Di Padi
1179 View
“Iya, ibu!”
“Tidak, anakku!”
“Tidak, ibu! Sudah seharusnya sawah itu kita tanami huruf-huruf. Telah telalu lama orang-orang kelaparan pikirannya. Sedang kita, sebagai petani harusnya bisa menyediakan makanan pula terhadap otak-otak mereka. Apakah ibu tega, melihat anak-anak di jalanan yang meronta-ronta mengaduh kesan-sini sambil memegang kepalanya hanya karena mereka tak pernah memakan huruf-huruf sedikitpun? Di luar sana ada banyak yang membutuhkan uluran tangan kita ibu.”
“Yang kita tanam adalah kehidupan, anakku. Dari sawah itu kita telah memberikan penghidupan kepada orang banyak. Apa jadinya bila kita tanami sawah kita itu dengan huruf-huruf? tidakkah akan ada lebih banyak lagi orang yang kurus tubuhnya sama dengan batang padi di sawah kita itu? Lagi pula apa gunanya hufur-huruf itu bagi meraka anakku? Toh di luar sana ada banyak huruf yang berceceran di jalanan. Orang-orang kini sedang sibuk-sibuknya menyusun huruf-huruf sementara sudah telalu banyak kata yang kehilangan maknanya.”
“Huruf-huruf harus terus tumbuh ibu. Di luar sana memang sudah terlalu banyak kata yang berserakan, bahkan sungai-sungai tepian kota, selokan jalan, dan termasuk pula udara yang kita hirup ini, barangkali kini telah terkotori oleh limbah kata-kata banyak orang yang terbuang. Tapi itu kesalahan orang-orang itu sendiri ibu. Tak pernah ada satupun huruf yang meminta untuk dilempar sembarangan seperti itu, hingga ia sampai memenuhi kota begitu. Aku bahkan bermimpi satu huruf selalu menangis memohon agar ia cepat dilahap manusia supaya ia bisa mengendap dalam tubuh orang yang telah melahapnya itu, yang lalu dengan begitu huruf itu akan senang sebab ia bisa bermain semaunya, menari perputar-putar dalam otak manusia. Orang-orang di luar sana yang salah ibu, harusnya mereka memberikan huruf-huruf yang tersimpan dalam lemari mereka itu kepada orang yang membutuhkannya di pinggiran kota, di kolong jembatan, dan di amperan toko-toko. Lalu kalau bukan kita yang memberikan pertolongn kepada mereka, siapa lagi yang mau?”
“Apa urusan kita dengan semua itu anakku. Kita hanya petani. Kita tak perlu mengurusi mereka yang sedang berada di gedung tinggi menjulang itu. Buat apa? Toh mereka tak pernah berpikir jika yang mereka tempati itu diam-diam telah mencuri matahari, mereka tak pernah tau jika gedung kaca itu telah mebuat kehiduapan mereka menguap di sawah kita. Kau tak perlu menanam huruf-huruf itu lagi anakku, sebab ia hanya akan terbuang. Kerja kita sia-sia. Pekan datang ibu tetap akan tanam padi di sawah kita, dari padi itu banyak orang yang akan hidup oleh keringat kita. Kita bekerja untuk kehidupan, bukan untuk dilemparkan sembarangan.”
“Terserah ibu mau berbuat apa. Tapi aku tetap akan menanam huruf-huruf di sawah kita. Akan kutata huruf itu dengan rapi-rapi, akan aku airi setiap hari, biar tahannya gembur, dan huruf-huruf itu tumbuh subur. Sejak besok akan aku bajak tanah kita itu. Sudah rindu aku pada sepetak tahan yang dengannya tidak akan ada lagi orang yang kelaparan pikirannya, yang meminta-minta kepada sopir taksi demi huruf yang tak pernah dimakannya sekian lama. Selamat malam ibu. Bangunkan aku lagi besok. Dan jangan lupa ingatkan aku kalau pagi-pagi buta sudah harus kubawa dua sapi di belakang pada sawah yang akan aku bajak itu.”
“Malam anakku. Selamat tidur. Semoga malam ini kau bermimipi tentang berjuta huruf yang menangis meronta, yang timbul tenggelam di lautan, yang terlempar ke angkasa, serta huruf-huruf yang sampai sekarang berada dalam penjara.”
