Lelaki yang Setia Mencintai Gelombang
3744 View
Oleh : Abdul. Warits*
“Bluur” suara ombak itu berdenyut dalam nadi masyarakat Ghirsereng[1] sepanjang hari. Perahu-perahu tertambat di pinggir pantai dengan rapi. Semilir angin menjadi penyejuk dari gemuruh ombak yang berkejaran setiap waktu. Sementara, pohon kelapa menjadi tempat berteduh bagi mereka selepas melaut.
Subahri berjalan mendekati laut yang masih bergemuruh dengan ombaknya. Sumarni, istri tercintanya, setia mengikuti jejaknya dari belakang hingga ke tepi pantai sambil membawakan sango[2]. Sore itu, angin semakin nakal memainkan desirnya. Riuh. Jika kita melihat ke wajah langit, mendung berarak kebingungan. Gerimis bertandang mengkuyupkan tubuh mereka berdua. Curah Hujan semakin lebat. Mereka berdua berlari terhuyung-huyung agar terhindar dari gerimis yang jatuh satu persatu dari atap langit. Kemudian, mereka berdua berteduh di sebuah gubuk yang senantiasa dipeluk angin saban waktu. Keadaan gubuk itu kini telah rapuh, tetapi masih teguh, seteguh masyarakat Ghirsereng dalam mempertahankan cintanya kepada laut yang membentangkan rezekinya untuk diselami sedalam mungkin, walaupun gemuruh batin masyarakat Ghirsereng selalu tak menentu. Hanya angin yang membelai kehidupannya setiap hari.
Senda gurau mereka terhenti ketika petir tiba-tiba menyambar dengan sangat dahsyat. Suara petir itu seumpama deru ombak yang ingin melululantakkan jantung. Mereka berdua bungkam. Apabila hujan bertandang, tak ada yang perlu dibicarakan. Sebaiknya kita hanya bisa menikmati dan mengenangnya dalam-dalam.
“Kenapa kau melinangkan air matamu, Le’[3]?” ucap Subahri melihat wajah istrinya yang meneteskan air mata sembari mengusap wajahnya yang sayu.
“Aku khawatir, Kang[4]. jika kau tetap melaut hari ini. Gelombang itu akan terus memburumu dari segala arah” air mata Sumarni perlahan mengucur dari lesung pipinya.
“Sudahlah! tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Le’, selama kita masih yakin dengan doa yang kita rapal sepanjang siang-malam. Percayalah!” Subahri memegang pundak Sumarni. Meyakinkan. Subahri hanya menyunggingkan senyum manis dari bibirnya seakan menertawakan tingkah laku Sumarni dalam hati kecilnya.
“Tetapi, perasaanku masih terasa berat, Kang. jika kau meninggalkanku semalam saja di rumah, apalagi cuaca dalam keadaan seperti ini,” bantah Sumarni. Batinnya gemetar.
“Sudahlah, Le’. Ikhlaskan saja. Aku berjuang hanya untuk kebaikan kita bersama. Sebagai seorang suami, tentu saja aku merasa malu dengan ibumu, karena aku hanya bisa menitipkan hidupku di rumahmu, tetapi aku tidak bisa menafkahimu sebagai istriku yang paling telaten” Subahri kembali menatap wajah istrinya dengan lekat. Ia sadar bahwa tanggung jawab seorang suami adalah menafkahi istrinya lahir-batin.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan” lanjut Subahri sembari mengusap derai air mata di pipi istrinya.
Senja mulai tenggelam ke ufuk barat. Petang merambat dengan perlahan menjelma magrib yang akan segera tiba. Sumarni hanya menatap kepergian suaminya ke tengah laut dengan tatapan sendu. Perahu yang ditumpangi Subahri semakin menjauh dari pandangannya. Sementara, ombak yang mengiringi perahu itu masih menyimpan cemas yang mendalam pada sanubari Sumarni.
***
Pagi-pagi sekali, sebelum matahari mengumbar sinarnya dari ufuk timur, Sumarni bangun dari mimpi kelamnya. Ia bergegas mengambil wudu untuk segera menunaikan shalat shubuh di rumah sederhananya. Dinding rumahnya terbuat dari tabhing[5] sebagai aling-aling dari dingin hembusan angin yang merasuk dalam tubuhnya. Sementara, lenchak[6] menjadi tempat merebahkan lelah bersama suaminya sehabis berjamaah dari surau Ki Mastuni. Tetapi, Sumarni harus melaksanakan shalat shubuh sendirian di rumahnya kali ini, sebab ia tidak berani keluar rumah jika tidak bersama Subahri, suaminya. Sementara, suaminya masih menemani gelombang di tengah lautan.
