Bayi yang tak Dirindukan
6237 View
Oleh: Abdul Warits*
Siang itu, matahari begitu garang seperti ingin membakar setiap orang yang berjalan di atas tanah-tanah yang menyimpan resah. Dua perempuan itu membawaku entah akan pergi kearah mana. Satu perempuan lagi menggendongku perlahan-lahan memasuki hutan yang dipenuhi dengan dedaunan rimbun dan ladang-ladang membentang. Dengan mata waspada, mereka meletakkanku di bawah pepohonan rindang. Aku mengira perempuan yang menggendongku hanya ingin istirahat saja. Dugaanku ternyata salah, dengan perasaan tak berdosa dua perempuan itu meninggalkanku sendirian.
“Bagaimana si mbok?” ucap perempuan dengan wajah seperti purnama itu.
“Sudah nyai, beres!” jawabnya. Mereka berdua meninggalkanku dalam kesendirian dan kesunyian yang mencengkram. Entah, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berdoa semoga tuhan masih bekuasa atas segalanya dalam hidupku yang akan berjuang menuju kehidupan sebatangkara.
Sejak peristiwa itu, aku menjadi orang yang paling benci dengan perempuan. Perempuan itu kejam. Seringkali aku merasa takut kepada perempuan karena mereka terkadang hanya bisa memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang yang berada di sampingnya. Meskipun, aku percaya jika perempuan selalu mempunyai naluri keibuan, kasih sayang dan selalu mengedepankan perasaan atau bahkan cerita yang beredar tentang dibalik lelaki hebat pasti ada perempuan hebat dibelakangnya. Ah, entahlah.
Aku bahkan selalu dihantui perasaan was-was tiada tara ketika harus berhadapan dengan perempuan, sebab ia yang menjadikanku manusia sebatangkara yang hanya bisa tawakal kepada doa-doa. Perempuan mana yang tega membuang anaknya sendiri, kalau bukan karena hubungan gelap dengan seorang lelaki. Kukira perempuan terlalu banyak bersilat lidah. Rasa malunya sangat tinggi sehingga ia akan tega membuang anak yang lahir ke dunia meskipun sebenarnya anak itu adalah anak yang tak berdosa dan masih merindukan surganya.
***
“Ibu...ibu...ibu..”rengek seorang bayi yang memanggil ibunya di tengah hutan belantara. Tak ada orang mendengar kecuali seekor kerbau yang kerapkali datang untuk menyusuinya.
“Kemana ibumu, nak?” tanya kerbau kepada sang bayi.
“Aku adalah bayi yang tak dirindukan untuk lahir ke dunia ini oleh bapak dan ibuku”jawab sang bayi dengan penuh kesedihan. Kemudian sang bayi merengek kembali. Tangisnya terus menerus menderu sepanjang siang dan malam sehingga membuat kerbau juga merasa iba kepadanya.
“Kenapa kamu mengatakan demikian?”lanjut kerbau menanyakan.
“Sejak lahir aku tidak pernah bertemu dengan orang tuaku, bahkan aku belum pernah merasakan bagaimana orang tuaku memberikan kasih sayangnya kepadaku,”sang bayi kembali mengadukan keluh kesahnya kepada kerbau di sampingnya. Sementara, kerbau masih saja mengunyah rerumputan yang ada di sekitarnya.
Rumput hanya mendengarkan kemudian ia nimbrung dalam percakapan mereka yang sedang bercengkrama.
“Apakah di dunia ini masih ada seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya setelah melahirkan?” tanya rumput. Kerbau tercengang dengan pertanyaan rumput dan sang bayi kembali menjelma anak yang benar-benar sendu ketika itu.
“Aku selalu menyusui anak-anakku yang kehausan, karena anak-anakku kelak akan dibutuhkan tenaganya oleh manusia untuk membajak tanah madura yang gersang ini”kata kerbau berusaha membela kepada rumput.
“Ya, kau saja yang masih berjiwa hewani bisa menyusui anakmu ketika kehausan. Lalu, kenapa manusia yang dikaruniai akal tidak bisa menggunakan perasaan dan naluri keibuannya?” rumput memburu dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Sebenarnya aku sudah sangat bersyukur hidup dan melihat dunia ini. Aku sangat berterimakasih kepada orang tua yang telah melahirkanku hingga aku bisa bertemu dengan kalian” sanggah sang bayi.
“Kalau begitu, silahkan kau susui si bayi ini, karena aku sudah memberikan asupan gizi kepada tubuhmu”perintah rumput kepada kerbau.
“Baiklah, aku akan menyusuinya”jawab kerbau meyakinkan.
