Pertengkaran Kitab Kuning dan Komputer
4815 View
Barangkali akan kembali terdengar suara-suara kegaduhan di kantor pers yang sempit ini pada malam ketika semua sudah tidur. Ketika tak satu pun makhluk yang berada di kantor ini menyala. Ya, menyala. Seperti lampu atau layar android atau bulan atau wajah orang yang suka berwudhu dan salat tahajud. Di mata kitab kuning dan komputer itu, ubun-ubun semua makhluk hidup yang tak tidur terlihat menyala. Nyala cahayanya ada yang berwarna biru seperti langit, hijau seperti daun, kuning keemasan seperti purnama, merah seperti api, atau putih seperti kafan, bahkan ada yang berwarna air bening. Semua itu tergantung kondisi hati masing-masing hingga memancar ke ubun-ubun pintu bagi ruh yang dahulu pernah masuk dan akan keluar kelak.
Sebuah komputer yang purba itu telah lama sekali teronggok di ruangan ini. Semenjak ini ruangan ditetapkan sebagai kantor pers pesantren, komputer itu lalu duduk hikmat di pojok paling utara dekat kaca jendela. Sudah dua tahun lebih tubuhnya yang penuh debu berada di atas sebuah meja kecil setinggi lutut itu sebagai sahabat setia seorang jurnalis santri atau lebih tepatnya santri yang berproses menjadi seorang jurnalis di pondok pesantren ini. Setiap kali komputer itu bermasalah entah tiba-tiba mati atau monitor tidak berfungsi atau terinfeksi virus-virus flash disk hingga semua datanya hilang atau bahkan kabel USB-nya rusak. Ketika begitu, Abdul Aziz jurnalis santri itu sebagai paling senior yang sudah tentu berpengalaman akan membersihkan debu-debu yang mengotorinya dan memperbaiki kabel-kabel penyebab kemogokannya. Seperti kepada kekasih, dia begitu lembut dan penuh juang ketika memperbaikinya sehingga aku selalu melihat komputer itu tersenyum-senyum bahagia saat tubuhnya diperbaiki. Seakan-akan keduanya adalah sepasang kekasih. Komputer itu senantiasa menyediakan diri untuk segala keperluannya. Aziz pun tak pernah menolak di saat komputer itu membutuhkannya. Sungguh romantis!
Dua hari lalu Aziz meletakkan sebuah kitab kuning di atas USB di samping komputer. Biasanya, aziz meletakkan kitab-kitabnya di dalam lemari di pojok paling selatan ruangan ini. Entah karena apa, setelah mengaji kitab sullamuttaufiq kepada kiai ba’da isya malam itu, Aziz tak meletakkannya kembali ke dalam lemari. Kitab itu ditaruhnya di samping kanan komputer. Aziz justru merebahkan diri. Kemudian tidur. Barangkali lelah. Entah. Kitab itu tergeletak sendiri, terbiar miring, ujung sudutnya menyentuh sisi atas komputer. Kitab itu tersenyum penuh makna. Ini dia kesempatan yang selama ini dinantikannya. Dan si komputer balas memandang heran.
Pada malam itu pula saat tiba tengah malam, saat semua yang bernyawa tidur, saat tak ada sedikitpun nyala cahaya di kantor pers ini, terjadilah percekcokan ringan antara keduanya. Dari dekat lemari Aziz, aku mendengarkan dengan seksama.
“Enak ya mengambil kekasih orang!” si komputer langsung berkata ketus menyindir. Mendengar perkataan itu, si kitab kuning yang tak tahu menahu apa sebab, kaget bukan kepalang. Jelas, itu tuduhan tak beralasan.
“Sembarangan kamu berkata seperti itu. Apa alasanmu?” ucapnya sembari mengerutkan kening.
“Kamu pikir aku tidak melihat kekasihku menciummu tadi saat kamu hendak diletakkannya di sini?”
Si kitab kuning malah tertawa terpingkal-pingkal sampai tubuhnya yang tipis itu bergerak-gerak.
“Apa? Kekasihmu? Apakah aku tak salah dengar? Hahaha,” si kitab kuning tertawa lagi.
Si komputer mendengus, memasang muka cemberut.
“Memang benar dia telah menciumku. Barangkali pula dia juga mencintaiku. Dan semua itu sudah sejak dulu. Kami telah lama saling mencintai. Lagi pula, kamu jangan ngaku-ngaku sebagai pacarnya. Dasar tak tahu malu!” lanjutnya agak kesal.
