Hujan yang dirindukan
15894 View
Cerpen : Aziz As-Syah*
Aku merindukan musim hujan kali ini. Rindu hujan bertandang melanda kampung halaman. Rintik-tintiknya yang berjatuhan memenuhi atap rumah yang mengundang anak-anak kampung bermain berlama-lama dengan riang. “Sejatinya, memang, lama tidak turun hujan,” desisiku dalam hati.
Padahal, musim kemarau sudah berganti pada musim penghujan. Sayang, kali ini hujan masih saja tidak menampakkan walau sekedar guntur. Guntur yang mencipta gerimis, lalu gerimis pun akan membasahi makhluk; hidup, dan yang mati. Atau bahkan tubuh para petani. Jujur, aku sedikit kecewa pada pancaroba kali ini. Adakah petanda buruk ataukah lantaran ulah manusia yang tak dapat dibendung.
Dua tahun ini musim penghujan sudah tidak teratur lagi memberikan nikmat kepada makhluk. Seandainya saja musim penghujan teratur menghujani seluruh jagat raya, aku yakin segala tanaman, tumbuhan akan tumbuh subur. Negeri ini akan maju dengan Sumber Daya Alam (SDA) nya. Rakyatpun makmur dan sejahtera asal tidak dihinggapi tikus-tikus biadab itu.
Setiap hari segala ciptaan Tuhan mendesiskan kerinduannya pada hujan. Karena, hujan penyebab suburnya tanaman. Tanah mulai bengkak, daun-daun berguguran satu persatu ke tanah lantaran kekeringan yang tiada habisnya. Air tak kunjung tiba. Mereka setiap hari mengadu nasib dirinya sendiri di atas bumi Pertiwi. Di setiap waktu mereka tidak lupa berdoa kepada Tuhan meminta agar cepat-cepat diturunkan hujan untuk mencukupi kebutuhannya. Bahkan tragisnya lagi manusia pun mengeluh, merintih sebab kekurangan air. Bagi mereka air adalah segalanya. Air adalah jantung kehidupan.
Kau tahu? Lantaran hujan yang tak tahu kapan datang, Tanah, Pohon, mempermasalahkan kekuasaan Tuhan yang mereka percayai dari dulu. Peristiwa itu aku dengar sendiri di tengah perjalananku menelusuri perhutanan.
Matahari semakin surut hendak menenggelamkan wajah sinar keemasan yang indah nan asri ke ufuk barat. Aku suka itu. Angin perlahan-lahan dengan setia berdesir mesra menggelitik telinga bahkan bulu romaku berdiri seketika. Tiba-tiba tubuhku menggigil sehingga aku perlu bersedekap seerat mungkin.
Pendanganku terkesima melihat rerumputan berlambai-lambai di terpa angin, pegunungan yang menjuntai menampakkan keindahan alam semesta yang Tuhan cipta. Sungguh besar kekuasaanmu Tuhan. Sementara aku tetap setia menunggu hujan turun ke bumi membasahi tanah-tanah yang sudah membengkak. Sebab, tatkala hujan membasahi tanah-tanah bibit-bibit itu akan dicocok tanamkan dilahan yang aku miliki itu. Walau lahan itu hanya warisan dari nenek moyang dulu. Begitupun yang dirasa para petani di sini.
Sungguh tragis kehidupan pada musim kali ini. Semua sumber-sumber seperti di sumur atau di sungai mulai surut. Betanda apa ini? Pertanyaan itu yang seringkali terlintas dalam otakku.
***
“Apakah Tuhan adil?” tanya Tanah dengan suara terlantun keras ke dengarannya mengejutkanku. Entah pertanyaan itu di tujukan untuk siapa? Aku tak tahu. Seketika seluruh Tetumbuhan dan Pepohonan terkesima mendengar Tanah berbicara.
“Kata siapa Tuhan tidak adil?” tanya Pohon dengan tegas. “Tuhan telah adil kepada seluruh yang diciptakanya. Barangkali perasaanmu saja yang merasa selalu tidak adil. Kamu jangan mudah digoda oleh keterbatasanmu sendiri,” lanjut pohon menyadarkan Tanah dari kerancuan pikirannya.
