Mental Tangguh Menekuni Literasi Sejak Dini
5058 View
Judul : Buya Hamka (Setangkai Pena Di Taman Pujangga)
Pengarang : Akmal Nasery Basral
ISBN : 978-623-745-544-9
Tahun terbit : Febuari, 2020
Tebal halaman : 328 halaman
Penerbit : Republika
Semua kalangan pasti mengenal Prof. Dr Haji Abdul Karim Amrullah atau yang biasa akrab dipanggil sebagai Buya Hamka. Sosok yang sangat mulltidimesi sekaligus sangat disegani di tengah-tengah masyarakat karena karyanya dalam beberapa disiplin ilmu. Beragam profesi seakan terhimpun di dalam dirinya: sastrawan, ulama’, mufasssir (tidak semua ulama mampu menulis tafsir Alquran), jurnalis, politisi, budayawan, guru dan sederet atribut lainnya. Beberapa gelar yang disandangnya tentu tidak lepas dari sejarah dan kisah masa muda yang dibenturkan dengan kondisi kehidupan yang telah dilaluinya.
Dunia anak-anak hari ini sangat rentan dengan berbagai persoalan-persoalan yang dihidangkan dunia dengan berbagai kebinalan-kebinalan. Banyak sekali orang tua di lingkungan sekitar yang abai terhadap kondisi anak-anaknya. Pengawasan yang tidak maksimal terhadap anak-anak akan mengakibatkan kesalahan fatal dan menjerumuskan mereka terhadap masa depan yang suram. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku bagi tokoh Malik (nama samaran Hamka) dalam novel biografi ini. Hamka sejak kecil telah mencicipi kerasnya kehidupan, terutama soal prinsipnya menjadi seorang pujangga dalam memperjuangkan dunia literasi sejak dini. “satu hari terlewat tanpa membaca satu buku baru sangat menyiksa bagi Malik sehingga dia memutar otak untuk menemukan cara agar bisa terus membaca tanpa mengeluarkan uang sewa (hal.84)”. Bahkan, dirinya rela menjadi kuli di sebuah bibliotek, tempat persewaan buku demi bisa membaca koleksi buku di sana.
Buku yang berjudul Buya Hamka : Setangkai Pena di Taman Pujangga merupakan salah satu buku dwilogi tentang kehidupan Hamka sampai usianya berumur 30 tahun. Sedangkan, buku kedua berjudul Serangkai Makna Di Mihrab Ulama—sebagaimana diakui oleh penulisnya, Akmal Nasery Basral—mengisahkan kehidupan Hamka dari umur 30 tahun hingga wafat. Dalam buku yang pertama ini sejarah kehidupan Buya Hamka sangat berliku sekali. Bahkan, Buya Hamka sudah pernah menyaksikan sendiri bagaimana kondisi psikologis seorang anak ketika keluarganya berada dalam kondisi broken home. “Malik menenggelamkan diri dalam samudera bacaan bukan semata karena bosan dengan pelajaran sekolah. Menjadikan buku sebagai telaga sejuk untuk mendinginkan pikiran dari pertentangan keluarga ayah dan ibu yang semakin memanas (hal.87).”
Tekanan- tekanan batin tentu telah dirasakan oleh Buya Hamka sejak masih kecil. Bukan hanya tentang kehidupan rumah tangga ayah dan ibunya yang berantakan tetapi prinsip hidupnya dalam menekuni bacaan dan literasi sejak dini telah ditanamkan dalam dirinya sejak masih usia belia. Ayahnya sangat ingin menjadikan Hamka sebagai alim ulama’ dalam meneruskan jejak perjuangannya. Tetapi, Hamka dengan prinsipnya malah memilih jalan lain yaitu dengan sembunyi-sembunyi membaca buku dan membaca roman percintaan sehingga dirinya mahir dalam menulis surat cinta kepada perempuan yang menjadi tambatan hatinnya. Bahkan, surat-surat tersebut kepergok dan dibaca oleh ayahnya sendiri.
Novel biografi masa muda Hamka ini menjadi saksi tentang perdebatan dalam konflik kekeluargaan yang sangat kentara. Pertentangan adat yang semakin memanas di antara ayah dan ibu Hamka menjadi rekaman masa silam yang bedampak terhadap perkembangan kedewasaan Hamka dalam hidupnya. “Pengalaman sebagai anak jalanan selama setahun lebih sejak perceraian kedua orang tuanya, membuat Malik memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak rumahan dalam hal menjalin pertemanan dengan murid dari berbagai usia. (hal.93)”.
Perjuangan dan kegigihan Hamka dalam memperjuangkan literasi akhirnya berbuah nyata dan diberikan kepercayaan oleh pembaca dengan tulisan-tulisannya yang dibaca para penggemarnya di koran sampai dirinya bisa menangani sendiri menjadi pemimpin redaksi di sebuah koran. Bahkan, tidak jarang dirinya juga saling mengadu argumentasi dengan penulis lainnya. Buku ini sangat baik dibaca bagi kalangan pemuda yang ingin mengembangkan literasi sejak dini. Di tengah tekanan batin, buku ini memberikan sumbu semangat bagi mereka yang sedang dilanda permasalahan dalam kekeluargaan. Hamka telah menjadikan menulis dan membaca pengalihan isu dari segala bentuk masalah kehidupan.
Abdul Warits, Santri-Mahasiswa di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Fakultas Usluhuddin.
NB : Resensi ini dimuat di Koran Radar Madura Edisi Sabtu, 25 Juli 2020 M.