Merangkai Keberagaman Fikih
4644 View
Judul : Ngaji Fikih
Penulis : Prof, K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L dan Nadirsyah Hosen.
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : April 2020
Tebal : 446 Halaman
ISBN : 978-602-291-703-8
Sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw, Para sahabat dipaksa oleh keadaan untuk berijtihad. Semula, mereka tinggal bertanya kepada Rasulullah Saw, tetapi pasca kewafatan beliau, telah membuat para sahabat harus menggali dari al-Quran dan hadis akan jawaban terhadap berbagai kasus baru. Masing-masing dari al-Khulafa ar-Rasyidun dan tak jarang memantik reaksi dari sahabat lainnya.
Penggunaan itu menimbulkan perbedaan dalam menentukan hukum. Memang, perbedaan pendapat tidak bisa dihindari sejak masa sahabat sampai tabiin. Namun demikian, banyak pihak yang merasa gelisah dan galau. Kesimpangsiuran mana hukum yang bisa dijadikan pegangan memaksa para ulama merumuskan konsep ta’abbudi dan ta’aqulli. Ada ajaran yang harus diterima apa adanya tanpa perlu dipikirkan hikmah di balik pensyariatannya. Ada pula ajaran yang bisa dirasionalkan dan karenanya bisa diubah sesuai perkembangannya. Pembagian ini ternyata tidak menghentikan perbedaan pendapat, maka muncul teori kesepakatan (ijma).
Jadi dapat ditarik bahwa hukum islam sifatnya konstan dan dinamis. Selalu mengikuti gerak langkah peradaban. Pasalnya, kajian hukum islam sebagai syariat yang lahir dan dibebankan (taklif) kepada manusia hanya dibuat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Tapi hari ini, banyak orang-orang yang masih ribut tentang hukum islam itu sendiri. Ketika terdapat perbedaan dalam berpendapat masalah fikih, mereka seolah-olah sinting, jika fikih itu tidak terbuka beragam penafsiran. Yang lebih ekstrem, selalu mengklaim “ini bidah, itu sesat”. Dengan demikian, buku Ngaji Fikih yang ditulis oleh Prof, K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L dan Nadirsyah Hosen ingin menjawab berbagai persoalan masyarakat untuk memahami islam yang tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga perlu memahami konteks.
Antara teks dan konteks, keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Jika kita melulu melihat teks, kita akan terpaku dengan teks dan memutar kembali jarum sejarah ke zaman unta. Oleh itu, apa yang menjadi pijakan awal kita guna mengubah orientasi fikih selama ini, sangat berpusat pada Tuhan dan mengalihkannya pada kemanusiaan kita. Perubahan orientasi ini akan melahirkan hukum yang subjektif, individual, situasional, dan kondisional dengan semangat menuju kehendak Ilahi. “inilah yang saya maksud dengan fikih humanis; fikih yang memihak pada sisi-sisi kemanusiaan kita. Setiap hukum yang ditetapkan Allah haruslah dipahami dalam kerangka kemanusiaan kita. Dengan cara ini kita dapat membumikan fikih”. (hal. 59).
Tidak cukup sampai di situ, masalah lain yang ramai tak berkesudahan adalah soal plin-plan bermazhab. Pangkal masalahnya, bermazhab didasari argumen yang kuat, bukan berdasarkan selera untuk mencari yang mudah-mudah. Sebenarnya, para ulama berbeda pendapat dalam hal talfiq (mencampurkan mazhab). Ada beberapa titik ekstrem; Pertama sejumlah ulama tidak memperbolehkan sikap plin-plan itu. Kedua sejumlah ulama membolehkan bersikap plin-plan meskipun berdasarkan niat untuk mencari yang gampang-gampang. Ketiga, ulama yang di tengah-tengah bersikap: harus dilihat dulu dalam kasus apa dan apakah para imam yang dicomot itu tidak saling membatalkan.
Ketiga pendapat di atas, akan membuka ruang dalam diri kita bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justu karena berpegang pada al-Quran dan hadits. “kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena al-Quran sendiri “menyengaja” timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus”(hal.143).
Dengan demikian, dari sekian banyak asbab al-ikhtilaf para ulama, tidak ada perihal yang mesti diperselisihkan. Anggapan bahwa mazhab sebagai organisasi yang kalau sudah masuk ke sana tidak boleh keluar lagi, dan tidak boleh mencampur keanggotaan dalam organisasi tersebut, harusnya ditentang dengan pendapat Al-kammal bin Al-hammam secara tegas membolehkan orang “plin-plan” secara mutlak!.
Alasan ini di samping soal arti sebenarnya dari mazhab itu, juga islam itu memang agama yang mudah. Hanya kita perlu punya sedikit pengetahuan mengenai keragaman pendapat itu. Jangan yang tidak tahu sama sekali, hanya ikut kata orang lalu comot sana sini. Minimal ia membaca buku Ngaji Fikih yang akhirnya akan tahu ilmu fikih.
*Ikrom Firdaus adalah Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) dan aktivis di Komunitas Penulis Kreatif (KPK)-Iksaj.
Keterangan: Resensi ini tayang di Koran Radar Madura pada Jumat, 11 Desember 2020