“Hei. Jangan berpandangan sempit saudaraku. Mari berpikir logis sejenak tentang siapa kekasihnya sebenarnya,” jawab si komputer santai dengan lagak kecendekiawanannya yang khas. Betapa lihai dia mengendalikan emosi. Si komputer lalu melanjutkan:
“Bukan aku tak tahu dia selalu bersanding denganmu dulu. Membawamu mengaji ke kiai di masjid, menggerayangi tulisan-tulisanmu setiap malam, menghafalkan dan meletakkanmu di tempat istimewa di paling atas lemari berjajar dengan teman-temanmu yang lain. Tetapi semua itu dulu sekali sebelum aku datang dan ruangan ini berubah menjadi kantor pers pesantren. Kini, kamu dijenguknya hanya satu kali seminggu. Itu pun kalau ada ajian ke kiai. Kalau tidak ada ya malang nasibmu. Hahaha. Dia sekarang lebih memilih sering mengunjungiku. Menghidupkan layarku, memainkan mouse, mengetik-ketik keyboard dengan waktu yang begitu lama sehingga aku bisa sangat puas menikmati wajahnya yang tampan dan teduh. Bahkan pekerjaan itu percumbuanku dengannya dia lakukan setiap hari setiap malam. Tiada hari libur. Jadi, siapakah sebenarnya yang dicintainya?”
“Loh, bukankah kamu melihat sendiri tadi dia telah mencium siapa? Aku kira kamu tak pernah dicium sekalipun hanya satu kali. Bahkan kalau kamu tiba-tiba konslet, kadang dia membentakmu dan mendenguskan amarah. Benar tidak?” si kitab kuning membantah disertai posisi bibir mencibir.
“Jadi kamu yang pelakor!” lanjutnya menuduh komputer. Si kitab kuning kadang memang gampang menyalahkan orang.
“Oh tidak bisa begitu. Kalau…
Belum sempat si komputer meneruskan perkataannya, dari luar ruangan menyemburat nyala hijau terang sekali. Seekor kucing berlari mengaum dan membentur pintu. Komputer dan kitab kuning sama-sama diam. Aziz bangun kaget, duduk memandang daun pintu yang sedikit terbuka. Lalu pindah ke jam di tangannya. Sudah pukul dua lewat dua puluh menit. Aziz pun keluar dan tak lama kemudian datang kembali dengan wajah dan tangan telah basah. Setelah memakai baju dan kopyah, Aziz salat tahajud. Sebuah sinar berwarna putih kafan dari ubun-ubunnya menyembur ke atas dan berpendar. Beberapa malaikat berebutan menghimpunnya ke dalam sebuah kantong gaib yang hanya dapat dilihat oleh makhluk macam aku.
Diam-diam si kitab kuning, komputer, dan aku melihat semua dengan jelas tanpa bicara apa-apa.
Setelah itu Aziz bergerak mendekati komputer. Tetapi urung, dia justru mengambil sebuah buku tulis dan bolpen. Di bawah lampu yang hampir setiap malam tak pernah dimatikan itu Aziz mulai menulis sesuatu. Entah, aku tak tahu. Hanya saja saat itu, dari balik kepalanya sebuah cahaya kuning keemasan memancar cepat ke atas langit, menyebar, lalu turun ke muka bumi menjadi keteduhan bagi tumbuh-tumbuhan dan kekuatan bagi hewan dan manusia yang dilimpahinya
Kemudian salawat di masjid berkumandang. Aziz berangkat ke masjid bersamaan dengan datangnya seorang pengurus yang bertugas membangunkan seluruh santri.
Lama tak datang, komputer dan kitab kuning tetap sama-sama diam. Di luar, Aziz punya kamar lain untuk menyimpan pakaian dan alat-alat mandi, serta barang-barang penting yang lain. Keduanya mengira, barangkali Aziz sedang masuk kampus, atau bertugas wawancara atau melakukan pekerjaan lain sebagaimana santri-santri lain. Sebagai seorang jurnalis sekaligus wartawan sekaligus juga mahasiswa sekaligus juga santri, sangat sulit ditentukan secara paten pekerjaan rutinnya sehari-hari. Hanya bisa dikira barangkali dan barangkali. Tetapi selalu dapat dipastikan setiap menjelang maghrib seperti saat ini Aziz pasti datang ke kantor ini, bersolek sebentar di depan cermin, mengambil serban di lemari terus berangkat ke masjid sampai setelah isya baru kembali lagi ke sini. Begitu memang rutinnya.
