Beberapa Kekeliruan (Mengenai) Sarjana
2655 View
*Nur Fadiah Anisah
Wisuda adalah tujuan akhir bagi mahasiswa setelah melalui banyak tugas dan materi perkuliahan. Wisuda tetap dinilai sebagai sesuatu yang berharga, istimewa dan sakral. Wisuda ialah kebanggaan orang tua, sanak saudara, dan kampung halaman. Tetapi banyak yang lupa bahwa wisuda hanyalah perayaan kelulusan. Simbol bagi berakhirnya ‘mata rantai’ perkuliahan. Di sisi lain, ia juga menjadi simbol bagi bermulanya sebuah kehidupan praksis di mana pengalaman selama kuliah harus diterapkan. Seseorang yang diwisuda dipandang sebagai orang yang maha tahu setelah Tuhan, Kiai, guru, dan ilmuan. Mereka menjadi titik tumpu harapan. Bagi banyak orang, mereka ialah sumber inovasi dan gerak perubahan. Bahkan bagi masyarakat kebanyakan, wisuda diharapkan menjadi pintu gerbang menuju ‘kebahagiaan’ dari ‘penderitaan’ yang bersifat material. Masyarakat kita sering mengidam-idamkan garis nasib anaknya tidak sama seperti orangtuanya yang petani dengan gelar kesarjanaan yang diraihnya. Mereka mengatakan hal itu seolah bertani ialah lumbung kesengsaraan dan pekerjaan memalukan. Padahal, bertani dalam struktur masyarakat agraris merupakan kodrat, jodoh kehidupan. Seperti kodrat tawar bagi air sungai.
Bertani dalam masyarakat agraris tidak perlu disesali. Sebaliknya, ia patut disyukuri. Untuk kebutuhan bahan pokok pangan, kita tidak perlu risau. Kita hanya tinggal menikmati panen yang dihasilkan. Tetapi saya tidak mengatakan bahwa seluruh masyarakat di wilayah agraris harus menjadi petani. Pasti, pasti ada orang-orang yang tidak demikian. Hal ini menjadi harmoni dalam kehidupan. Menjadi warna dalam ragamnya perbedaan.
Kekeliruan praduga sebagian orang mengenai ke-maha tahu-an sarjana harus diubah. Semua orang bisa lulus dan menjadi sarjana. Tetapi apa nilainya? Ada A+ hingga C-. Ada yang aktif di organisasi, ada mahasiswa yang sekadar ke sana ke mari, ‘numpang nama’ di setiap tugas dan macam-macam mahasiswa lainnya. Mahasiswa yang ‘menanam biji’ selama masa kuliah akan memetik hasilnya di kemudian hari sedangkan mahasiswa yang menjadi penonton saat temannya ‘menanam biji’ tetap akan menjadi penonton saat temannya memakan buah hasil tanamannya sendiri (kecuali temannya berbagi J).
Maka demikian, diperlukan ‘gerak ganda’ dalam menyiasati stereotipe baik orang mengenai sarjana. Pertama, seharusnya mahasiswa mengamini stereotipe yang melekat padanya. Mengamini dalam hal ini tidak berhenti pada kata meng-iya-kan semata tetapi juga mengusahakan serta memantaskan diri menuju stereotipe itu. Kedua, orang-orang tidak terlalu memandang sarjana sebagai makhluk yang serba bisa. Ia masihlah makhluk Tuhan dengan segenap keterbatasan. Membebani (calon) sarjana dengan pertanyaan seputar kemapanan dan jodoh dapat berakibat fatal, bagi mereka yang lemah iman. Wallahu a’lam.
*Tulisan ini dimuat di Buletin Coffelatte52