Mengapa Anak-anak Itu Tidak Mau Pergi ke Sekolah?
11844 View
“Apa? Anakmu juga tak mau sekolah?”
“Lah, anakmu juga? Ada apa sebenarnya dengan anak-anak itu.”
Percakapan itu membuat kegiatan di pasar terhenti. Orang-orang berkerumun. Kerumunan itu membesar dan mensesaki pasar. Para penjual ikan meninggalkan dagangannya hingga tak tahu kalau kucing memakannya dengan kalap. Penjual sayur-mayur tak memedulikan pembeli dan merapat. Penjual beras, tajin kuning, gorengan, dan penjual minuman anak-anak pun sama. Pasar berubah jadi tempat berkerumun membicarakan perihal anak-anak mereka yang tak mau belajar kesekolah.
“Anak-anak kalian pun sama?”
Kerumunan itu menarik perhatian pengendara. Sebagian ada yang memarkir sepeda dan mobilnya demi mengetahui apa yang tengah terjadi. Sebuah truk berhenti di tengah jalan dan membuat macet berkepanjangan. Klakson-klakson berbunyi dan banyak yang mengeluhi macet tersebut.
“Semoga kebakar tuh pasar.”
“Semoga Tuhan menggulingkan kendaraan yang berhenti tanpa sebab di depan.”
Udara pagi mulai merambat menjemput siang. Macet bertambah Panjang dan orang-orang masih berkerumun di pasar. Mereka yang terjebak macet merasa jenggkel dan berang, lalu mengeluarkan sumpah-serapah. Ada yang teriak-teriak, ada yang hampir kehabisan oksigen, ada pula yang megap-megap dijemput oleh malaikat berjubah hitam memegang kampak panjang nan tajam, bahkan ada yang turun dari mobil dan mengacak-acak apa pun di depannya layaknya orang kesurupan. Namun, kerumunan masih saja belum bubar.
“Kudu nelpon polisi.” ujar salah seorang pengendara.
Kemudian, muncullah seorang pemuda sambil merekam kerumunan. Video tersebut disebar dan menyebar cepat ke luar desa, keluar kota, keluar propinsi, dan keluar negara, mendunia. Akhirnya video itu ditonton oleh ribuan, jutaan, dan seluruh manusia dari belahan dunia. Ada yang merasa jengkel, penasaran, dan ada pula yang ingin mendatangi tempat kejadian. Beberapa menit setelah video itu tersebar dan ditonton oleh ribuan orang dunia, polisi datang dan mencoba membubarkan kerumunan. Namun tetap saja, kerumunan itu tak dapat dibubarkan.
Polisi memberi peringatan berupa tembakan udara dan gas air mata, namun massa bertambah banyak. Sebagian dari mereka ada yang bentrok, namun tetap saja, kerumunan tidak bisa dibubarkan. Kerumunan itu bertambah besar dan tak ada yang dapat dilakukan untuk membubarkan kerumunan itu.
Baru pada jam sebelas siang, banyak wartawan berdatangan dan berebut meliput peristiwa kerumunan yang menyebabkan macet berkepanjangan, orang-orang berang, dan beberapa bentrok dengan polisi. Para wartawan yang berebut berita itu tak mau kalah dengan wartawan lainnya. Mereka saling berebut narasumber penting dan mulai kalap, hingga kamera masing-masing menjadi sasaran lemparan batu antara satu wartawan dengan wartawan lainnya. Namun, tetap saja, kerumunan tak dapat dibubarkan. Suasana di pasar berubah jadi kacau balau. Seolah kiamat turun sebelum matahari meletakkan tangannya di tempat dia tidur dan sebelum dajjal belum muncul dari dalam bumi.
Kerumunan itu terus bertambah mensesaki apa saja. Kerumunan yang awalnya ada di pasar kini melebar ke jalan raya, rumah-rumah penduduk, dan satu des aitu menjadi tempat kerumunan orang-orang yang membicarakan anak-anak mereka yang tiba-tiba tidak mau belajar di sekolah.
“Aku sudah memarahi dan memukulnya, namaun tetap saja anakku tak mau sekolah.”
“Anakku sudah kubelikan mainan baru, dan dia tak mau pergi ke sekolah.”
“Anakku sudah kubuatkan kue bolu kesukaannya, tapi dia tak dapat kubujuk agar pergi ke sekolah.”
Karena kerumunan semakin membesar, akhirnya pemerintah turun tangan. Mulai dari Kecamatan, Kota, Propinsi, sampai Pemerintah pusat turun kelapangan. Akan tetapi, mereka malah ikut berkerumun hingga kerumunan semmakin melebar dan tak dapat dibubarkan. Karenanya, banyak negara yang mengecam negeri tempat terjadinyta kerumunan tersebut. Organisasi-organisasi dunia pun turut andil. Mereka mengadakan rapat bbesar-besaran. Bahkan, sebelum rapat internasional itu diadakan, Presiden dari negeri tempat kerumunan itu melebar lebih dulu mengadakan rapat dengan para Menteri.