Sekarang sudah pukul setengah delapan. Ahai lihatlah, Aziz datang. Bajunya lengan panjang berwarna biru, sarungnya kuning bermotif garis-garis tebal berwarna orange, kopyah nasional diletakkan agak condong ke dahi. Khas. Aziz langsung merebahkan diri di depan komputer, menghidupkannya dan mengetik sesuatu lama sekali. Si komputer tersenyum sambil menggerakkan alisnya pada kitab kuning. Gerakan yang mengejek. Dua jam kemudian, mungkin karena sudah selesai atau payah atau mengantuk, Aziz mematikan komputer lalu mundur, telentang, dan memejamkan matanya. Aziz tidur. Pulas.
Si komputer dan kitab kuning tetap tak bicara karena memang belum waktunya. Sebentar kemudian tepat pada pukul satu kosong-kosong saat semua nyala di ruangan ini padam, pertengkaran itu dimulai lagi. Si kitab kuning bicara duluan.
“Kita teruskan yang tadi malam, bagaimana?”
“Pokoknya bagaimanapun keadaannya, dia sekarang sudah menjadi kekasihku.”
“Tidak bisa! Coba pikir baik-baik, dia tahu salat, puasa, berislam dan beriman dengan benar, bertauhid dengan yakin, berakhlak yang baik, mengetahui hadis-hadis nabi, fikih, tasawuf dan kearifan para ulama. Semua itu dia dapat melalui diriku. Seandainya tidak melalui aku, dia akan menjadi manusia yang hina, hanya tahu makan dan tidur saja seperti binatang sehingga kelak barangkali akan masuk neraka.”
“Benar memang, dalam bagian itu kamu berguna. Tetapi kamu harus pula membuka pandanganmu lebih luas. Tidakkah semua yang didapatkan darimu menjadi sia-sia baginya tanpa kehadiranku? Zaman sekarang sangat jauh berbeda dengan dulu. Dia tidak bisa berdakwah baik lewat tulisan, media online, majalah dan menolak paham radikalisme, liberalisme dan hoax yang kini sedang menyerang persatuan umat. Bukankah tanpa aku, dia tidak akan tahu bahwa jauh di negeri seberang, saudaranya yang seislam sedang ditindas dan diperangi habis-habisan?
“Tapi kamu juga harus melihat dengan jujur, disebabkan kehadiranmu banyak manusia yang merusak kodrat kemanusiaannya. Mereka lebih suka telanjang dan seks bebas seperti hewan, saling membunuh tanpa belas kasih, bahkan seolah menjadi robot yang dikendalikan oleh kekuatan dan kehendakmu.”
“Loh loh, itu yang kamu sebutkan justru karena kebodohan manusia sendiri. Bukan aku! Seandainya kehadiranku digunakan dengan baik dan benar, hidup tidak akan serumit itu. Lagian, akibatmu juga banyak. Coba diingat, bukankah akibat terlalu menjunjung tinggi ayat-ayatmu banyak manusia tak bersalah mati dalam tragedi Bom Bali? Juga, karena terlalu menekuni hukum-hukummu yang kaku dan dunia akhirat yang kamu unggulkan itu, umat islam jadi mundur?..
Keduanya terus saja mengunggulkan diri masing-masing dan saling menyalahkan sampai pada tepat satu menit sebelum aziz terjaga, tiba-tiba keduanya diam. Entah. Barangkali keduanya sadar bahwa perdebatan dan pertengkaran ini ternyata begitu tidak berguna. Betapa sesuatu yang berisi ilmu seharusnya seperti padi tidak saling menyalahkan dan membusung dada melainkan makin merendahkan diri dan saling melengkapi satu sama lain. Bahkan, keduanya seharusnya bercermin, bahwa ubun-ubun si kitab kuning memancarkan cahaya berwarna putih kafan sedangkan si komputer berwarna kuning keemasan seperi purnama. Dan dua nyala warna itu sudah ada pada diri Aziz.
Aziz pun terjaga, duduk dengan raut muka kesejukan pagi seolah dia tak pernah terlelap walau sekejap pun. Aziz tersenyum memandang komputer dan kitab kuning. Sepertinya, dia mengetahui pertengkaran mereka berdua.
“Silakan diteruskan. Aku sudah kadung mendengar semuanya,” kata-katanya halus memandang lurus pada kedua benda itu.
Si komputer dan kitab kuning saling pandang. Keduanya kaget dan tak menyangka kenapa sejak tadi mereka tak melihat percik cahaya menyala di ubun-ubun Aziz atau memang dia sudah mampu menyembunyikan nyala nafasnya sendiri. Pertanyaan dan keterkejutan berkuasa ditambah kenyataan bahwa Aziz bisa mendengar suara mereka. Sungguh, di luar dugaan!