“Malam ibu. Aku harap ibu nyekak bersama mimpi ibu dengan kehidupan yang sia-sia. Tentang orang yang salling tikam hanya untuk memperreputkan apa yang ibu tanam. Tentang penghidupan yang tak lagi dibutuhkan. Juga tentang orang-orang yang di tangan-tangan mereka harapan tumbuh subur dan berbunga, yang harum aromanya ada dalam tanah sawah kita. Malam ibu. Selamat tidur”
Bulan sebelah puranama masih terpaku saat anak itu memasuki ruang gelap penuh mimpi, yang di sana sekarang ia sedang melihat sawahnya samar-samar dan semakin terang. Ia saksikan ilalang di pinggir sawahnya yang kini ia rasakan sedang di tumbuhi huruf-huruf dengan suburnya bergoyang-goyang. Sementara ia sedang menari kegirangan di pematang sawahnya, tangannya ia kibas-kibaskan pada ilalang, sesekali juga ia coba menjangkau huruf-huruf yang berayun-ayun terbawa angin ke pinggiran. Senyum tak pernah henti mengembang dari bibir anak yang kini menginjak usia tiga belas tahun itu. Ia terus berlari mengitari sawahnya yang kini huruf-huruf tumbuh rapi, berwarna putih kebiru-biruan, biru kekuning-kuningan, dan kuning yang kelabu. Ada pula yang tua birunya, yang masih muda, yang baru tumbuh, dan yang masih berupa bakal tunas sebagai huruf yang tertanam.
Dalam mimpinya kini anak lelaki itu bagai terbang bersama burung yang sayapnya terbuka lebar, ia adalah burung yang sekarang sedang mengepak-ngepakkan sayapnya di udara, sekali ia hinggap pada sebilah bambu yang menyembul di pinggir pematang sawahnya, dari sana ia melihat hurufnya bergoyang-goyang. a, t, n, i, c, dan beribu huruf lain yang tersusun rapi. Ia lalu kembali terbang bersama burung-burung di sawahnya, bulunya berumbai-rumbai panjang, hingga berpilin-pilin di antara huruf yang ia taman. Lalu ia membelai huruf itu, menciuminya, membawa aromanya. Anak itu bermain huruf di sawahnya...
***
“Kau masih terus begitu istriku. Apa guananya kau meladeni anak sematawayang kita itu? Ia tak mengerti tentang kehidupan kita sebagai petani. Untuk apa pula kau bicara mengenai kehidupan padanya? Sedang kau juga tak mengerti kalau kehidupan kita ini tidak ada. Harus berapa kali aku katakan jika yang kita jalani sebagai petani ini bukan pilihan kita? Ini memang sudah dari tuhan, istriku. Tidakkah kamu sadar jika setiap hari kita bertemu Tuhan di sawah kita? Tidakkah kamu tau ada tuhan di padi kita? Tuhan : (baca : adalah) sari pati di padi kita istriku, Tuhan : batang padi, Tuhan : akar, Tuhan : tanah yang kita bajak, tuhan, tuhan dan tuhan. Kau tak mengerti itu istriku, harusnya itu pula yang kau ajarkan pada anak kita, bukan perdebatan panjang mengenai huruf-huruf itu.”
“Baiklah. Selamat malam suamiku.”
***
Pagi kembali datang membawa kehangatan pada tanaman di mana ia sekarang sedang melepas rindu pada dingin embun yang menyelimutinya semalaman. Cahaya matahari pagi ini serupa tirai bening kekuning-kuningan yang membentang dari balik cakrawala, menyelinap di antara awan yang mengambang, membuat cahayanya menjuntai lurus ke permukaan. Sungguh pagi yang begitu menawan.
“Kau mencegah langkahku ibu!”
“Cukup anak ku.”
“Apa lagi yang akan ibu katakan? Apakah itu tentang huru-huruf yang dalam anggapan ibu sudah tidak bernyawa itu? Atau mengenai kesaksian ibu atas huruf-huruf yang di rajam di jalanan, yang terikat di trotoar jalan, atau yang ibu menendengnya dari atas jembatan penghubung ke sebrang? Ayolah ibu, tidakkah ibu iba sedikitpun pada anakmu ini yang baru saja bisa mengeja huruf-huruf itu?”
“Cukup anakku. Perdebatan ini akan semakin panjang bila kamu tetap tak bisa mengerti apa itu petani. Kau hanya akan menghilangkan kepetanian kita anakku, karena yang kita tanam adalah ke-ada-an manusia, oleh kita munusia ada, sebab kitalah yang menumbuhkan harapan agar manusia bisa terus hidup. Di tangan kita kematian banyak orang tersimpan, anakku. Tidakkah kau paham itu? Kita petani. Yang kita tanam adalah bibit kehidupan, adalah tunas bangsa, penerus bagi keberlangsungan semesta.”
