Lelaki Beraroma Embun
2214 View
Aku hanya seorang lelaki yang tinggal di dekat pohon. Orang sepertiku memang layak tinggal di sebuah tempat terpencil. Tidak terlalu mewah seperti gedung-gedung pemerintahan yang mencakar langit. Dari kejauhan, tempat yang kutinggali kelihatan begitu kumuh. Namun, di sekitar tempatku, ada beberapa macam tumbuhan yang tumbuh. Bahkan, di sekitar tempatku, bunga-bunga sudah merekah dan daun-daunnya terlihat rimbun. Barangkali, karena tempat yang kudiami ini begitu sejuk apalagi hampir setiap hari ada embun yang menetes sehingga lambat laun akan memberikan kesejukan kepada lingkungan sekitar.
Sejak dahulu, aku selalu menaruh curiga pada tempat yang kutinggali ini, bukan saja karena rumputan yang tiba-tiba seperti bersembahyang. Kata orang-orang dan para tetangga sekitar—ditempat yang kudiami ini—pernah menjadi salah satu tempat lahirnya orang-orang hebat. Bahkan yang lebih menaruh curiga pada tempat ini menurutku ketika setiap pagi hari selalu ada lelaki yang membawa embun dan meletakkannya di ranting, daun, bunga hingga menjadi buah yang berguna bagi masyarakat. Kusebut lelaki itu sebagai lelaki embun saja. Soalnya, Lebih cocok.
Lelaki itu akan membangunkanku setiap menjelang pagi, ketika suara kokok ayam masih menggema dalam telinga. Dengan dingin dan sejuknya, lelaki itu selalu berhasil membangunkanku yang masih terlelap dalam dengkur. Meskipun aku selalu ingin berlama-lama tidur, lelaki itu justru akan merasuk dalam tubuhku menjelma gigil yang tidak bisa tertahankan sehingga aku akan bangun sebelum ia kembali membuat tubuhku bergetar hebat akibat gigilnya.
Ketika matahari berdiri sepenggal tiang, lelaki itu masih meletakkan embun di tubuhku meskipun matahari lamat-lamat melenyapkan kedinginannya dari tubuhku. Jika ada lelaki itu, aku tidak akan pernah takut apabila malam bertandang sangat kelam sebab lelaki tua itu akan senantiasa menjadi embun sejuk yang menetes pada setiap makhluk hidup yang ada di sekitarnya.
Aku merasa girang ketika pagi hari. Sebab, aku kembali akan menemukan lelaki itu dan ia akan membangunkanku kembali dengan kesejukannya, seakan ketika aku dibangunkan oleh lelaki itu, aku menjelma seseorang yang terus berjalan sepanjang hari. Berkat sejuknya aku bisa bangun hingga sore hari. Bahkan, menurutku ini sesuatu yang sangat aneh, wajahku selalu dipenuhi rasa riang menjalani hari-hariku. Ah, aneh sekali...
Aku merasa hari-hariku akan tenang jika terus bersama dengan lelaki itu. Hampir setiap malam ia berkunjung ke tempatku untuk menebar sejuknya. Kesejukannya telah merasuk dalam jantung dan tubuhku. Sudah tentu, hatiku akan selalu sejuk setiap waktu. Aroma embun yang menyerbak dari aura dan sikapnya membuatku terkesima kepada lelaki itu. Siapa yang tidak senang kepada lelaki yang bersikap dingin dan baik hati apalagi penuh dengan perhatian dan kepedulian?
Aku berani mengadu pada orang-orang di pemerintahan, jika ditanya siapa orang yang berjasa bagi negara—selain Bung Karno dan pahlawan lainnya—maka lelaki itulah yang akan kusebut paling dahulu sebagai pahlawan yang membangunkan mimpiku. Aku pun tidak akan terlelap jika kekuatan dingin yang ada diotaknya masih kebal merasuk dalam jantungku. Masa depanku akan terbit besok hari seperti sinar matahari. Hanya dialah satu-satunya lelaki harapanku yang bisa menjelma dingin yang berkepanjangan dalam hidupku. Cobalah sekali-kali tinggal ditempat yang kudiami. Tidurlah dengan lelap ketika malam, pastilah lelaki itu akan datang pada waktu fajar. Masa depanmu akan terbit seumpama denyar matahari.
***
Fajar masih bertebaran di atas cakrawala. Jam menunjukkan 04.40 WIB. Matahari dari ufuk timur mulai mengintip malu-malu. Hanya saja, langit masih gelap dan gemeletuk merasuk dalam tubuhku. Ini adalah pertanda lelaki beraroma embun itu sebentar lagi akan datang membangunkanku.
