Serba Serbi Hari Raya Ketupat
8361 View
Tulisan ini sekadar basa-basi, khususnya untuk muda-mudi. Ia merupakan sebongkah aspirasi penulis pribadi tentang gebyar tahunan yang sudah mentradisi. Walau berupa basa-basi, tak ada salahnya pembaca menikmatinya dengan sedemikian menghayati. Pasalnya, kebenaran tak hanya dari hal besar yang kita temui, namun boleh jadi dari perkara sederhana yang luput dari refleksi. Karenanya, semoga basa-basi ini menetaskan inspirasi yang adiluhung nan berarti.
Hari raya adalah momen tahunan yang dinanti-nanti. Bukan hanya janji Tuhan yang menggiurkan, tapi semarak serba hal baru juga merupakan daya tarik hari raya. Dalam Islam, hari raya sebenarnya ada dua; Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi, masyarakat Madura, barangkali masyarakat yang lain pula, menambahkan hari raya ketupat. Apakah hari raya ketupat ini bid’ah? Kalau masih repot untuk cari dalil, kita pakai dalil sederhana, tapi mengena. Hari raya ketupat hakikatnya adalah mensyukuri kesuksesan menjalani puasa 6 hari di bulan Syawal. Mensyukuri kebaikan kan memang diwanti-wanti oleh Islam? Apa salahnya? Hanya saja, masyarakat Madura mengekspresikannya dengan ketupat. Apa ini masih salah? Bahan dasar ketupat adalah beras, selaku makanan pokok Indonesia, khususnya Madura. Merayakan hari raya ini dengan kebutuhan pokok berarti mensyukuri anugerah tanah air dan termasuk cinta tanah air. Mengenai pandangan Islam tentang tanah air, pembaca bisa merujuk karya M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat”.
Sejatinya, hari raya ketupat khusus untuk orang yang menjalani puasa 6 hari itu. Akan tetapi, lumrahnya bagi masyarakat Madura, hari raya ini untuk siapa saja. Ketika kita tidak bisa melakukan kebaikan, minimal kita ikut menyemarakkannya. Bukankah Islam mengajarkan kita tolong-menolong dalam hal kebaikan? Kalau Anda tidak aktif di sekolah, minimal Anda memotivasi teman Anda untuk bersekolah. Bagaimana jika teman menanggapi, “Kau ini masih sering bolos, kok malah ngajak aku aktif di sekolah?”. Bilamana Anda mendapat tanggapan itu, maka jawablah dengan sopan santun, “Tak sepantasnya saya mengajak teman pada keburukan. Kalau saya buruk, mengapa harus menambah keburukan dengan membuat teman ikut-ikutan?”
Adapun seputar hari raya ketupat, ada dua pon yang menarik untuk diulas. Pertama, puasa Ramadhan jika dilengkapi dengan puasa 6 hari Syawal, maka pahala yang didapatkan setara dengan puasa 1 tahun penuh. KH. Ahmad Dumairi Asy’ari, pengasuh PP. Tanwirul Hija, desa Cangkreng menjelaskan hal itu secara matematis, saat beliau menjadi khatib shalat Jum’at yang kemarin (29 Mei 2020). Dalam al-Qur’an ditegaskan:
ومن جاء بالحسنة فله عشر أمثالها
Barangsiapa berbuat kebaikan, maka dia akan mendapat 10 balasan.
30 hari ditambah 6 hari berarti 36 hari. 36 x 10: 360. 360 adalah jumlah hari dalam setahun. Jadi, puasa 36 hari cukup untuk mengisi setahun penuh dengan ibadah puasa. Inilah salah satu kehebatan Islam. Amal sedikit, tapi pahala melimpah ruah.
Adapun tata cara pelaksanaan tidak harus seperti yang lumrah dilakukan. Puasa 6 hari Syawal tidak harus langsung setelah hari raya Idul Fitri dan tidak harus berturut-turut 6 hari. Selama masih dalam bulan Syawal, seseorang kapan pun bisa melakukannya, meski masih ada spasinya. Sekarang puasa, besok tidak. Intinya, puasa tersebut dilakukan selama 6 hari. Mudah kan?
Kedua, lebaran ketupat setidaknya diisi oleh dua kegiatan; silaturrahim dan rekreasi ke destinasi wisata. Kegiatan kedua ini memuncaki klasemen, khususnya di kalangan remaja. Entahlah, barangkali ini satu-satunya dalam sejarah, hari raya ketupat terlarang digebyar di tempat-tempat wisata. Tentu tidak lain, jika bukan karena virus Corona atau istilah medisnya, Covid 19. Realita ini tentu merupakan sengatan spiritual terkait keberagamaan kita. Imam Jalaluddin al-Suyuthi berpesan:
ليس العيد لمن لبس الجديد. إنما العيد لمن طاعته تزيد. ليس العيد لمن تجدد بالمركوب. إنما العيد لمن يغفر له الذنوب
Hari raya bukan untuk orang yang mengenakan pakaian baru, tapi untuk orang yang ketaatannya bertambah (mutu). Hari raya bukan untuk orang yang memperbarui kendaraan, tapi untuk orang yang dosa-dosanya mendapat ampunan.
Petuah beliau bukan larangan untuk membeli barang-barang baru saat lebaran, tapi peringatan bahwa yang paling hakiki dari hari raya adalah pola berkehidupan, bukan urusan penampilan. Silakan berpesta dengan barang baru, tapi jangan sampai kita lupa bahwa hari raya adalah momen menuju kehidupan yang lebih bermutu. Merayakan hari raya, termasuk hari raya ketupat di tempat wisata kurang berguna, karena rawan terjadi maksiat. Adanya Covid 19 adalah teguran bahwa hari raya mesti kita helat dengan kegiatan berguna, seperti silaturrahim dan lain sebagainya. Wallahu A’lam.
Penulis: Aldi Hidayat