“Ibu yang tak bisa mengerti. Ke-ada-an manusia hanya untuk huruf-huruf itu ibu. Hanya saja mereka yang tak tau bila yang ada dalam harapan-harapan hanya berupa kehampaan jika itu tidak berupa huruf-huruf. Hidup untuk huruf, ibu. Semesta adalah huruf.”
Kicau burung adalah instromen bagi anak dan ibu yang kini sedang mematung saling memandang mata mereka masing-masing, sedang di dalam mata keduanya mereka sama-sama menemukan ketulusan yang melebur dalam tatapan mereka. Anak itu tau jika yang ibunya bicarakan itu adalah harapan panjang tentang kehidupan yang mereka pilkul bersama setiap hari sebagai petani. Ia tau jika keringat yang bercucuran dari tubuh ibunya saban hari di tengah sawah adalah bagian dari permohonan mengenai kesejahteraan manusia. Tapi ia tau pula jika ibunya tak mengerti kalau kehidupan tanpa huruf adalah kenistapaan yang lebih panjang dari kehidupan itu sendiri. Ia juga tau kalau huruf yang dilihat ibunya itu adalah huruf-huruf tak berguna yang orang-orang membuangnya sembarangan, namun ia juga sadar kalau yang semestinya ibunya pandangan adalah batapa banyak orang yang mebutuhkan huruf-huruf itu, ia tau ibunya lupa kalau di tempat lain masih banyak orang yang bahkan tak sempat mengenal huruf-huruf yang ada, ibunya tak tau jika rupanya ia pun tak begitu mengenal huruf-huruf yang tersusun itu, anak itu tau...
“Aku tau kehidupan ada bersama huruf-huruf yang juga akan kau tanam itu anakku, aku tau kalau yang kamu pikirkan adalah kehidupan manusia yang tak lagi ada makna. Tapi semalam ibu benar menyaksikan dalam mimpi ibu betapa semesta berputar di tengah sawah kita. Saat padi kita mulai menghijau ibu melihat alam raya semakin berkembang dan berputar. Kehidupan di dalamnya begitu menentramkan, anak-anak bermain tertawa riang, sedang para orangtua mereka lebih asik lagi memandangi mereka sambil tersenyum simpul dan merasa bangga dapat hidup dengan bahagia. Sedang bila padi kita itu telah menguning bintang-bintang terus tumbuh dan bertaburan di angkasa, bulan sempurna melingkar sebagai purmana yang menyinari malam kita di amperan rumah. Sungguh ibu menyaksikan itu dalam mimpi ibu semalam anakku. Dan kau tau? Saat tiba saatnya padi itu telah ranum buahnya, waktu di mana padi-padi itu seperti menunduk takdzim menghadap kita adalah masa di mana kita berada dalam puncak kebahagian yang seakan tak akan ada lagi kesenagan selain saat itu. Tidakkah kau juga mengimpikan hal itu anakku?”
“Tidak ibu, justru semalam aku bermimpi sedang bermain dengan huruf-huhur yang tumbuh rapi di sawah kita, huruf-huruf itu timbul tenggelam di antara ilalang, seperti melompat-lompat terbawa angin ke tepian sawah kita. Sedang aku yang saat itu adalah seekor burung yang bermain dengan huruf-huruf itu dapat merasaan betapa aromanya selalu memberi kabar kalau kehidupan manusia akan lebih panjang bersama huruf yang aku tanam sendiri itu. Sebagai burung yang juga memiliki bulu menjuntai panjang dapat pula aku rasakan kelembutan huruf-huruf itu ibu, lebutnya bahkan melebihi tangan ibu. Jika ibu dapat merasakannya boleh jadi ibu akan tau kalau kelembutan itulah yang selama ini manusia rindukan; kelembutan yang membawa ketenangan saat manusia tidak sadar jikalau dia sedang dibelai disayang dan ditimang-timang sebagai keagungan yang tiada tara hingga dia sendiri melupakannya; kelembutan yang barangkali tidak akan pernah seseorang dapatkan dari siapa saja kecuali huruf-huruf itu, ibu. Aku rasakan itu dalam mimpiku ibu, dan kini aku benar-benar telah merindukannya.”
“Tidak anakku, petani tetaplah petani, kehidupan adalah kita, harapan tumbuh di padi kita”
“Tidak ibu...”