Aku tercengang melihat pemandangan ini. Pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya kecuali baru pertama kali di tempat ini. Aku mengikuti mereka yang berdiri sembari memasang wajah kebingungan. Lelaki itu berlalu dari hadapanku. Teman-teman yang ada di sampingku hanya bungkam, membelah, lalu membentuk jalan kepada lelaki itu. Sebagian yang lain merendahkan diri ketika lelaki itu lewat. Bagiku tempat ini begitu Aneh. Orang-orangnya juga aneh, tetapi karena keanehan itulah aku selalu penasaran untuk selalu tinggal di tempat ini. Aku berusaha betah di tempat ini dengan segala keanehannya
“Ayo bangun!” lelaki itu membangunkanku di pondok gubuk berukuran sepuluh meter.
“Ehm...“ suara igau Daun di sampingku seraya merapikan selimutnya. Dia kembali tidur terlelap.
“Ayo bangun ! sudah subuh, cepat!“ tegas lelaki itu dan berlalu menuju surau.
Aku terperangah seketika sembari membangunkan Daun di sampingku. Segeralah aku bergegas ke kamar mandi dengan langkah terhuyung-huyung untuk mengambil wudu. Kulantunkan adzan menggema ke penjuru kampung. Kulihat lelaki itu duduk bersila membaca dzikir sebelum shalat shubuh dilaksanakan.
Usai shalat shubuh, lelaki itu tampak menyelidik beberapa santri yang hadir berjama’ah, terutama aku yang berada di posisi paling depan. Sepertinya ia menatapku dengan mata menyelidik.
“Mana Daun, Ranting?” tanya lelaki itu kepadaku.
“Dia tidak bangun, kiai “ jawabku. Gugup.
“Kenapa tidak dibangunkan? kalau temanmu tidak bangun, itu tanggung jawabmu untuk membangunkan ! Jika tidak dibangunkan, maka sama saja kamu membiarkan maksiat merajalela. Dalam Al-qur’an, bukankah kita diperintahkan untuk saling mengingatkan?” tutur lelaki itu penuh wibawa.
“Tapi, pak kiai, tadi sudah saya bangunkan. Hanya saja, Daun terlalu malas” Jawabku polos.
“Oh, begitu. Bangunkan sekarang! Panggil dia, suruh menghadap saya!” gertaknya.
Dengan tergopoh-gopoh, aku melangkah menjauhi forum itu. Aku membangunkan Daun yang masih terlelap dalam dengkurnya di dalam gubuk pondok. Kuguncang tubuhnya dengan sangat kencang. Akhirnya dia bangun dengan mata membelalak.
“Ada apa, Ran? “ tanyanya padaku.
“Kamu dipanggil kiai, ayo cepat !” jawabku bersungguh-sungguh. Menatap lekat wajah Daun.
“Kamu serius, Ran?” Daun terkejut. Dia tergesa-gesa mengambil songkok lalu keluar dari gubuk.
Sesampainya di surau, aku menghaturkan Daun kepada kiai.
“Ka’dinto[1] Daun, Kiai” aku duduk kembali ke tempat semula.
“Kamu tidak ikut berjama’ah shubuh, Daun?” tanyanya menyelidik.
“Enggi[2], kiai” jawabnya. Dia hanya merunduk.
“Kalau pemuda Indonesia seperti kamu, kapan negara Indonesia ini akan maju. Diajak kepada kebaikan malah menolak. Kerjanya hanya tidur melulu, bisa-bisa negara ini akan selalu ngantuk.” Jelas lelaki itu dengan nada menyindir.
“Untung kamu berada di pesantren ini. Kamu tahu, semua yang diajarkan di sini merupakan praktek dalam mengarungi kehidupan masyarakat kelak ketika kamu pulang. Santri itu Munzirul qaum[3]“ lanjutnya. Semua santri menyimak baik-baik.
“Ya, jangan ulangi lagi perbuatanmu, Daun!” kiai menatapnya sembari menudingkan telunjuk ke wajah Daun.
Selesai Ajian Al-qur’an, semua santri diperintahkan untuk menyapu halaman surau. Sampah-sampah sangat bau dalam hidung. Kebiasaan menyapu biasanya sebagai tebusan atas dosa yang telah diperbuat kepada pesantren. Halaman yang bersih cerminan hati yang jernih. Kebiasaan ini selalu dilakukan oleh semua santri meskipun embun masih menyimpan dingin dalam tubuh hingga matahari meninggi.
