BARANGKALI, INI YANG TERAKHIR
8847 View
Barangkali ini yang terakhir, sebab doa para pembaca sepertinya mulai terdengar hati nuraninya. Pada akhirnya, tinggal kita menunggu hasilnya dari proses berkelanjutan, yang semoga tidak pernah menemukan titik kebosanan. Sebab A.P. mulai mampu berpetualang di dunia pesantren dengan kompasnya sendiri.
Pembaca yang budiman, cerita ini ingin saya mulai dari saat ia akan mengikuti tes masuk kuliah, di perguruan tinggi INSTIKA. Sebab kondisinya yang barangkali tidak bisa disamakan dengan calon mahasiswa lainnya, kami berinisiatif untuk melakukan upaya lobbying kepada pihak kampus, agar materi tesnya disesuaikan dengan kemampuannya saat ini. Sebab memang tidak bisa disamakan, meski dipaksakan. Akhirnya, proses lobbying itu dilakukan. Terimakasih kepada pihak INSTIKA karena telah mengabulkan permohonan kami.
Hari tes tiba, Senin 15 Juli 2019. Ia berangkat di pagi yang masih dini dengan sedikit ketenangan di hati, sebab materi tes yang akan ia ikuti adalah ilmu yang tidak sepenuhnya gelap baginya. Mantap ia memegang iqra’, buku, dan alat tulis yang ia gunakan untuk belajar menulis huruf-huruf hijaiyah. Sembari menunggu jam masuk ruang tes tiba, ia belajar menulis Arab sendiri, tanpa bimbingan dari teman yang mendampingi. Temannya memiliki prasangka bahwa, ia sedang memantapkan tulisan huruf hijaiyahnya yang telah ia pelajari sebelumnya. Namun karena penasaran, sebab tangannya begitu lama memainkan alat tulis di atas kertas, jadi, temannya ini memutuskan untuk melirik. Ia melirik. (Dan) apa yang temannya ini dapati? Ia tidak sedang belajar menulis huruf hijaiyah sebagaimana yang ia pelajari, tapi belajar menulis huruf-huruf yang membentuk lafal “Allah”. Benar-benar hanya menulis lafal Allah, di hampir satu lembar penuh buku tulis yang ia bawa. Subhanallah, barangkali hati nuraninya tahu, kepada siapa ia harus meminta pertolongan dan belas kasih, saat getar ketakutan menghatuinya di hari tes kala itu. Bahkan seperti ada petunjuk nuraniyah, yang menuntun jemarinya untuk menulis lafal “Allah”, meski tanpa ia pelajari sebelumnya.
Pada akhirnya, ketakutan itu reda, hingga Jum’at pagi di hari libur nasional santri. Pagi hari itu barangkali mendung, tapi tidak dengan gadis ini. Tampak ia berlari kecil menuju arah kantor dengan wajah yang terlihat bahagia dan bersemangat. (Di) tengah syukur yang mengapung ke atas mendung pagi itu, rasa penasaran ikut mengapung bersamanya. “Apa gerangan yang membuat ia tampak sangat bahagia dan bersemangat, bahkan di pagi yang di selimuti gelapnya mendung?”. Ternyata jawabannya adalah, sebab ia hendak dikunjungi. Pantas saja, ia benar-benar mempersiapkan diri untuk menyambut kunjungan ini, sejak usai jama’ah shalat subuh. Semakin besar saja rasa penasaran di hati, “siapa gerangan yang akan mengunjunginya?”. Namun pertanyaan itu tidak sempat tersampaikan, sebab ia lebih dulu beranjak dari tempat, dan berlari. Memilih untuk menunggu di posko kunjungan, di pagi yang masih sama sekali tidak diterangin cahaya matahari.
