Santri dan Ketetanggaan Maya
4905 View
Di awal keberangkatan santri, biasanya masyarakat di sekitarnya ikut berbondong-bondong mengantarkan ke pondok pesantren yang dituju. Nyantri bagi masyarakat desa di Madura menjadi hal mewah jika dibandingkan menimba ilmu di luar pondok pesantren. Di pundak santri ini kelak, mereka mengharapkan kebaikan daerahnya dari ilmu yang telah mereka timba di pesantren selama ini. Harapan kebaikan hidup beragama dan bermasyarakat.
Ketika rombongan tetangga yang ikut mengantarkan tersebut hendak pulang, tradisi yang lekat sampai saat ini adalah bersalaman. Ketika bersalaman inilah sebetulnya amanah dari masyarakat resmi diterima.
Maka demikian, kesungguhan di pesantren tidak akan berarti apa-apa jika penerapan pengetahuan, agama ataupun umum, tidak dipraktikkan ketika santri berada di tengah-tengah masyarakat.
Santri feat Gadget: Perubahan Zaman, Perubahan Pola Hidup
Media dan teknologi menjadi dua hal paling akrab di telinga masyarakat kita hari ini. Santri yang dilarang mengaplikasikan gadget di pesantren, ketika liburan tiba, akan menenteng kemana-mana benda mungil ini. Kerinduan akan media yang aksesnya tidak terbatas, mereka tuntaskan, bahkan secara berlebihan, saat liburan menjelang.
Fenomena ini memang tidak ganjil mengingat hal tersebut merupakan mainstream. Di samping hal tersebut merupakan tuntutan zaman industri dewasa ini. Sikap berjarak dari hal tersebut hanyalah hal bodoh yang akan semakin mengesampingkan santri dari arus informasi.
Pertanyaannya kemudian, seberapa mengerti santri akan pentingnya bermedia?
Ini sungguh merupakan pertanyaan besar. Sebab sebagian orang bahkan beranggapan; santri liburan, operator kelimpungan. Artinya, saat santri berlibur, -kebanyakan dari mereka hanya membuang-buang pulsa, kuota untuk hal-hal yang kurang manfaatnya.
Lalu, di manakah santri yang masyarakat idamkan?
Barangkali terlalu tenggelam dalam lautan media komunikasi dan melupakan hal-hal prinsip yang harus mereka lakukan. Mereka (seakan) terlalu silau pada reaction, comment, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan pujian, dan pada tahap selanjutnya, ketenaran.
Santri, Gadget, Keniscayaan Mulia: Meminimalisir Penggunaan Media
Sebagai pewaris ulama, santri seharusnya memang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Kepekaan tersebut akan timbul jika santri tidak melulu memikirkan dirinya sendiri. Dalam hal ini dapat berarti, hanya mencari “jempol” di media sosial karena postingannya. Pewaris ulama, adalah mereka yang mengamalkan ilmu yang dimiliki. Pewaris ulama, adalah mereka yang dapat menjadi solusi bagi berbagai problema. Pewaris ulama, adalah mereka yang peduli dan berbuat untuk sesamanya. Sebab menurut kata bijaksana, paling baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya.
Penggunaan media komunikasi maya yang berlebihan dapat dikatakan sebagai penghambat santri untuk bergerak dalam arti seluas-luasnya. Di dunia maya, mereka menemukan fantasi-fantasi yang tidak didapatkan di dunia nyata. Rasa senang dan nyaman di dunia maya tersebut turut menyumbangkan pemahaman sempit bahwa mereka hanya hidup di dunia maya, dan tidak ada orang-orang yang musti mereka temui di dunia nyata. Keluarga, teman, dan tetangga mereka hanya maya. Kepedulian mereka hanya maya. Dan apa yang mereka sebut dengan “berbuat sesuatu” hanya maya.
Hal tersebut di atas berlaku bagi santri yang menggunakan media sosial secara berlebihan. Yang sampai pada taraf “adanya tidak nyata”. Nyaris 24 jam waktu mereka digunakan untuk maya yang tidak produktif.
Dari wacana ini dapat dipahami bahwa minimalisir penggunaan media sosial pada hal-hal yang tidak produktif perlu dilakukan. Pembatasan waktu serta pengawasan keluarga perlu diterapkan. Bahkan jika perlu, pembatasan kuota bagi setiap individu perlu dibatasi oleh aparat negara, bila ingin pemudanya kelak benar-benar memajukan Indonesia pada tahun 2045.
Dengan pembatasan ini, kegiatan sosial antara santri dan masyarakat akan berjalan sebagaimana mestinya. Harapan masyarakat yang tinggi tehadap santri tidak akan berbuah kecewa. Santri yang juga manusia, makhluk yang katanya membutuhkan sesamanya, akan eksis sebagai “sebenar-benarnya manusia” dan bukan robot yang disetir media. Dengan pembatasan ini, kebertetanggan maya dan nyata menjadi seimbang adanya, harmoni dalam keseiringannya.
Selamat bermedia, selamat bersosial!
Penulis: Nur Fadiah Anisah