ini? timbul tanda tanya dalam benak kita, yang terjadi dalam dunia pesantren saat ini hilangnya tradisi literasi. Hilangnya tradisi literasi dalam dunia pesantren menuntut kita membutuhkan penalaran reflektif sekaligus mengakuinya sebagai permata yang hilang.
Di tengah kegamangan aktivitas literasi itu, pesantren telah dibajak oleh kebijakan pemerintah yang melakukan gerakan pukul rata penerapan konsep pendidikan karakter di tiap-tiap lembaga pendidikan. Apa ini tidak terbalik? dari mana sejarahnya pesantren di suguhi kebijakan pendidikan karakter? Mengapa harus serba di administraftifkan akhlak bangsa ini? Tidakkah model pendidikan jurusan pesantren mesti di copy paste sebagai kiblat pendidikan massal dan nasional?
Dapat anda bayangkan hari ini, seluruh lembaga pendidikan bermerek negeri terus-menerus kecipratan anggaran, tapi toh buktinya tidak semakin mencerdaskan kehidupan anak bangsa, setidaknya jika diukur dari garis linier antara kecakapan intelektual dan kesantunan emosional. Pendidikan terlalu menjadi sesuatu yang elite dalam masyarakat sehingga keakrabannya dalam masyarakat kurang terasa. Buktinya, sekolah-sekolah negeri saat ini telah terlanjur masuk dalam arena pemenuhan target dengan iming-iming dan kalkulasi finansial.
Pendidikan merupakan menara gading literator yang sekaligus pabrik bagi produksi. Dari fakta tersebut, menuntut kita untuk mengubah sistem pendidikan, sehingga pendidikan Indonesia mampu menghasilkan literator yang tidak asing dengan denyut kehidupan masyarakat serta gejolak perkembangan dan kebutuhannya dan juga mengenali dimensi lain diluar disiplin keilmuannya. pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun suatu bangsa. Pendidikan dapat membuat suatu bangsa beserta masyarakatnya menjadi maju, karena melalui pendidikan dapat dikembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas sesuai tuntunan dan kebutuhan masyarakat. Bandingkan dengan pesantren yang minus anggaran, ditengah gemparan sekolah negeri yang ditancapkan diberbagai penjuru mata angin, sikap bertahannya masih menyisakan generasi yang siap pakai ditengah-tengah masyarakat, bahkan tidak tamat pendidikan sekalipun.
Menurut penulis, untuk tidak berlama-lama kesendirian pesantren dalam membangkitkan ghirah-nya, tradisi literasi dapat memberi jawaban sekaligus kekuatan, iklim tulis-menulis mesti digalakkan, pemerintah, media serta seluruh pegiat literasi punya peran menyemangati bahkan menyokongnya. Tradisi literasi adalah warisan nusantara. Dari sanalah, warisan nusantara ini akan menunjukkan kesejatiannya sebagai pemasok Sumber Daya Manusia (SDM) yang bergaransi. Semangat literasi pesantren akan menjadi corong pencerahan masyarakat ditengah-tengah mimbar masjid yang kian hambar. Anggaplah ini sebagai keadaan dharurat yang memutlakkan adanya sikap dan respon yang mendadak. Dengan begitu, tidak mengapa jika mendiskusikan sikap tradisi literasi dalam dunia pesantren sebagai gagasan daur ulang. Namun yang terpenting, menyegerakannya sebagai praktek keseharian dalam dunia pesantren. Bukankah menyegerakan hal baik itu bagian dari pesan agama?
Desakan ini jauh lebih penting daripada keinginan menggiring santri pada jurusan-jurusan yang hanya laris-manis pada setiap olompiade sekolah, namun tak punya manfa’at kesemestian bagi kehidupan yang lebih nyata. Dari semangat pergumulan literasi, suara pesantren dapat menjelaskan dirinya sebelum pada akhirnya dijelaskan para orientalis. Dari tradisi literasi, pesantren mampu membungkam, menangkis para penghujatnya. Dari tradisi literasi, keberkahan itu tercurah membasahi peradaban bangsa ini.
Diakui secara umum bahwa tradisi literasi dalam dunia pesantren merupakan unsur penting dalam proses pembangunan suatu bangsa itu sendiri (Indonesia). Lebih-lebih jika bangsa itu sedang membentuk watak dan kepribadian yang lebih serasi dengan tantangan zaman, yang pada akhirnya akan mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata, material dan spiritual, yang akan membentuk literator pesantren dan membangun masyarakat Indonesia yang seutuhnya, karena literator pesantren selain sebagai ujung tombak Indonesia secara umum juga sebagai upaya pemberdayaaan santri dalam dunia pesantren secara khusus, utamanya sekarang ini (milenial).
Penulis mengharap kepada para literator pesantren tidak hanya apa yang telah disebutkan diatas, tapi juga mampu meningkatkan harkat dan martabat pesantren itu sendiri, menumbuhkan sikap hidup yang seimbang dan berkepribadian utuh yang memiliki moralitas dan integrasi sosial yang tinggi. Wallahua’lam.
*Tulisan ini dinobatkan sebagai juara III lomba Esai dalam Festival Hari Santri Nasional 2019 oleh PP. Annuqayah Lubangsa Selatan*Nur Faizah, merupakan santri Lubangsa Putri, bergiat di CPK- Lubri, LPM-Dinamika, Supernova Ikstida, Kompas Pasra,berdiam diri di lembaga Daarul Qur’an Lubangsa Putri.