Shubuh menghadirkan gigil melalui desir angin yang bertiup perlahan. Pagi itu suasana begitu senyap. Tak ada suara kokok ayam yang membangunkan masyarakat setempat. Yang terdengar hanyalah gema orang mengumandangkan adzan dari surau Ki Mastuni dan suara debur ombak yang sesekali menghempas ke daratan.
Dua puluh langkah dari rumah Sumarni, pantai membentang dengan pesonanya. Hampir setiap pagi, di pantai itu selalu dipenuhi dengan beberapa perempuan yang menunggu suaminya pulang dari tengah laut. Para perempuan itu datang pagi-pagi sekali sembari memandang laut dengan tatapan lepas, berharap sang suami membawakan hasil tangkapannya dengan jumlah banyak. Siapa sangka, jika pada sorot mata perempuan itu tersimpan kesetiaan yang mendalam hingga mereka rela datang pagi-pagi sekali ke pantai sambil berdandan serapi mungkin demi menyambut sang suami datang bekerja paghen[7] semalaman. Bukankah perempuan yang baik memang berhias untuk suaminya?
Para suami mereka tentu telah mengetahui bagaimana rasanya berselimut angin[8] di malam hari tanpa kehadiran istri mereka yang selalu menjadi pelipur lara ketika gelombang datang dalam mengarungi ombak yang begitu garang. Sesekali para perempuan itu bercengkrama dan menyunggingkan senyum sumringah kepada pasir di depannya, meskipun dalam lubuk hatinya, mereka menyimpan kekhawatiran mendalam terhadap suaminya.
Di tengah kerumunan perempuan yang duduk itu, Sumarni terlihat begitu redup wajahnya. Pikirannya hanya diarungi oleh wajah suaminya yang tengah berjuang mencukupi kebutuhannya. Tentu saja, Sumarni pasti akan kehilangan akal apabila suaminya datang dengan tubuh terbujur kaku. Dari kejauhan, ibunya hanya menatap Sumarni yang sedang murung. Kemudian, dia menghampirinya untuk menghibur jantung anaknya yang sedang berkecamuk.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Ni?” tanya mak Mardiyah, ibunya, seraya duduk di sampingnya. Mata Sumarni menatap ke laut.
“Suamiku, Mak! Aku takut terjadi apa-apa dengannya” ia berseru. Kelopak matanya digenangi air mata.
“Sudahlah, Ni. Suamimu pasti akan baik-baik saja” Mak Mardiyah mengelus pundak putrinya merasa iba dengan perasaannya yang kini begitu terharu dengan kepergian suaminya.
Sorot mata Sumarni masih saja menatap ke laut lepas. Tiba-tiba denyar matanya menyala lantaran yang dilihat di tengah lautan itu tampak wajah suaminya yang sedang memanggil dari kejauhan sembari melambaikan tangan.
“Ni, lihat! Suamimu datang!” seru ibunya. Mereka berdua bangkit dan menghambur menuju ke tepi laut.
“Kang, olle[9]?”tanya Sumarni kepada Suaminya.
“Alhamdulilllah, Le’. Hari ini aku beruntung dapat banyak ikan.” Jawabnya tersenyum simpul.
“Alhamdulillah, Ayo Ni! bantu ibu menjajakan ikan hasil tangkapan suamimu, keburu siang!“ kata mak Mardiyah dengan sigap.
Sumarni bergegas memegang edhan[10] yang berisi banyak teri di dalamnya. Orang-orang tampak mengerumuni hasil tangkapan Suaminya. Sementara, Subahri melepas lelah seraya menyalakan sebatang rokok di pasir. Ia bercengkrama dengan beberapa kawannya yang sama melaut juga. Diam-diam Subahri memperhatikan istrinya tampak sumringah membantu ibunya. Hatinya kini girang.
***
Lelaki berkumis panjang itu memasuki rumah Subahri. Ukuran songkok di kepalanya begitu tinggi sekitar 12 meter. Tubuhnya tinggi semampai dan gagah. Orang-orang di desa ini biasa menyebutnya sebagai kalebun[11] Sumadin.
“Assalamu alaikum” Sumadin mengucapkan salam di depan rumah Subahri.
“Waalaikum Salam” Sulastri membukakan pintu.
“Subahri ada, Ni?” tanya Sumadin dengan wajah ramah.