“Jika memang Tuhan adil, mengapa hujan belum turun meskipun sekedar gerimisnya? Kamu tahu, bukan? Tubuhku mulai mengering, membengkak dan gersang? Akankah hujan mengerti akan keadaanku yang semakin hari semakin tak memungkinkan lagi? Lain dengan dirimu. Yang setiap hari ada yang merawat dan menyiramnya. Tuhan ciptakanmu sebagai Pohon makhluk yang beruntung. Seandainya aku bisa merubah takdirmu telah aku minta dulu. Tanpa menunggu peristiwa kritis pada saat ini,” ucap Tanah panjang lebar dengan nada memperihatinkan—memelas.
“Apakah kamu tidak sadar? Aku hidup sebab kamu. Aku dirawat dan disiram setiap hari sebab kamu. Kamu telah menjadi makhluk yang rela mengurbankan diri sendiri untuk keberlangsungan hidup yang lain,” Pohon selalu saja berusaha menyadarkan Tanah tanpa lelah.
“Apa katamu? Akulah makhluk yang lebih beruntung? Jangan ngacok kamu. Apa kamu tidak salah mengucapkanya? Makhluk beruntung bagaimana? Sedangkan setiap hari bahkan setiap waktu aku selalu diinjak-injak oleh manusia dan hewan-hewan, di mana kewibaan orang yang memiliki derajat yang tinggi jika hanya menjadi injakan kaki semua makhluk, tidak ada, bukan?”
“Kamu tahu manusia diciptakan dari apa?”
“Tanah,” jawab Tanah spontan.
“Itulah kelebihanmu.”
Tanah tiba-tiba berhenti berbicara seakan memikirkan sesuatu. Sesuatu yang belum menentu. Sedangkan aku hanya asik menyaksikan percakapan Tanah dan Pohon. Seakan di antara mereka tidak ada yang mau kalah dan tidak merasa lelah. Seperti anak kecil saja. Sehingga kemudian, aku pun tidak tega kepada mereka sebab sepertinya tidak ada jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang melilit pikirannya. Ambigu.
“Sudah... apa yang kalian permasalahkan mulai tadi jika hanya masalah kewibawaan jangan kalian permasalahkan karena di antara kita derajatnya sama dan sama-sama memiliki kelebihan masing-masing. Semua orang tidak akan merasa dirinya sempurna, pasti mereka merasa dirinya banyak kekurangannya dan kesalahan...”
“Tapi, aku lebih banyak kekurangannya di antara orang-orang dan dirimu,” ungkap Tanah seketika memotong perkataanku.
Mereka tetap saja bercekcokan tanpa jeda, koma dan titik seakan mereka tidak merasa bosan dengan keadaannya yang tidak pernah memerhatikan keadaan di sekitarnya. Awan di langit berkejaran cepat satu sama lain tidak seperti biasanya seakan ingin ikut campur dalam perdebatan Tanah dan Pohon. Begitu pula angin yang berhembus mesra menerjang tubuhku, seluruh tubuhku ngeri, takut, seketika.
Aku tidak mempunyai kemauan untuk melotarkan perkataan lagi. Sebab, aku lebih suka menyaksikan mereka yang berdebat satu sama lain. Terkadang di antara mereka mengkerutkan dahinya.
Kemudian, aku melangkahkan kaki gontai tanpa arah dan tujuan entah ke mana mesti melangkah, meninggalkan mereka aku layaknya kupu-kupu yang terbang tanpa arah dan tujuan. Namun, tiba-tiba Tanah mencegah langkahku dengan memanggilku. Entah, ada keperluan apa? Aku tak tahu.
“Hai... manusia, jangan dulu beranjak pergi sebab dalam diriku masih ada gejolak yang mengganjal tentang perkataanmu tadi. Sebenarnya siapa di antara kita yang paling sempurna kedudukan dan kewibawaannya?” tanya Tanah dengan penuh rasa ke-ingintahu-an akan hal tersebut. Sehingga mau tidak mau aku harus memperhentikan langka. Kemudian aku menjawabnya.
“Iya, benar. Siapa di antara kita yang paling sempurna dan memiliki wibawan yang tinggi?” ungkap Pohon seketika.
Mereka terus saja memaksaku untuk bicara. Sehingga mau tidak mau aku harus menjelaskan yang kutahu agar tidak ada yang salah di antara mereka. Dan ini merupakan kesempatanku untuk meluruskan pendapat mereka yang tak sejalan. Atau bahkan mereka dapat mempelajarinya kepada yang lain.
