Sejak Saat Itu Kakek Berhenti Melaut
3816 View
Oleh: Nisa Ayumida*
Sejak saat itu kakek berhenti melaut. Saat dedaunan di halaman rumah gugur satu-satu dan mekar bunga-bunga menjadi layu. Saat rinai hujan yang berdebam-debam dibalik atap rumah menyamarkan suara paman Hasan yang mengantarkan kami pada kesepian. Sekaligus jawaban atas kecemasan-kecemasan yang berkerumun selama masa penantian. Sejak saat itu nenek tersungkur dan hitam rambutnya terasa semakin cepat berubah. Bapak sedang tak di rumah kala itu. Tergesa-gesa paman menyampaikan dengan basah kuyup. Suara gelas pecah yang dibawa nenek seperti rindu yang memanggil bertalu-talu dan pilu.
###
Sejak saat itu kakek berhenti melaut. Saat ia berangkat tergesa-gesa tanpa sempat membenahi jaring dengan sempurna. Tanpa sempat mengganti pelampung perahu. Tanpa sempat membenahi warna pucat perahu biru tua bertuliskan olle ollang itu.
“Aku tidak bisa. Dia juragan ikan kami, mas.” Tukasnya pada si istri.
“Kau bisa kualat bila berangkat tidak pada waktu dan tanggal baik”
“Doakan saja aku, agar selamat dan berkah”
Percakapan-percakapan panas di kamar pengantin yang kasurnya tak empuk dan baunya tak sedap bunga melati lagi berlangsung cukup lama. Berakhir saat Buddin memilih keluar, memberi jeda pada Maspia agar dapat berfikir jernih.
Pada hari kesembilan dari perselisihan di kamar pengantin tua itu, hiduplah dhamar kambhang[1] yang lidahnya menjilat-jilat kolong tempat tidur Buddin dan Maspia. Penduduk kampung mempercayainya sebagai salah satu ungkapan doa demi keselamatan orang yang bepergian. Di dapur, Maspia dan Mastini sibuk membungkusi bekal Buddin. Ada beberapa ikat ketupat janur, kacang, cabai dan lain lain. Sedang Buddin dan Ali bertelanjang kaki menuju laut sambil menjinjing satu jaring.
Di bibir pantai yang berdebur ombaknya. Kaki-kaki telanjang berjejer rapi seperti upacara Agustusan di lapangan Sumenep. Beberapa ketupat, kompor dan lainnya telah dinaikkan. Mesin berderu. Memuntahkan asap tebal dan bau. Buddin berkaos oblong putih dengan sarung digulung tak beraturan. Setelah bersalaman pada istri, anak dan menantunya ia berjingkat menuju perahu. Sambil melambaikan tangan ia terlihat gagah.
“Pulanglah dengan selamat, Din”
“Bawakan aku terasi”
Mesin berderu, perahu semakin jauh. Dan teriakan-teriakan para tetangga serupa lantunan doa untuk kemujuran Buddin dan teman-temannya. Maspia berjingkat menjinjing sampirnya. Mundur dari barisan orang-orang sambil menyeka air yang tiba-tiba lumer dimatanya. Diam-diam ia pulang dipeluk angin yang mengundang meriang. Dikejar deburan ombak yang membuat tubuhnya basah kuyup.
###
Esoknya, dhamar kambhang di bawah ranjang pengantin yang sudah lapuk, menjulur-julurkan lidahnya seperti ular yang menakut-nakuti mangsanya. Bila angin bertiup kencang, ditutuplah kelambu jendela berwarna hijau tua. Sedang lidah api itu terseok-seok, meneguhkan diri dari arah angin.
“Wan, bilang pada bapakmu, jangan lama-lama meminjam radio itu.”
Aku mendongak. Seketika melepaskan rumput yang sedari tadi kucabuti di halaman rumah nenek.
“Oh iya, sekalian belikan baterai” pungkasnya. Sebelum aku sempat menjawab, ia telah berbalik arah. Berjalan terseok-seok dengan radio yang dihimpit lenganya, di bawah ketiaknya. Dari dalam sana aku dengar lagu olle ollang yang terdengar parau.
Malam itu langit berbintang. Pendar cahaya Bulan purnama menjatuhkan bayang-bayang daun nyiur ke samping rumah. Di dapur, ibu-ibu sibuk menumbuk biji kopi, mengeluarkan piring-piring, sendok, gelas dari lemari. Aku disuruh ibu menghitung kresek warna putih sebanyak tiga puluh. Katanya untuk khatmil qur’an. Sementara di luar, bapak dan paman sibuk menurunkan air mineral berkardus yang dibeli dari warung mak Nipa.
