Belajar Toleransi dari Cheng Ho
5895 View
Peresensi : Ahmad Nyabeer
Judul Buku : Laksamana Cheng Ho Panglima Muslim Tionghoa Penakluk Dunia
Penulis : Muhammad Muhibbuddin
Penerbit : Araska Publisher, Yogyakarta
Tahun Terbit : Cetakan 1, Januari 2020
Tebal Buku : 288 halaman
ISBN : 978-623-7537-16-8
Nama aslinya adalah Ma He. Namun, saya pun kurang paham kenapa kemudian ia dipanggil Cheng Ho. Dalam Ming Shi (catatan sejarah resmi Dinasti Ming) sendiri, tidak terdapat ulasan sejarah yang memadai tentang sejarah Cheng Ho. Hanya satu kalimat yang menyinggung kehidupannya bahwa “Cheng Ho berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai Kasim San Bao”. Mengapa demikian ? hal ini tidak lepas dari status sosial Cheng Ho di Tiongkok yang hanya menjadi seorang kasim. Di era monarki ketika Tiongkok masih didominasi oleh kultur dan sistem feodal, seorang kasim dipandang rendah dan tidak dihargai meski mempunyai prestasi besar. Sehingga data mengenai catatan silsilah dan sejarah hidup Cheng Ho tidak banyak ditulis dalam sejarah Dinasti Ming. Padahal sebagai sosok yang berhasil memimpin armada laut besar demi mengemban misi dinasti ke berbagai negara di dunia, seharusnya ada ulasan yang representatif tentang sejarah Cheng Ho. Selain tentu saja untuk mengabadikan sejarah petualangan besarnya, juga untuk menghormati prestasi agungnya tersebut.
Ia lahir dari keluarga muslim di Yunnan pada tahun 1371 M dan wafat pada tahun 1433 M. Dalam sejarah, penjelajah ulung dan bahariwan muslim dari China ini mengarungi negara-negara di Asia Tenggara, Samudera Hindia, dan Laut Merah selama kurang lebih 28 tahun (1405-1433). Jadi, separuh hidupnya dihabiskan untuk menjelajahi dunia. Karena itulah, Laksamana sekaligus panglima besar bernama Cheng Ho ini hampir menjadi sebuah legenda. Suatu mitos yang kisah hidupnya hanyalah dongeng hasil ciptaan imajinasi belaka. Ibarat cerita fiktif yang seluruh peristiwanya tidak pernah benar-benar terjadi di muka bumi.
Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya situs atau monumen yang mengabadikan kedatangan Cheng Ho atau persinggahannya ke tempat-tempat di dunia. Sehingga sebagai suatu penghargaan baginya, masyarakat setempat yang disinggahinya membangun monumen serupa patung atau lainnya. Sementara itu, bukti catatan sejarah mengenai petualangannya ke negara-negara di dunia begitu minim, menjadilah kisah Cheng Ho seakan dongeng internasional yang tersebar dari mulut ke mulut namun sempat diabadikan zaman.
Namun, yang paling mendasar dan menjadi penyebab utama sehingga membuat namanya begitu melegenda ialah pribadinya yang mencintai perdamaian dan mengusung sekaligus mempraktikkan konsep pluralisme sehingga sangat cocok jika sosoknya disebut sebagai “duta perdamaian dunia”. Pelayarannya ke berbagai dunia tidak bertujuan untuk melakukan kolonialisme dan imperialisme sebagaimana para penjajah Eropa. Pelayaran tersebut dilaksanakan justru mengemban misi persahabatan, perdamaian dan diplomasi kenegaraan. Muhammad Muhibbuddin di dalam buku ini menyimpulkan bahwa ekspedisi yang menggeliat di abad ke-15 ini mempunyai tiga misi:
Pertama, untuk menjalankan politik kerukunan dan persahabatan dengan negara-negara asing. Hal ini untuk menerjemahkan visi politik Kaisar Ming yang menyatakan “rakyat di segala penjuru dunia adalah sekeluarga”. Untuk membuktikan visi ini ke negara-negara lain seperti Korea, Champa, Siam, Kamboja, Jawa, dan Sumatera, Cheng Ho membawa sejumlah sutra dewangga berbenang emas dan cenderamata lainnya.
