Musibah Petani, Cerpen Aziz Assyah
5112 View
Seperti hari-hari biasa, di pagi buta para petani di desaku mereka berbondong-bondong pergi ke sawah dengan cangkul, arit yang dipersiapkan tadi malam. Peralatan itu semua sebagai senjata utama mereka. Kebiasaan seperti itu tidak pernah lekang dalam kehidupan petani. Bermandikan peluh sendiri di bawah terik matahari merupakan peristiwa yang lumrah dirasakan. Bagi mereka tak ada pekerjaan yang paling bijaksana selain bertani dan bercocok tanam di tanah sendiri. Begitu pula yang dirasa Pusahma tangga sebelah.
Sementara, lolong sapi di kandang semakin meraung-raung meminta pemiliknya untuk menumpukkan rumput di hadapannya. Sedangkan, tanah tampak basah setelah semalaman diguyur hujan bagitu deras beserta angin yang sangat kencang. Musim-musim beginilah yang membawa para petani lesu untuk melakukan kegiatan meski untuk ngare’[1] ke sawah. Karena rumput-rumput dilumuri air hujan bahkan dilumuri lumpur sawah sekaligus. Memang aku tahu dan tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa sekarang musim penghujan, tentunya akan seringkali turun hujan saban hari. Semoga musim hujan kali ini membawa keberkahan bagi para petani.
Di desaku mayoritas pekerja petani sehingga kerap kali aku melihat para tetangga berlalu-lalang depan rumah. Begitupun aku sibuk dengan aktivitas bertani. Sehingga tak heran apabila di rumah mereka sepi dari orang. Lebih memadati di sawah-sawah. Jika kalian bertandang ke desaku mana kalian tidak akan berjumpa dengan pekerja kantoran, malah yang banyak pekerja sawah-an, guru langgar pun langka.
Aku melihat Atnawi tampak gigih mengasah aritnya di atas batu kasar itu. Sebagaimana ia mengasah dirinya zaman dulu, semasa masih belajar di tingkat Sekolah Dasar (SD) meskipun nyatanya tidak bisa mentamatkan hingga tuntas. Karena alasan ekonomi tidak mencukupi. Maklumlah! Orang pedesaan seperti di sini sulit untuk mendapatkan pendidikan gratis sampai perguruan tinggi. Entah di perkotaan! Syukur-syukur orang-orang desa masih bisa membaca meskipun lidahnya agak kaku.
Di atas batu kasar ia menggosok dan membolak-balik aritnya, seolah-olah tidak ingin berhenti. Di setiap gosokannya ia sematkan harapan-harapan dalam hatinya untuk anaknya. “Semoga anakku kelak menjadi orang yang berguna di desa ini. Dan tak seperti aku yang hanya bekerja sebagai petani,” desisinya lirih. Akan tetapi, ia tak pernah lupa untuk memperbaiki cangkulnya yang bengkok lantaran menubruk batu-batu. Sesaat kemudian, aku pun menyapanya.
“Mau kerja di mana, Wi?” sapaku mengawal pembicaraan.
“Enggak mau kerja hari ini,” jawabnya singkat.
“Emangnya mau kemana?” kejarku penasaran.
“Ke sawah mau melihat padi-padiku, sekalian menjaganya.” Aku putuskan tak bertanya lagi karena aku rasa sudah cukup tahu tujuannya.
Kemudian ia beranjak dari tempat semula dengan langkah kaki tertatih-tatih berusaha melewati berbagai kelangkelok sawah tak beraturan. Kadang-kadang di tengah sawah tepat di pinggir sawah ia terjungkal-jungkal.
Seluas ia memandang berpetak-petak sawah ia seakan-akan berada di negeri seberang. Tiba-tiba rasa bahagia menghinggapi dirinya. Seperti tidak memiliki hutang sama sekai. tanpa tahu, di belakang ia menumpuk hutang yang begitu besar pada tetangga-tetangga. Harapan satu-satunya untuk menutupi hutangnya yaitu padi-padi itu. Jikalau waktunya panen.
Selain itu, Atnawi juga menanam jagung bahkan jika musim bersahabat ia bertani tembakau. Hal itu satu-satunya cara untuk menutupi hutang-hutangnya. Dan sebagai perkerjaan satu-satunya demi membeli bahan mentah-mentah seperti sayur-mayur, beras, dan kelengkapan lainnya.
Di mata Atnawi bercocok tanam tanah sangkol[2] pemberian orangtua sama halnya menjada harga diri sendiri. Dari jajahan investor yang tak tahu diri itu. Sebenarnya, bukan tidak ada yang mau menawar tanah itu selama ini. Cukup banyak yang berdatangan kepada Atnawi namun ia menolaknya meski mereka menawarkan dengan harga melonjat di atas rata-rata. Sebab ia sadar, dengan ia menjual tanahnya itu, sama artinya ia siap di singkirkan secara perlahan dari desanya sendiri. Bahkan ia ingin mewariskan tanahnya itu kepada anak-anaknya sebagaimana yang dilakukan orangtuanya kepada dirinya.
Sesekali Atnawi bersiul kegirangan di atas pematang sawah, karena melihat panennya menjuntai tanpa hama. Sambil ia mengusir burung-burung yang hendak memakan padi-padi. Kadang mencabut rumput-rumput yang mengitari di tengah-tengah padi. Karena hal itu akan menghambat pada kesuburan padi.