“Kenapa masih diam? Ayo lanjutkan. Selesaikan masalah kalian mumpung aku sedang baik hati.”
Kedua benda itu tetap diam. Hening. Jarum jam yang bertengger di angka dua terdengar berdetik-detik. Selain itu, lengang. Kesunyian seperti mengendap di kamar ini. Tetapi jauh di kedalaman matanya, betapa si kitab kuning ingin segera meloncat dan menghantam layar komputer hingga pecah dan mati. Begitu juga sebaliknya, dengan sengatan listrik yang kuat si komputer ingin sekali menyetrum tubuh kitab kuning sampai gosong atau bahkan terbakar menjadi abu.
“Dasar egois!” Aziz mengumpat.
Hingga si komputer dan kitab kuning menunduk, memandang dirinya masing-masing. Udara seolah dipenuhi perasaan menyesal dan rasa bersalah. Akhirnya, Aziz mendekat menghampiri keduanya. Dia duduk berwibawa seperti seorang ibu di hadapan kedua anaknya yang nakal.
“Duhai komputer, aku sangat paham terhadap sebenarnya dirimu. Bersamaku, kedua tanganmu telah berani mengangkat suara-suara orang miskin dan tertindas. Kelicikan para bandit negara, koruptor, dan penderitaan kalangan rumput bisa dengan mudah dibongkar hingga diketahui seluruh dunia. Seorang jurnalis macam aku mana mungkin bisa hidup tanpa pengorbananmu yang tulus itu.” Si komputer terlihat bangga.
“Kau juga kitab kuning. Aku ini santri yang isi batinku sebenarnya adalah ruhmu. Arah jalan hidupku bergantung pada petunjuk-petunjuk yang kau miliki itu. Engkaulah yang senantiasa memeluk dan menjagaku dari keringnya jiwa dan hati. Tentu saja, tanpamu mustahil aku mampu menikmati makna hidup ini.” Wajah si kitab kuning pun cerah sumringah.
Namun, tak satupun kalimat keluar dari mulut kedua benda itu. Sehingga Aziz berbicara lagi:
“Jadi sudah jelas, sebagaimana kalian kepadaku aku pun sangat mencintai kalian berdua. Tetapi ingat, cinta itu lebih luas dan cepat ketimbang cahaya. Terlalu panas menjadi api yang membakar segala wujud. Terlalu keras menjadi kilau sinar yang membutakan setiap mata. Maka, sebagai terpelajar yang bijak kita harus membatasinya dengan cara menjaga keseimbangan dan kemaslahatan kehidupan. Jika tidak, kalian sendiri akan binasa, pula orang lain termasuk aku yang kalian cintai ini.”
Suaranya seperti angin yang berdesir halus di antara bumi dan langit.
“Kalian berdua tetaplah benda-benda yang hakikatnya tidak akan pernah bisa menjadi pasangan hidup manusia. Kau, kitab kuning bertugas menjaga dan menyuburkan jiwa dari kekeringan. Sedangkan kekakuan, kekolotan, dan segala ketakberesan manusia, siapa lagi yang dapat menyelesaikan kalau bukan kau, komputer? Maka mulai saat ini jangan lagi bertengkar. Seharusnya kalian berjalan beriringan untuk bersama membangun keseimbangan dan kemaslahatan hidup.”
Kedua benda itu tersenyum saling pandang dan mengangguk mantap.
“Ya sudah. Sekarang aku pamit kepada kalian. Sebab, besok aku akan boyong ke rumah dan menikah dengan kekasihku.”
Aziz lalu keluar meninggalkan si komputer dan kitab kuning yang sama-sama kaget alang kepalang. Sebentar kemudian, keduanya tertunduk dan sepasang matanya yang sunyi itu menjadi sembab.
Namun sesaat sebelum keluar, Aziz menghampiriku dan membuka tutupku. Dua nyala cahaya yang sembunyi di tubuhku seketika meloncat dan hinggap kembali ke ubun-ubun Aziz.
Annuqayah, Maret 2020 M.
Penulis: Ahmad Nyabeer adalah santri kelahiran Nyabakan Timur. Termasuk mahasiswa IQT Instika. Saat ini bergiat di Komunitas Persi-Iksabad-Ikstida, Kru Majalah Muara, anggota IPJ Lubangsa dan Komunitas Qowansi.
*Cerpen ini menjadi kontributor Lomba Cerpen Nasional yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Sidogiri dalam memperingati Milad PP. Sidogiri yang ke-283 dengan tema "Marhaban Santri Milenial".
Nb: Cerpen setelah diedit lagi.