“Menteri Pendidikan memberikan laporan kalau mereka belum menemukan penyebab anak-anak yang tak mau sekolah.” Lapor juru bicara Menteri komunikasi dan informasi.
“Tapi, para psikolog, psikiater, telah diturunkan?” tanya Presiden.
“Ya, bahkan tidak hanya ke anak-anak yang tiba-tiba tidak mau sekolah. Para ahli pun turut dikerahkan kekerumunan berada.”
“Gara-gara kerumunan itu, hari ini perekonomian negara jadi ambyar.” Ujar menteri ekonomi.”
“Kerumunan itu juga ada yang menyerang polisi.” Tutur Menteri keamanan.
“Bahkan, temapat wisata di desa itu pun jadi berantakan.”
Presiden berpikir keras. Rambutnya jatuh perlahan-lahan. Matanya berputar seperti jarum jam. Sedangkan telinganya hampir pecah mendengar keluhan dari para menterinya.
“Aku punya ide.” Teriak Presiden dan para Menteri mnarik fokus mata mereka ke asal suara. “Bagaimana kalau kita tanya sama orang pintar.”
Mendengar itu, para Menteri terkejut. Sebagian ada yang tereperangah. Sebagian yang lain ada yang menahan tawa. Mengapa di jaman modern seperti sekarang masih ada yang percaya sama orang pintar? Namun, ide itu dicoba juga. Orang pintar itu didatangkan dari negeri antah berantah yang bernama Sukinan. Sukinan mendatangi desa tempat kerumunan terjadi. Meski malam hari, kerumunan itu masih belum bubar. Semua orang kini bertambah. Baik yang gerah karena macet dan berang hingga bentrok, mereka semua lupa waktu dan tempat berpijak.
Sukinan membaca mantra. Lebih tepatnya terdengar seperti ngalor-ngidul tepat di bawah bulan yang kini menggantikan posisi matahari. Matahari merasa Lelah melihat kerumunan yang tak jemu-jemunya membahas tentang anak-anak mereka yang tak mau pergi kesekolah.
Meski Sukinan pontang-panting sembari mulutnya mengeluarkan busa membaca mantra, dirinya tidak menemukan tanda-tanda makhluk halus menguasai jiwa anak-anak apalagi kerumunan yang semakin tak dapat dikendalikan. Sukinan mendekat dan memasuki pasar atau pusat kerumunan hingga dia tak dapat keluar lagi dan menjadi bagian dari mereka.
Kerumunan itu belum bubar juga. Para Menteri dan presiden kebingungan. Mereka menemukan fakta baru kalau ada satu orang saja yang mencoba masuk ke dalam kerumunan, dia akan menjadi bagian darinya dan tak dapat keluar. Suasana semakin kacau balau dan banyak negara yang mengecam tadi mulai membantu, namun, mereka malah menjadi bagian dari kerumunan itu hingga menyebabkan kerumunan bertambah.
Keesokan harinya, kerumunan itu bubar perlahan seperti air laut yang surut. Anak-anak Kembali mau pergi ke sekolah. Namun, di balik kesadaran orang-orang dalam kerumunan itu, banyak yang merasakan kerugian. Barang dagangan hancur lebur. Mobil, sepeda, hingga truk banyak yang penyok dan terbalik. Rumah-rumah banyak yang rusak. Banyak ibu muda yang berteriak kalau bayinya hilang dalam kerumunan. Entah jatuh atau malah dicuri orang. Yang jelas, kerumunan itu memebuat kerugian.
Pemerintah pun memperbaikinya secara perlahan. Akan tetapi, kejadian serupa berulang di tahun depan di hari yang sama dan seperti itu tiap tahunnya. Peresiden pun akhirnya mengeluarkan keputusan kalau pada hari itu diperingati sebagai hari mogok sekolah nasional. Bahkan dunia pun memperingatinmya mengingat dampak dari kerumunan yang membahas anak-anak mereka yang tak mau sekolah. Jadilah diperingati hari mogok sekolah sedunia. Adakah?
Penulis: Moh. Tsabit Husain. Merupakan mahasiswa Instika Jurusan Pendidikan bahsa Arab semester empat. Santri asal Bukabu, Ambunten tersebut pernah menjuarai lomba cerpen tingkat Annuqayah yang diselenggarakan oleh Lubangsa Selatan. Cerpen ini Tsabit buat, memang didedikasikan husus untuk Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).