Kisah Gila Para Sufi
8955 View

Judul Buku : Kitab Cinta Ulama Klasik Dunia
Penulis : Muhammad Muhibbuddin
Penerbit : Araska Publisher, Yogyakarta
Tahun Terbit : Cetakan 1, Maret 2018
Tebal Buku : 232 Halaman
ISBN : 978-602-51471-6-6
Saya kurang setuju kalau semua manusia sepakat bahwa “mencintai tidak harus memiliki”. Memang, yang menyebar luas dan diyakini selama ini, mencintai tidak harus memiliki. Kepemilikan terhadap kekasih hanyalah sebuah keniscayaan yang datang manakala kesempatan dan takdir memihak si pencinta. Jika tidak, maka cukup ketulusan cinta yang tulus murni yakni asalkan sang kekasih bahagia—semisal menjadi istri orang lain—itu sudah cukup sekalipun tidak dimiliki secara lahir. Cinta hanya dimaknai sebagai keterikatan batin sepasang manusia. Kepemilikan lahiriah justru menunjukkan egoisme seksual seorang pencinta.
Sementara, Tuhan sendiri sudah mencontohkan dalam kehidupan ini bahwa mencintai harus memiliki. Asumsi demikian memang terdengar aneh. Karena sejauh ini hubungan antara Tuhan, agama dan manusia selalu dilihat dengan prespektif Khalik-Makhluk. Khalik memerintahkan syariat dan makhluk sebagai hamba wajib patuh. Cobalah saat ini kita ubah pembahasan itu dengan ditinjau melalui sudut pandang sepasang kekasih.
Tuhan sang pencinta sejati, demikian tutur seorang sufi, Abu Yazid Al-Bistami dalam buku karangan Muhammad Muhibuddin ini, telah lebih dahulu mencintai makhluk sebelum makhluk mencintai-Nya. Hal itu dibuktikan dengan begitu besarnya kasih sayang dan perhatian yang Dia curahkan tanpa pandang bulu, bahkan sekalipun hamba-Nya telah terang-terangan melanggar perintah-Nya. Hal tersebut dapat dicari pembuktiannya dalam kehidupan ini. Bukankah orang-orang kafir masih dibiarkan hidup nyaman? Bukankah orang-orang munafik masih dibuat-Nya kaya? Pelacur-pelacur itu tetap bisa menikmati hidupnya yang jorok dan berlimpah uang haram? Begitulah perhatian Tuhan yang tak pernah bisa dipungkiri oleh makhluk berakal.
Namun di sisi lain, konsep percintaan Tuhan-makhluk tidak menunjukkan keikhlasan yang utuh dari sang pencinta. Tuhan mencintai makhluk namun juga memaksa makhluk untuk mencintai-Nya. Buktinya, Dia memerintahkan dan melarang. Kemudian, jika mengerjakan perintah manusia mendapat imbalan berupa surga; imbalan yang menunjukkan bentuk rahmat-Nya. Begitupun sebaliknya, jika melanggar larangan maka makhluk akan diceburkan ke dalam neraka; ke dalam jurang kemurkaan-Nya. Esensinya, perintah salat, zakat, puasa, haji, sedekah dan amal baik lainnya adalah dalam rangka mendekati dan mencintai-Nya. Jika itu tidak dilaksanakan atau dalam artian, makhluk menjauhi-Nya dan menolak mencintai-Nya maka Dia akan murka. Dari situlah kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep yang benar dan telah dicontohkan Tuhan adalah mencintai itu harus memiliki. Sebab, cinta bukan cuma perasaan hati melainkan juga sebuah kehendak seorang pencinta.
Akan tetapi, buku yang berjudul Kitab Cinta Ulama Klasik Dunia karangan Muhammad Muhibuddin ini tidak berhenti hanya pada satu pernyataan saja. Muhibuddin menganggap mencintai tidak harus memiliki itu benar pada satu peristiwa. Namun, mencintai harus memiliki itu benar pula pada peristiwa yang lain. Buku ini berisi biografi lima belas para sufi ini dengan konsep cinta ilahiah yang didapatkan melalui pengalaman ruhaninya masing-masing. Maka tidak sama konsep cinta yang dikatakan Rabi’ah Al-Adawiyah dengan apa yang disampaikan Al-Hallaj. Meskipun pada intinya, semua itu merupakan konsep cinta ilahiah; sebuah cinta yang bersumber dari dan untuk Tuhan.
Syekh Mansur Al-Hallaj dengan konsep tasawufnya, wahdatul wujud, dengan lantang mengatakan bahwa tidak dapat lagi dipisahkan antara dirinya dengan Tuhan. “Aku adalah Ia yang kucintai. Dan Ia yang kucintai adalah Aku,” demikian tuturnya sebagai manifestasi dari konsep cintanya yang agung. Baginya, Tuhan dan dirinya telah menyatu menjadi satu tubuh. Apa yang Tuhan sukai adalah apa yang dia lakukan. Apa yang Tuhan benci adalah apa yang dia jauhi. Dia melihat dengan mata Tuhan, menjangkau menggunakan tangan-Nya. Kebersatuan itu telah sempurna persis ungkapan seorang penulis, “tertusuk padamu berdarah padaku.”
Itulah alasan mengapa kemudian diceritakan penulis buku ini Al-Hallaj tidak sedikitpun merasa gentar dan takut pada saat menjelang dibunuh. Bahkan dia menyuruh sang algojo untuk segera membunuhnya. Dia sudah tak peduli lagi pada hidup. Dia meluapakan segalanya termasuk dirinya sendiri. Cintanya kepada Tuhan membuatnya gila hingga yang ada dibenaknya hanyalah ingin cepat bertemu dengan Tuhan. Menurutnya, dengan mati kerinduan kepada sang kekasih akan segera sirna.
Secara umum, buku ini menguak kisah-kisah tentang betapa kuatnya cinta yang bergemuruh dalam jiwa para sufi. Bahwa betapa kekuatan cinta telah membuat gila para sufi. Membuat hati merekla buta dan berpaling dari dunia. Sehingga satu-satunya yang ada di hati mereka hanyalah Allah Swt. Memang sesuai namanya, di dalamnya Muhibuddin Cuma menuturkan cerita-cerita kesufian yang ditinjau dari arah percintaan seorang hamba dengan Tuhan. Setiap hamba menjalani proses kebersatuannya dengan Tuhan tidak sama. Masing-masing akan berbeda pengalaman ruhaninya satu sama lain yang hal itu kenudian memunculkan sebuah konsep sufinya berbeda pula dengan sufi yang lain.
Muhibuddin dengan bahasanya yang renyah, sastrawi dan mudah dipahami menceritakan semuanya satu-persatu mulai dari Rabi’ah sampai Jalaluddin Rumi dengan konsep cinta dan pengalaman ruhaninya masing-masing. Buku ini baik dibaca oleh kalangan agamawan utamanya bagi yang gandrung terhadap hal-hal spiritual dan bersifat ruhani dalam rangka meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan dan memulai diri untuk mencintai-Nya. Terakhir, satu kesimpulan terhadap buku bagus ini : “mencinta berarti menjadi gila”. Wallahu a’lam.
Annuqayah, November 2019 M.
Ahmad Nyabeer, Mahasiswa Instika Fakultas Ushuluddin.
NB: Resensi ini dimuat di Koran Harian Bhirawa Edisi Kamis, 10 Januari 2020.