Kunjungannya usai, tanpa ditanya, ia antusias bercerita tentang siapa dan bagaimana proses kunjungan itu berlangsung. Kunjungan pertama yang ia rasakan, setalah hampir setengah bulan ada di Lubangsa Putri. Ia bercerita, bahwa yang mengunjunginya adalah dua laki-laki, yang satu “oom”nya, dan satunya lagi, ia sebut dengan “papa”nya. Semakin penasaran diri ini, namun tidak ingin menyela di tengah keasyikan ceritanya, tetap mendengar adalah pilihan yang dirasa lebih bijaksana. Entah kenapa, di sepanjang ceritanya, ia hanya menceritakan bagaimana percakapannya dengan “oom”nya, dan tidak menyinggung tentang bagaimana ia dengan orang yang disebutnya dengan “papa” itu.
(Dalam) ceritanya, ada percakapan bahwa pamannya itu tahu tentang ia yang pernah menangis, ia mengelak, tapi pamannya tetap bersikukuh bahwa beliau tahu ia pernah menangis. Sampai akhirnya ia penasaran, bagaimana pamannya bisa tahu. Pamannya kemudian menjawab, bahwa beliau tahu tidak karena ada seorangpun yang memberi tahu, tapi sebab beliau sering terbangun di sepertiga malam untuk melakukan shalat malam. Sebab di ketenangan shalat malam itu, beliau bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang-orang yang beliau pikirkan, dan malam itu, pamannya berpikir tentangnya. Seperti ada telepati, antara pikiran beliau dan tangisnya kala itu. Begitulah pamannya menjelaskan. Kemudian beliau berpesan, agar A.P sering bangun untuk shalat malam, agar selalu terhubung dengan sang paman, atau bisa merasakan kehadiran orang-orang yang ia rindukan. Begitu tutur beliau, dari cerita yang ia sampaikan.
Tak sempat ada cerita yang lain, sebab ia langsung teringat tentang satu tawaran, di malam ia mau belajar shalat tahajjud, yaitu tawaran agar istirahat bersama pengurus pesantren selama proses belajar shalat tahajjud, agar mudah dibangunkan. Ia menagih itu, sebab semakin besar saja keinginannya untuk bisa bangun malam. Sebagai seseorang yang memberikan penawaran, dan ia menerima, maka sebuah kewajiban bagi kami untuk memenuhi kehendak itu. Oleh karenanya, untuk sementara waktu ini, ia istirahat malam bersama kami, setidaknya hingga ia mampu terbangun dengan “alarm”nya sendiri.
Seperti malam sebelumnya, ia bergegas bangun saat dibangunkan. Jika malam sebelumnya ia memilih untuk mengambil satu salam saja, dan menunggu waktu shubuh dengan wirid, maka lain di malam ke dua shalat tahajjudnya. Ia memilih untuk terus menerus shalat, hingga qira’ah tanda akan segera dikumandangkan adzan shubuh terdengar. Saat ditanya mengambil berapa salam, ia menjawab, “tahu’ ya, gak sempet ngitung, kayaknya banyak”, diikuti sungging di bibirnya dengan wajah yang terlihat tidak megantuk sama sekali, sepertinya ia mulai menikmati.
Adzan subuh telah usai, ia memandang sekeliling dan berkata, “mb’-mb’ itu ngapain, shalat apa?”, saat dijawab bahwa itu adalah shalat sunnah sebelum melaksanakan shalat shubuh, ia langsung menimpali, “aku juga ingin shalat kaya’ gitu, ajarin dong”. Subhanallah, begitu cepat keinginannya untuk belajar. Saat ia berdiri untuk memulai, ia bertanya lagi, “kok, sajadahnya mb’ itu gak miring, yang di mushalla dan yang aku belajar kok miring?”. Orang yang dimaksud hanya menoleh dan tersenyum, dan menjawabnya degan memiringkan sajadah.
(Di) lain cerita, ia sedang membuka (untuk pertama kalinya) kitab yang akan ia pelajari di kelas Ulya-nya nanti. Saat ia dapati bahwa semua kalimat dalam kitab itu tidak berharakat, sontak ia kaget dan berkata, “lo, ini kok gak ada harakatnya, gimana mau dibaca, tulisan kecil lagi”. Jawaban yang didapat saat itu hanya satu kata, “bisa…”, lalu ia menimpali, “gimana caranya? Emang bisa, huruf yang tidak ada harakatnya dibaca?”. Lalu dijawab lagi, “pasti bisa, nanti mau diajari caranya”. “wih… santri itu berarti sakti ya, bisa baca huruf yang tidak ada harakatnya”, itulah potongan kalimat terakhir, yang kami respon dengan satu keputusan baru, ia akan memulai proses belajar di madrasah diniyah dari kelas “bimbingan khusus”.