“Harus kalian tahu, tidak ada derajat yang paling mulia disandang di antara kita kecuali Tuhan. Kita memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang diberikan Tuhan kepada kita. Seharusnya kalian sekarang perbanyaklah bersyukur kapada Tuhan agar diberikan kesempatan untuk hidup dan memohon ampunan kepada Tuhan di setiap waktu agar tetap diberikan kehidupan yang baik. Tidak harus berdebat, menyalahkan satu sama yang lain seperti ini. Hal ini tidak akan memecahkan masalah bahkan akan menambah masalah, benar bukan? Seharusnya kalian memohon kepadanya agar cepat diturunkan hujan. Kalian tahu sendiri sekarang krisis air. Barangkali doa kalian-lah yang didengar oleh Tuhan terlebih dahulu sehingga dalam jangka waktu dekat hujan diturunkan kepada kita. Bukannya kalian membutuhkan air untuk keberlangsungan hidup? Kenapa kalian tidak memikirkan bagaimana cara mendapatkan air? Malah berdebat yang tidak ada gunanya juga bahkan membuang-buang waktu saja,” ungkap semaunya.
Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memancungkan mulutnya.
“Oh iya, sebenarnya kenapa hujan masih belum turun?” tanya Tanah penasaran.
“Barangkali hal ini adalah cobaan bagi semua makhluk yang ada di muka bumi sebab semua orang dan tetumbuhan tidak pernah memohon ampunan serta tidak pernah menyebut namaNya di setiap waktu dan di setiap selesai sholat. Bahkan sinisnya lagi, mereka setiap hari melakukan hal yang dilarang oleh Tuhan sehingga dunia ini terasa panas. Kalian merasakan panas, tidak? Sekarang waktunya kalian mengajak para makhluk dan semuannya berjalan di jalan yang lurus dan benar,” aku layaknya orang yang bersabda saja layaknya Kiai.
***
Suasana hari ini sepertinya berbeda dari hari-hari sebelumnya. Angin tak seperti kemarin berembus menerpa tubuhku begitu pula dengan sinar matahari yang tidak seindah kemarin. Kemarin begitu cerah menyinari bumi ini namun sekarang tidak lagi, buram. Tanah dan Pohon tidak lagi bercekcokan. Berdamai dengan keadaan adalah suatu keniscayaan.
Serantak, segerombolan orang-orang berbondong-bondong pergi mendekati surau dan masjid-masjid entah hendak melakukan apa? Aku pun tak tahu. Barangkali mereka hendak bertaubat memunajat kepada Tuhan ingin memohon ampunan atas segala dosa dan perilaku yang tercela. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi ‘kan mereka sudah tidak peduli lagi akan hal-hal seperti itu. Aku penasaran dengan peristiwa ini.
Aku pergi meninggalkan kursi yang sedang aku duduki sedari tadi sekedar untuk mencari tahu dan ingin mencari orang untuk menanyakan perilaku mereka yang tiba-tiba berbondong-bondong pergi ke masjid. Sebab, sebelumnya mereka tidak pernah pergi ke masjid dengan segerombolan orang-orang. Akhirnya sekarang peristiwa aneh itu aku saksikan.
“Maaf sebelumnya, Pak? Memangnya ada peristiwa apa ini mengapa tiba-tiba mereka pergi ke surau dan masjid?” tanyaku penasaran.
“Apa kamu tidak tahu bahwa warga di sini sudah bertaubat dan sekarang mereka ingin sholat bersama lalu ingin memohon ampunan setelah itu kami ingin meminta agar cepat di turunkan hujan,” ungkap laki-laki yang berbaju lengan panjang dengan kopiah putih di kepalanya.
Aku tersentak mendengar perkataannya. Tak percaya dengan semua ini, sempat aku mengkedip-kedipkan mata memastikan, apakah aku sedang bermimpi atau tidak? Ternyata aku tidak sedang bermimpi. Entah, lantaran apa mereka tiba-tiba berubah sembilan puluh derajat? Apakah semua ini lantaran Pohon dan Tanah yang telah mempengaruhi mereka sehingga mereka berubah haluan? Entahlah, yang terpenting sekarang semua orang sudah sadar dan tidak lagi mementingkan harta dari pada bertaubat kepada Tuhan. Semoga hal ini menjadi awal perubahan yang baik bagi mereka dan bagi para makhluk yang hidup dan yang mati.
Istana Pers Jancukers, 21 Januari 2018 M.
NB : Cerpen ini dimuat di Koran Radar Surabaya