Ini berkat doa istriku, yang saban waktu tidak pernah lekang untuk meminta kecukupan sekeluarga dan kelancaran rizki. “Ya Allah... terimakasih atas segala nikmat yang kau berikan kepada kami (sekeluarga), rizki dan kesehatan. Sehingga kami bisa melakukan segala aktivitas tanpa aral. Ya Allah... tak lupa pula aku minta kepadamu, berikan kelancaran atas segala yang kami lakukan selama ini. Sehingga kemudian, kami bisa menikmati hasil panen kami dengan sempurna. Dengan nikmatmu ini, semoga menjadi jalan mendekatkan diri pada-Mu Ya Allah... Amin.”
***
Tak lama kemudian, Atnawi berdiri sejenak melenturkan otot-otot yang agak kaku, sebab sedari tadi ia setengah berdiri dalam mencabut rumput jarem itu. Sementara, sorot matanya mengitari sawah-sawah yang lainnya. Kemudian ia melihat orang-orangan sawah yang berdiri tegak wajahnya mengisaratkan kegirangan, dan seakan-akan bernyanyi ria bagaikan Dwi Irma di pagi yang disoroti sinar matahari.
“Pajjar lakku arena pon nyonara bapa’ tani se tedung pon jega’a, ngala’ are’ so landu’ tor capella, ajalanagi sarat kawajiban atatamen mabannya’ asel bumina mama’mura nagara tor bangsana.”
Langit tampak cerah secerah raut wajah para petani, yang gigih merawat tanamannya. Di manapun, tidak akan berjumpa dengan keindahan selain di sawah ini. Bahkan ia menjamin di sini jauh dari polusi peradaban yang menyergap pada penciuman.
Sejenak kemudian, sebelum ia pulang, Atnawi mengitari seluruh sudut-sudut tanaman padinya. Sesekali tangannya meraba-raba helai demi helai. Dan tak bisa dibayangkan sesal hatinya apabila burung-burung mengerumuni padi-padi yang menjuntai kehijauan ini. Bahkan tikus-tikus sawah biadab itu.
Lalu, ia pulang dengan mata berkunang-kunang, dan panas yang menyengat badan.
***
Keesokan harinya. Atnawi kembali beraktivitas seperti biasanya. Hanya saja tadi malam tak ada hujan mengguyur kampung halaman. Hanya saja angin berdesir mesra menyerupai istriku. Anehnya, Atnawi bermimpi sesuatu yang entah tak jelas ceritanya, setahunya mimpi itu memberi isyarat kurang baik bagi hidupnya ke depan. Sehingga karena mimpi itu ia terjaga dari tidur seketika.
Mata Atnawi melototi di setiap isi sawah begitu seksama. Namun sayang, pada pandangan terakhir ia mendapati padinya kucar-kacil di bagian tengah sawahnya. Entah, siapa yang telah melakukan onar atas tanamannya itu? Mungkinkah orang yang iri kepadaku? Atau? Entahlah.
Seingat Atnawi ia tidak pernah memiliki musuh di sekitar rumahnya. Bahkan ia dikasihani oleh masyarakat sebagai orang yang kurang berkecukupan. Tapi kenapa peristiwa pilu harus menimpa dirinya? “Tuhan apa salah dan dosaku?” desisnya sinis dengan suara lirih. “Sedangkan shalat, puasa, dan kewajibanmu telah aku laksanakan. Apa yang kurang, Tuhan?” lanjut gerutu dalam hati.
Tampak istri Atnawi dari arah selatan melangkah sok pasti melewati pematang sawah yang berkelok. Di atas kepalanya ia membawa kiriman untuk suami tercintanya, Atnawi. Ia bahkan tidak akan pernah lupa untuk membuatkan makanan kesukaannya yaitu nasi jagung[3], kuah meronggi[4], ikan laut. Baginya tak ada makanan se enak makanan favoritnya itu.
“Mas, ayo makan dulu,” ajaknya seraya menurunkan makanan-makanan itu dari atas kepalanya.
Kemudian, Atnawi mendekatinya dengan wajah masam. Sedangkan jidatnya mengkerut.
“Ayo makan dulu,” ajaknya yang kedua kalinya.
“Aku tidak ingin makan,” ucapnya singkat.
“Emangnya kenapa?” tanya istrinya penasaran.
“Coba lihat tanaman kita, jika seperti ini apa yang ingin kita perbuat,” ungkapnya seraya menunjukkan jari tangannya ke arah padi-padi yang porak-poranda itu.
“Kenapa bisa seperti ini.” Kemudian ia berdiri. “Siapa yang tega berbuat keji kepada kita. Dengan apalagi kita ingin menutupi hutang-hutang kita sedangkan ini satu-satunya harapan!” rintihnya kepalang.
“Sudahlah tak usah sesali. Lagian aku telah putuskan untuk menjual-tanah ini kepada investor. Dan lebih baik kita pergi ke Jakarta saja. Di sana lebih menjanjikan untuk memproleh uang banyak. Dengan itu kita bisa melunasi hutang-hutang kita,” putus Atnawi tanpa sesal.
Sejurus kemudian, Atnawi meletakkan piring yang diberikan istrinya tadi. Ia memutuskan untuk tidak makan makanan hasil tanahnya sendiri.
Annuqayah Lubangsa, 2 Oktober 2018 M.
[1] Madura artinya orang yang menebang rumput untuk sapinya.
[2] Madura. Artinya tanah pemberian nenek moyang.
[3] Madura. Artinya beras putih yang dicampur jagung.
[4] Madura. Artinya seperti sayur yang diambil dari pohon maronggi.
NB: Cerpen ini dimuat di media Online Nusantra News pada tanggal 20 Oktober 2019 M