###
Sejak saat itu, pada malam-malam selanjutnya nenek membiarkan pintu rumah yang ia bangun susah payah dengan kakek, terus terbuka pintunya sepanjang siang, sepanjang malam, sepanjang waktu angin yang ganas berembus dari arah pesisir, sampai malam kemudian meremang dan subuh jatuh di teras rumah. Pada pukul sepuluh malam, ibu biasanya menyambanginya yang sudah terbaring berselimut sampir ditemani seonggok radio tua milik kakek. Namun, bila subuh menjelang, pintu rumah yang ditutup ibu kembali terbuka. Entah nenek yang membukanya lagi, entah angin yang berusaha mendobrak, dan atau apalah yang tidak akan masuk akal. Besoknya, saat diantarkan makanan oleh ibu, ia pasti mengomel sambil mengunyah nasi dalam mulutnya.
“Kalau pintu ditutup, bapakmu tak akan temukan jalan pulang”
“Tapi angin begiu kencang, bu” pernah sekali itu ibu membantah.
“Dari angin dan bau asin itulah bapakmu pulang” ibu lantas memilih diam.
Suatu ketika bapak mengambil jaring yang digantung di kamar kakek, dibersihkan untuk dijual pada tetangga. Nenek seakan mengeras rahangnya seperti anak muda. Dilemparlah bantal dan selimut itu. Bapak urung. Kembali meletakkan jaring itu ke tempat semula dengan mata berkaca-kaca.
###
Sejak saat itu kakek berhenti melaut. Saat nelayan di samping rumah mengabarkan bahwa perahu Buddin telah pulang minggu lalu. Saat dhamar kambhang di bawah ranjang pengantin itu mati, disulut kembali sumbunya, berulangkali mati, berulangkali disulut. Saat dialog orang-orang pesisir pelabuhan Dungkek sampai pada telinga paman. Ia diantarkan hujan yang pilu ke rumahku.
“Perahu kakak oleng ditemukan warga pelabuhan Dungkek” dan dengan itu, berakhirlah seluruh harapan dan penantian nenek. Nenek roboh. Pecah gelas yang dibawanya.
Sejak saat itu. Saat kakek berhenti melaut. Sesuai adat dan kepercayaan leluhur kami, kakek dan lima temannya disalatkan tanpa mayat dan pemakaman. Tak ada keranda yang digiring. Tak ada tanah yang digali. Tak ada batang pisang yang dirobohkan sebagai bantal. Kata Ke Dullah, itu salat gaib. Kematian itu begitu mengerikan dan kesepian. Hanya ada isak tangis nenek dibalik bantal lapuknya. Sedang ibu terlihat lebih pendiam. Barangkali memikirkan kakek yang belum melihat rupaku saat dilahirkan. Bapak, atas linang air mata nenek mencari jejak kakek ke teman-temannya hingga ke pulau Raas. Dari sanalah bapak pulang membawa kemurungan. Kakek pulang setelah sepuluh hari di Raas. Begitu kata juragan ikan.
Di rumah. Beberapa orang sibuk menggunjing. Bahwa kakek dan teman-temannya meniggalkan keluarga untuk menyambangi warung-warung lain di kejauhan sana yang lebih elok dan hangat. Dan ibu terpukul. Ucapan seperti itu selalu menusuk gendnag teinganya. Untungnya, nenek memilih diam dan menutup hidup dari orang-orang.
Besoknya. Pagi-pagi sekali para tetangga dan kerabat jauh yang sudah diundang berdatangan memakai sarung dan peci. Sebelum istighasah dan khatmil qur’an dimulai mereka bercakap-cakap dan sesekali menyemburkan asap dari dalam mulutnya. Setelah Ke Dullah datang, di teras rumah suara penuh hikmat seperti dengung lebah menemukan madu. Di dapur, sendok dan piring saling beradu.
Aku disuruh ibu mengantarkan makanan untuk nenek. Ia ternyata sudah mandi. Sudah berganti baju. Kuletakkan nampan berisi nasi, air dan kue yang diolah ibu-ibu kemarin di hadapannya. Sementara ia sibuk memperbaiki radionya.
“Wan, di sana kok ramai. Kakek datang ya, Wan?”
“Apa oleh-olehnya, Wan? Ada kura-kura kecil lagi yang di bawa?”
“Apa dia lupakan nenek ya kok tidak ke sini”
“Apa sebaiknya nenek lupakan dia ya, Wan?”
“Dia pakai kopiah putih, bersarung kotak-kotak yang dibelikan Ali. Tapi Cuma lihat nenek. Tak ke sini” ia cemberut.
“Wan. Apa sebaiknya nenek lupakan dia ya?” hening.
“Hmmm?”
“Wan?”
Ia sambil nyeracau dan terus perbaiki radionya. Entah sisi mana yang rusak. Aku tak dapat menjawab pertanyaannya sama sekali. Bahkan di hari keseribu kakek pergi, nenek menungguinya tiada peri. Jatuh air mata itu di pipi. [*]
[1] Seperti alat penerang
*Nisa Ayumida, merupakan nama pena dari Roydatun Nisa'. Saat ini sedang berproses di Forum Literasi Santri (Frasa) PP. Annuqayah Lubangsa Putri. Cerpen ini terpilih sebagai Nominator 12 Cerpen Pilihan Festival Sastra Bengkulu atau Bengkulu Writers Festival 2019 se-Asia Tenggara.