“Oh, pak kalebun, ada pak. Saya panggilkan dulu kang Subahri di belakang. Dia sedang ajuman[12]” Sumarni bergegas ke belakang rumah menemui Subahri yang sedang mengerjakan jaring-jaringnya yang rusak.
“Ada pak kalebun, kang!” panggil Sumarni kepada suaminya.
“Dimana?” Subahri berdiri menuju ke ruang tamu.
“Di depan rumah, kang” Sumarni berlalu menuju dapur.
“Sampean pak kalebun, ada apa datang ke rumah saya, tidak seperti biasanya?” ucap Subahri seraya bersalaman dengan ramah. Mereka berdua duduk di kursi yang terbuat dari anyaman bambu.
“Begini, Bahri. Almarhum bapakmu punya hutang kepadaku” Sumadin mengadu. Subahri terkesiap.
“Memang berapa, pak kalebun?” tanya Subahri memburu.
“Seratus juta” jawabnya.
Jantung Subahri gusar seakan baru saja diterpa angin sakal dari tengah samudra. Belum kelar ia menafkahi keluarganya. Kini, gelombang itu datang lagi memburunya, ia kembali harus membayar hutang-hutang bapaknya yang berjumlah seratus juta itu.
“Mungkin ini berat bagimu, Bahri. Aku baru bisa mengatakan hal ini kepadamu sekarang karena sejak kemarin aku masih dihantui perasaan khawatir terhadap keluargamu, apalagi bapakmu meninggal dalam keadaan melaut” ucap Sumadin berkeluh kesah.
“Tetapi aku mempunyai tawaran solusi kepadamu, bagaimana kalau tanah dekat pantai itu yang menjadi jaminannya?” Sumadin membujuk. Subahri hanya mengerutkan dahinya menyimpan rasa curiga.
“Lho, untuk apa, pak?”tanya Subahri.
“Soalnya, tanah itu bagus. Cocok untuk dibangun tambak udang. Barangkali harganya bisa berlipat ganda, nanti keuntungannya kita bagi dua. Separuh untuk hutangmu padaku dan separuhnya lagi kuberikan padamu. Bagaimana?” papar Sumadin.
“Tidak, pak kalebun! Aku tidak akan menjual tanah sangkolan[13] itu. Biarlah aku yang akan melunasi hutang-hutang bapakku” ucapnya tegas.
“Ya, baiklah, kalau seperti itu keputusanmu, aku tidak akan memaksa. Tapi, empat bulan lagi, aku akan kembali ke sini untuk menagih hutangku padamu” Sumadin kemudian langsung berpamitan. Langkahnya semakin jauh dari pandang mata.
***
Ombak terus saja bergemuruh mengantarkan gelombang ke tepian. Ujian hidup senantiasa datang kepada Subahri yang kini kebingungan berada di beranda rumahnya sambil sesekali menyalakan sebatang rokok. Pikirannya berceracau tentang hutang bapaknya yang harus ia lunasi empat bulan lagi kepada pak kalebun Sumadin. Apalagi istinya sudah dalam masa kehamilan empat bulan juga. Di tengah lamunannya, tiba-tiba Sumarni menghampiri dengan membawa secangkir kopi hangat yang biasa ia hidangkan saban pagi. Sumarni duduk manis di sampingnya.
“Le’. Aku minta izin kepadamu untuk majheng[14] bersama Syamsudin ke pulau Masalembu” ucapnya dengan nada keberatan.
“Memang untuk apa, Kang? Bagaimana dengan calon anakmu dalam kandunganku ini?” bantah Sumarni memelas.
“Bapakku punya hutang kepada kalebun Sumadin. Dan aku harus melunasinya” Subahri murung. Tatapannya kosong.
“Apakah tidak ada cara lain untuk melunasi hutang selain melaut, Kang? Kenapa tidak kita jual saja segala apa yang kita miliki, Kang?” Sumarni seakan tidak terima dengan keputusan suaminya untuk melaut lagi.
“Barangkali ada cara lain, Kang. Bagaimana kalau kita pergi merantau ke Jakarta atau ke Malaysia menjadi seorang TKI. Aku dengar-dengar gajinya lumayan. Aku rela merantau, kang, daripada hanya memikirkanmu terus berurusan dengan gelombang di laut yang garang itu” suara Sumarni histeris.
“Aku hanya punya tanah sangkolan seluas lima belas hektar milik almarhum bapak” jelas Subahri kepada istrinya.
“Ya, kita jual tanah sangkolan itu saja, kang” Sumarni memberi solusi kepada suaminya yang kehilangan akal memikirkan cara bagaimana melunasi hutang-hutang bapaknya.