Kerbau menyusui sang bayi di tengah hutan belantara. Bahkan ia lupa untuk pulang ke kandangnya hingga petang merambat ke ujung barat. Sementara, sang pengembara merasa curiga karena kerbau seringkali terlambat untuk pulang. Dengan siaga, ia kemudian menyelidiki kerbau yang seringkali terlambat pulang ke kandangnya.
Tiba-tiba sang pengembala takjub melihat adegan yang sedang berlangsung di hadapannya. Dalam pikirannnya, ia terus bertanya-tanya kenapa kerbau bisa menyusui seorang bayi yang masih unyu-unyu.
“Subhanallah” ucapnya.
“Kenapa kau masih di sini kerbau? Apa yang sedang kau lakukan? Bayi siapa yang kau susui itu?”tanya pengembala dengan ramah.
“Saya iba dengan bayi ini, tuan, lalu saya susui”jawab kerbau.
“Oh begitu, ayo kita pulang ! hari sudah petang, biar aku saja yang akan merawat bayi ini”lanjut pengembala.
Mereka berdua akhirnya pulang dengan wajah sumringah karena telah menemukan seorang bayi mungil. Bayi itu hanya diam sepanjang perjalanan sebab ia sudah beruntung dipertemukan oleh tuhan yang maha kuasa dengan makhluk yang baik hati. Pengembala menggendong bayi itu dengan penuh perasaan cinta dan kasih sayang sementara kerbau mengikutinya dari belakang.
***
Kepada ibuku, Potre Koneng
Aku menulis surat ini sebagai bentuk kerinduanku kepadamu, ibu. Mungkin kau sudah dalam keadaan tenang di sana. Tetapi, aku di sini masih mengalami hal paling memilukan dalam hidupku. Meski kutahu, kau adalah ibuku. Tetapi, mereka selalu menganggap bahwa aku adalah anak jadah dari mimpi-mimpi khalayanmu semata.
Perlu kau tahu, ibu. Mereka selalu menganggap bahwa kau adalah perempuan pelacur yang menggadaikan kehormatannnya kepada seorang lelaki biadap, Adi Poday. Meski kutahu niatmu sebenarnya adalah untuk menyepi dari keramaian ke gunung Payudan. Tetapi, aku tidak percaya pada cerita-cerita yang hanya dikarang oleh mereka. Setahuku tidak ada perempuan yang melahirkan anak tanpa seorang bapak. Yang kupercaya hanya cerita Maryam yang melahirkan nabi Isa As. dan aku merasa kau bukan Maryam dan aku juga bukan Nabi Isa. Aku hanya manusia biasa.
Tetapi, maafkan aku ibu. Sebab aku tidak bisa menjadi nabi Isa yang bisa berbicara dalam keadaan bayi untuk membela tuduhan-tuduhan kaum kafir. Tapi, aku hanya bisa mendoakanmu dan aku hanya bisa tabah, ikhlas pada kau yang telah melahirkanku ke dunia. Dunia yang terlalu fana untuk kuhadapi.
Sejak semula aku merasakan ada rahasia yang tersimpan di antara kita. Barangkali kau sekarang akan melihatku tumbuh menjadi anak yang sudah dewasa. Kau tentu akan sumringah dengan kehebatanku yang terkenal seantero pulau madura ini. Tetapi, hidupku begitu melarat sejak dalam kandunganmu. Sebab aku dilahirkan dari rahimmu yang suci. Rahim yang selalu kau pelihara dari segala godaan meski pada akhirnya nafsu selalu membelenggu manusia.
Barangkali hanya akulah seorang anak yang ditakdirkan menjadi mandiri sejak masih bayi. Anak yang dibuang dan disusui seekor kerbau. Tetapi, aku bersyukur, berkat ketaatanku kepadamu, ibu. Aku dikarunia istri yang buta matanya tetapi hatinya telah kuhidupi dengan sumber mata air sehingga ia menjadi perempuan paling menawan. Sekarang aku percaya bahwa wanita mempunyai surga yang dirindukan oleh anaknya.
Dari putramu yang tak dirindukan kehadirannya, Joko Tole.
***
“Siapa namamu, nak?”tanya seorang di sampingku.
“Namaku Joko Tole,”jawabku seadanya. Sejak aku menyebut namaku orang-orang menjauhiku. Tetapi, aku tidak pernah putus asa. Aku selalu berusaha menghapus anggapan-anggapan mereka dengan kelebihanku yang kini bisa kau saksikan pada cerita yang selalu diperbincangkan oleh masyarakat Madura.
NB : Cerpen ini dinobatkan sebagai Cerpen terbaik II Tingkat Mahasiswa Lomba Cipta cerpen LPM Spirit Mahasiswa UTM Bangkalan dengan tema "Menggali Ulang Cerita Rakyat Madura" 2018.