Kuhampiri Daun yang tengah duduk termenung di depan gubuk. Dari ekpresi wajahnya, sepertinya dia menyesal dengan perbuatannya sendiri yang telah dia lakukan tadi.
“Kenapa kamu, Daun ?” tanyaku menghampiri. Sapu lidi masih kupegang di tanganku.
“Gak apa-apa, Ran. Aku hanya takut jika kiai dhuka, bisa-bisa nanti aku tidak akan memperoleh barakah dari pondok ini “ katanya padaku dengan wajah memelas.
“Coba sekarang ubah karaktermu yang seringkali mengotori halaman. Sekarang kamu menyapu dulu sebagai wujud baktimu pada pesantren “ suruhku menyodorkan sapu lidi yang kupegang.
“Anggap saja itu permohonan maafmu pada pesantren” Ledekku dengan nada guyon menjauhi Daun.
Kulihat Daun menyapu bersih sampah-sampah yang ada di halaman surau. Daun benar-benar menyesali perbuatannya hingga dia sempat menyiram bunga-bunga yang ada di depan surau. Halaman tampak binar. Tanah basah sejuk dalam darah. Sementara, aku memperhatikannya dari jauh. Ternyata, dia juga remaja yang bisa bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuatnya sendiri.
***
Belum sempat aku menutup kelopak mataku, tiba-tiba...
“Tolong....tolong....tolong....!” terdengar suara orang minta tolong menggema.
“Hei, Daun. Bangun! Ada orang yang minta tolong“ aku membangunkan Daun yang baru saja tidur pulas.
“Sudah, tidur dulu, Ran. Masih malam, nanti kalau subuh tiba, bangunin! Aku akan mengumandangkan adzan” cerocos Daun dari mulutnya.
“Bangun...Daun!” kuguncang badannya.
“Ada apa, Ran?” Daun membuka mata perlahan.
“ Coba dengar!”
“Ada orang yang minta tolong!” lanjutku pada Daun sembari mendengarkan dari mana suara itu muncul.
“Iya, Ran. Sepertinya dari dhalem kiai Syarqawi.” Daun mulai memperhatikan dengan seksama suara itu.
“Iya, Ran. “ aku dan Daun melongo.
Segeralah aku keluar dari surau untuk melihat langsung dari mana suara itu berasal. Sungguh aneh!
Aku hanya tertegun menyaksikan peristiwa yang terjadi. Suara itu ternyata adalah jeritan histeris Nyai Fatimah. Kiai Syarqawi meninggalkan anak sulungnya dalam keadaan rukuk setelah selesai melaksanakan shalat tahajjud. Orang-orang kampung berbondong-bondong mendatangi rumah kiai Syarqawi ; ada yang berlari sembari menahan isak tangisnya, ada yang termenung merasa tidak terima dengan kepergiannya, hingga kabar itu pun sampai ke penjuru kampung merambat cepat.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, kiai sudah meninggalkan kita,“ ucapku pada Daun yang termenung di sampingku.
“Iya, Ran. Semoga beliau mendapatkan ketenangan di sisi-Nya” Daun menahan isak tangisnya dengan perlahan.
“Amin” jawabku dengan lirih.
***
Akhir-akhir ini aku merasa heran, hampir setiap menjelang shubuh bayang-bayang lelaki itu selalu bersemayam dalam mimpiku. Seperti malaikat shubuh, ia akan membangunkanku yang masih terlelap. Aku terjaga. Akan tetapi, aku tidak lagi merasakan aroma embunnya.
Berkat didikan lelaki itu kini aku menjadi ranting yang bisa bertahan dari terjangan angin dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Aku percaya jika ikatan batin santri dan kiai akan kekal. Doa-doa kiai selalu mengalir dalam tubuh kita saban hari. Dan meskipun lelaki itu sudah meninggalkanku dan penduduk kampung selama puluhan tahun, tetap saja ia kusebut embun yang mengalir dalam tubuhku.
Di depan Maqbarah, sejenak aku mengenang kepergiannnya bersama Bunga, istriku dan Daun, sahabatku, sebelum akhirnya aku beranjak ke dalam mobil. (*)
Cerpen : Abdul. Warits* *Cerpen ini terantologi dalam buku "Sundul Langit"[1] Ini (Bahasa Madura yang digunakan dalam rangka ta’zim (mengagungkan dan memuliakan) kepada kiai atau orang terhormat)
[2] Iya (Bahasa Madura)
[3] Orang yang bisa mengajak masyarakat ke arah yang lebih baik ketika mereka pulang ke dalam kehidupan masyarakat.