“Tapi, bapakku berpesan agar tidak menjual tanah itu kepada siapapun. Bukankah kamu tahu sendiri, jika tanah sangkolan itu sangat sakral bagi orang Madura. Jika kita menjual tanah sangkolan sama halnya kita menjual harga diri kita kepada orang lain. Namun, jika kita merantau, aku khawatir dengan keadaanmu, Le’” jelas Subahri membatin.
“Aku jadi curiga, kalebun Sumadin itu adalah makelar dari para investor asing yang ingin meminang tanah milik masyarakat di desa kita” Subahri geram dalam jantungnya. Tiba-tiba Sumarni berhambur menuju ke belakang rumahnya pertanda ia tidak rela jika suaminya kembali melaut, lebih-lebih sampai berbulan-bulan ia harus menahan rindu di rumahnya sendirian. Sedangkan, dirinya sedang hamil tua.
Subahri mengejar istrinya yang berlari ke kamar belakang. Lalu ia mendekapnya dari belakang.
“Kenapa kau, Le’? apakah kau tidak rela jika aku berprofesi sebagai pelaut?” Subahri bertanya seakan ia ingin melampiaskan amarahnya.
“Bukan tidak rela, Kang. Tapi, perasaanku selalu cemas jika sampean melaut bersama gelombang itu” Sumarni sesenggukan menahan isak tangisnya.
“Siapa yang menguasai laut, dialah orang hebat yang sebenarnya” Subahri terngiang pesan bapaknya ketika ia masih kecil.
“Biarlah kuasini seluruh jiwa-ragaku dalam air garam di laut ini” sumpah Subahri menggelegar di telinga Sumarni seakan tidak ada gelombang yang akan menghadang di depannya. Ia melepas pelukannya mesra itu. Sumarni hanya tertegun memperhatikan suaminya langsung bergegas keluar rumah untuk bermusyawarah ke rumah Syamsudin yang akan berangkat majheng menuju pulau Masalembu.
***
Debur ombak tetap tenang di dusun Ghirsereng, meski suaranya masih terdengar begitu riuh di telinga Sumarni. Jika mendengar debur ombak, tentu ingatannya akan melayang kepada suaminya yang kini tidak kunjung pulang ke rumahnya. Pantai yang tenang kini telah ramai dengan kenangan masa silam bersama suaminya.
“Apakah aku tidak mempunyai bapak, mak?” Tanya anak kecil itu yang sedang bermain pasir putih di sampingnya. Sumarni tertegun memandangi birunya laut di depan matanya.
“Tidak nak. Di dunia ini, tidak ada seorang perempuan pun yang melahirkan anak tanpa seorang bapak. Kamu bukan nabi Isa begitupun aku juga bukan Siti Maryam” jawab Sumarni. Air matanya kembali mengucur sembari ia usap sendiri menyembunyikan kesedihan dari anaknya.
“Lalu? Dimana bapakku, mak?” Lanjut anak kecil itu bertanya.
“Bapakmu masih nompo[15] di pulau Masalembu. Ia lebih setia mencintai gelombang dari pada kita berdua, padahal ia hanya pamit untuk melunasi hutang almarhum kakekmu, nyatanya, sampai kamu lahir, ia tetap tidak kembali ke pantai ini” jawab Sumarni menahan isak tangisnya sembari mendekap anak kecil itu ke dalam pelukannya dengan erat (*)
NB : Cerpen ini menjadi Juara Harapan I lomba cipta Cerpen Remaja 2019 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Timur di Hotel Luminor Sidoarjo.
[1] Masyarakat pesisir. Daerah yang berada di dekat laut biasanya disebut dengan Ghirsereng oleh orang Sumenep.
[2] Bekal yang dibawa untuk melaut.
[3] Adik. Panggilan seorang suami kepada istrinya.
[4] Kakang.
[5] Dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
[6] Tempat tidur yang terbuat dari anyaman bambu.
[7] Bagan. Kerangka rumah yang berada di tengah laut. Digunakan untuk menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan sinar lampu.
[8] Asapo’ angin, abantal ombak. (Madura)
[9] Memperoleh banyak hasil dari pekerjaannya.
[10] Wadah untuk ikan yang terbuat dari anyaman bambu.
[11] Kepala desa (Bahasa Madura)
[12] Membaiki jaring yang telah robek.
[13] Tanah warisan nenek moyang
[14] Melaut. Biasanya dalam waktu berbulan.
[15] Melaut dalam jangka waktu berbulan-bulan.