Udara adalah saksi saat anak itu terjatuh pada pelukan ibunya, air mata menetes dari mata anak itu, sedang ketulusan yang paling dalam dari ibunya itu juga telah mencair jadi air yang membasahi pipi dan pundaknya. Air mata mereka mengalir membasahi tubuh mereka, membasahi pula lantai rumah mereka, sedang air mata keduanya masih saja terus mengalir, bercucuran dan semakin deras. Hingga terbasahi pula oleh air mata mereka pematang sawah, jalanan, dan halaman rumah-rumah, yang meski demikian air mata petani itu terus mengalir...
Sementara, kini Ibu itu sadar jika yang dikatakan anaknya adalah kebenaran yang tak dapat ia elakkan, huruf-huruf yang terbuang adalah dosa manusia yang telah menterlantarkannya, menjadikannya sebagai embun yang menguap di seantero dunia, yang hanya menambah beban pada dunia. Tapi ibu itu juga sadar jika anaknya terlalu dini untuk mengerti jita pertanian adalah kehidupan yang sesungguhnya, karena selama ini ia pun tau bahwa menjadi petani adalah pilihan untuk ke-ber-ada-an orang banyak, bahwa menjadi petani adalah jalan untuk keberlangsungan semesta.
“Ada apa ini? Kenapa pipimu basah? Kenapa pundakmu basah? Kenapa lantai ruah kita basah? Kenapa pekarangan basah? Jalanan basah? Sawah basah? Tanah basah? Bumi basah? Kenapa? Ada apa?”
“Kau tak mengerti, ayah.”
“Mengapa? Kenapa ibumu menangis?”
“Aku tidak apa-apa suamiku”
“Kalian bertengkar lagi mengenai sawah kita? Berhari-hari sudah kalian demikian. Apa gunanya? Toh sawah kita masih sama juga dari hari-hari sebelumnya, kita juga tidak berubah dan tetap menjadi petani. Harus berapa kali ayah katakan jika perdebatan kalian hanya akan menambah panjang penderitaan kita dan yang lainnya. Semua yang kalian bicarakan itu tak ada gunanya, tak ada apa-apanya. Mengapa tidak kalian tanami saja sawah itu sesuai kemauan kalian masing-masing, karena apapun yang kalian taman hasilnya juga sama, tetap Tuhan yang akan tumbuh di sawah kita. Apa gunanya kalian berbicara tentang kehidupan dan harapan? Sementara semuanya adalah ke-tiada-an. Yang kita taman itu tidak ada, yang ada Tuhan tumbuh di sawah kita, Tuhan ada pada kita, di padi kita ada Tuhan, di huruf ada Tuhan. Lalu mengapa masih diperpanjang?”
“Ini tentang huruf-huruf ayah, yang banyak orang membutuhkannya.”
“Ini masalah kehidupan yang ada pada sawah kita, suamiku.”
“Kehidupan untuk huruf-huruf, dan huruf-huruf untuk kehidupan, sedang semuanya tidak ada. Pertanian adalah cara Tuhan memberikan kehidupan untuk huruf, dan huruf untuk kehidupan itu sendiri. Sedang petani adalah tubuh Tuhan yang berpencar-pencar. Tidakkah kalian sadar itu?”
Angin serasa berhenti beredar untuk sesaat di mana anak dan ibu itu menunduk, sementara air mata terus mengalir dari mata mereka membasahi bumi. Mereka tau jika yang dikatakan ayahnya itu adalah satu-satunya kebenaran yang harus diterima meski bagaimanapun keadaannya. Mereka sadar perdebatan panjang yang telah memakan hari-hari mereka itu hanya berupa ketiadaan.
“Sudalah dan akhiri kehendak tuhan yang satu ini. Kita lakukan saja kehendak tuhan yang lain, yang ada di sawah kita.”
***
Panorama pagi—menjelang siang—yang menawan pada perkampungan dekat kota di mana tanahnya kini terbasahi oleh air mata yang membasuhinya sejak pagi tadi. Orang-orang pada penasaran ada apa gerangan hingga tanah yang mereka pijaki jadi basah kuyup saat pagi secerah ini. Akankah embun tak mau melepas bumi, atau hujan telah hadir dari dalam bumi. Mengapa desa tempat padi tumbuh subur ini telah basah sebelum hujan membungkus bumi?
“Kau benar ayah.”
“Sekarang aku tau, suamiku”
Satu keluarga itu mematung berdiri di pematang sawah mereka, di sana, di tengah sawah mereka, satu keluarga itu menyaksikan Tuhan sedang menabur huruf-huruf di padi yang ia taman sendiri...
Oleh : Ra Ageng* *Cerpen ini terantologi dalam event petani dan dunia pertanian.