Kedua, untuk mencegah penduduk di sepanjang pantai Tiongkok merantau ke luar negeri tanpa izin. Hal ini di samping supaya penduduk yang tergolong miskin tidak meninggalkan negerinya untuk merantau ke negara-negara asing, juga dimaksudkan agar para perompak Jepang yang sering mengganggu keamanan di Tiongkok menjadi terkucil.
Ketiga, untuk mendorong perniagaan Tiongkok dengan negara-negara asing. Maka segeralah dikirim utusan diplomatik dari Tiongkok ke berbagai negara dan diumumkan juga bahwa semua rombongan asing termasuk pedagang yang datang ke Tiongkok akan disambut hangat dan tulus (hal. 130).
Cheng Ho—sebagaimana Gus Dur—dihormati banyak orang dan diabadikan sejarah dikarenakan sosoknya yang pluralis dan cinta perdamaian. Hal itu dipraktikkan dalam tujuh khazanah pelayarannya tersebut. Ada dua bukti yang diceritakan Muhibbuddin dalam buku ini. Pertama, ketika di dalam kapal khazanah itu, Cheng Ho sebagai kepala rombongan mempersilakan anak buahnya yang beragama Buddha dan Tao melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, sementara Cheng Ho beribadah menurut agamanya sendiri (hal. 111). Bahkan secara simbolik, toleransi Cheng Ho terhadap agama Tao dibuktikan dengan kesediaan dirinya untuk membangun sebuah Tugu Peringatan yang mencatat kesaktian Dewi Sakti pada 1431 M.
Kedua, pada 1406 M ketika perang Paregreg meletus, 170 anak buah yang diutus Cheng Ho ke kawasan dekat Semarang dihabisi oleh Raja Wikramawardhana karena mengira sebagai bala bantuan dari Tiongkok kepada Bhre Wirabhumi. Alih-alih langsung menyerbu dan terlibat perang, dengan 27 ribu tentaranya, Cheng Ho malah mengklarifikasi kesalahpahaman tersebut sehingga Raja Wikramawardhana langsung minta maf dan berjanji memberikan ganti rugi 60 ribu tael emas meski dalam praktiknya hanya 10 ribu tael yang diberikan. Dan Cheng Ho memakluminya. Sejak itu, hubungan antara Jawa dan Tiongkok selalu baik dan damai.
Selain itu, masih ada beberapa kisah lain mengenai sikap pluralisme dan toleransi Cheng Ho terhadap perbedaan agama, budaya, dan bangsa yang ditulis dengan bahasa ringan dan renyah sehingga mudah dipahami oleh semua kalangan baik pembaca pemula maupun pemikir. Lebih dari itu, buku ini sangat tepat dibaca oleh bangsa Nusantara yang majemuk dan mengusung nilai Bhinneka Tunggal Ika sehingga perjalanan hidup Cheng Ho dapat dijadikan teladan untuk mempraktikkan konsep pluralisme dan toleransi dalam kehidupan beragama, berbangsa dan berbudaya. Wallahu A’lam
Annuqayah, 26 Januari 2020 M.
Ahmad Nyabeer adalah nama pena dari Ahmad Fawa’id. Santri kelahiran Nyabakan Timur. Termasuk mahasiswa IQT Instika. Saat ini bergiat di Komunitas Persi-Iksabad-Ikstida, Kru Majalah Muara, anggota IPJ Lubangsa dan Komunitas Qowansi.
NB : Resensi ini dimuat di Koran Jawa Pos Radar Madura Edisi Selasa 11 Februari 2020.