Hal-hal semacam itu, terkadang membuatnya benar-benar kritis dan harus bisa dijawab dengan jawaban sederhana yang mampu membuatnya paham. Jika tidak, ia akan tampak seperti orang yang memprotes. (di) pagi usai jama’ah shalat shubuh, ia mengaji. Ia sudah sampai di iqra’ 3 saat ini, berarti sudah belajar membaca huruf-huruf yang disambung. Mulai nyaman dari depan, tidak banyak teguran. Sampai pada kalimat yang disitu terdapat huruf “wau” sukun yang tidak berharakat. Anggaplah kalimat “kafarū”.
Bagi kita yang sudah bisa membaca al-qu’an, barangkali sudah mafhum bahwa kalimat itu dibaca “kafarū”, meski huruf wau-nya tidak berharakat. Tapi tidak dengan gadis ini. Mendapati huruf “wau” tidak berharakat setelah huruf “kaf”, langsung ia memprotes, “lo, ini kok gak ada harakatnya. Salah ini yang cetak, huruf ini gak kebagian harakat, kan gak bisa dibaca, harus direvisi ini, cetak ulang!”. Pembimbingnya menenangkan, “ini bukan salah cetak, ini bisa dibaca”. Tapi ia tetap bersikukuh bahwa percetakannya salah cetak, sebab satu huruf itu tidak ada harakatnya, “kalau bisa dibaca, terus mau dibaca apa?”, pembimbingnya menjawab, “ini dibaca sukun, jadi dibaca ‘kafarū’”. Tapi ia tidak serta merta menerima bacaan itu, ia masih menjawab, “kok bisa dibaca sukun?, kan tidak ada petunjuknya.” Pembimbingnya hanya geleng kepala, sebelum menjawab bahwa itu memang cocok dengan maknanya, juga benar menurut aturan bhs. Arab, dan di dalam al-qur’an juga banyak kalimat semacam itu, jadi yang benar ya seperti itu. Tapi apa responnya? Ia malah berkata, “wah, mb’ hebat ya, pasti semua kata berbahasa Arab, dan semua isi kitab iqra’ ini, sekaligus harakat semua huruf-hurufnya, pasti sudah mb’ hafal. Buktinya, meski gak ada harakatnya mb’ tahu mau dibaca apa. wow, hebat, aku juga mau ngafalin ah, biar bisa baca huruf yang gak ada harakatnya”. Pembimbingnya terdiam, atau lebih cocoknya “bengong”, mendengar “celotehan” gadis itu. Namun celoteh ini, berarti ia berkeinginan untuk belajar ilmu-ilmu pesantren yang lain, dan kemudian akan mampu membentuknya menjadi sosok santri sejati, yang mampu membaca literatur-literatur kepesantrenan, yang terdapat di dalamnya, khazanah keilmuan pesantren.
Subhanallah, semoga Annuqayah Lubangsa Putri mampu menjadi sumber mata air, yang mampu memuaskan haus dahaganya. Sehingga ia akan tumbuh sehat, lahir dan batin.
Terimakasih atas doa para pembaca. Sebab satu kata amin dari “kita” semua, seperti memberi satu titik cahaya baginya. Saat ini, titik-titik itu mulai terlihat terangnya, dan mampu menerangi besar dan luas proses belajarnya, yang tidak akan terhenti di titik ini. (dan) selama proses belajarnya ini, yang tentunya bernilai ibadah fi sabilillah, semoga mampu menjadi sungai yang mengalir di atasnya, pahala untuk para pembaca; pembaca yang maya, pembaca yang nyata, dan semua “kita” di Annuqayah tercinta. Amin.
Sekian, terima kasih.