Tidak Melupakan Pelajaran Organisasi Pesantren
2250 View
Oleh: Misbahul Munir
Beberapa hari yang lalu, penulis mencoba menghadiri salah satu kegiatan rutinitas Organisasi Daerah (Orda) yang dilaksanakan setiap malam Selasa. Kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan santri yang mengakar kuat di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa.
Ada sepuluh Orda Lubangsa yang siap membidik santri menjadi organisatoris, organisasi itu meliputi; Ikatan Santri Pantai Utara (Iksaputra), Ikatan Santri Timur Daya (Ikstida), Persatuan Santri Lenteng (Persal), Ihwanus Subban al-Islamiyin (ISI), Ikatan Santri Bragung (Iksbar), Ikatan Santri Enam Desa (Ikstisa), Ikatan Santri Ra’as Talango (Isarat), Ikatan Santri Pamekasan Sampang (Iksapansa), Ikatan Santri Jawa (Iksaj) dan Ikatan Santri Gili Genting (Ikragil). Organisasi inilah yang mengakomodir santri Lubangsa berdasarkan daerah masing-masing.
Sepuluh organisasi ini pada Selasa (25/08) kemarin mendapatkan instruksi dari pengurus Penerangan dan Pembinaan Organisasi (P20) untuk menjalankan aktivitas ordanya. Sepuluh organisasi tersebut serentak memulai kegiatan orda dengan beragam jenis kegiatan pada pertemuan pertamanya. Ada sebian yang melakukan pertemaun pertama dengan cara menformat kegiatan dengan pembukaan aktivitas, seperti yang dilakukan oleh Orda Iksaputra; melaksanakan pembukaan di Aula Lubangsa. Sementara organisasi yang lain dengan dengan cara menformat kegiatan seperti biasanya (langsung masuk pada kegiatan rutinitas seperti latihan pidato, puisi, master ceremony (MC), dan Resting) di ruang kelas yang telah ditentukan.
Secara bersamaan diakui bahwa penulis memang juga menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan semacam itu. Tidak berarti penulis terlalu Ke-PD-an dengan realitas yang terjadi. Sejauh yang dialami, sejak nyantri di PP. Annuqayah daerah Lubangsa, tradisi keilmuan organisatoris selalu ditransfer oleh para senior pada kader-kadernya. Yang paling penulis ingat kata-kata senior “Berorganisasi tidak cukup dengan banyak membaca buku, tetapi harus masuk ke dalam organisasi” ini menujukkan bahwa praktik dalam organsisi jauh lebih substansi dari membaca wacana literasi. Tetapi tidak berarti buku itu tidak penting. K. Hajar Dewantara pernah mengungkapkan bahwa tradisi keilmuan seperti membaca buku menurutnya juga penting supaya memiliki landasan dalam berorganisasi. Berorganisasi dengan tidak diimbangi pengetahuan melalui buku-buku memungkinkan terjadi kesalahpahaman cara bersikap dan bertindak. Tetapi, jangan dulu memandang bahwa buku menjadi patokan utama dalam segala hal. Anda tentu tahu bagaiamana mengimbangi jiwa organisasi anda menjadi lebih baik dari kenyataan-kenyataan yang tidak baik.
Yang cukup menarik ketika membahas organisasi pesantren bahwa pada hakikatnya pesantren adalah lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia yang mampu memberikan kontribusi besar bagi terlaksana cita-cita pendidikan di negeri ini. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 3 yang menjelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggungjawab. Tentu cita-cita Pendidikan Nasional ini bagi pesantren sudah menjadi ruh, tanpa ada UU semacam ini pendidikan pesantren tidak bisa terlupas dari tujuan awal berdirinya pesantren secara umum. Meski kadang animo yang berkembang di masyarakat menyebut bahwa pesantren hanya bertitik tolak pada satu konsistenti keagamaan atau ngaji kitab kuning pada kiai. Pemahaman seperti ini tampak terlalu konservatif mamahami pendidikan pesantren. Padahal pesantren pada taraf perkembangannya tidak mau lepas dengan kondisi dan perkembangan zaman, sehingga menuntut pesantren untuk lebih survive dengan realitas dengan tanpa menghilangkan tradisi keilmuan yang sudah menjadi ruh pesantren.
Berdirinya Orda di PP. Annuqayah daerah Lubangsa barang tentu menjadi nilai tawar pendidikan pesantren yang tidak hanya konsis memahami pendidikan agama saja. Walaupun pada kenyataanya adalah pilihan bagi setiap santri. Santri yang yang meninggalkan kegiatan Orda merupakan pilihan, begitupun sebaliknya. Tetapi, keberimbagan dari kedua sisi keilmuan yang di kembangkan di pesantren juga akan memberikan konsekuensi bagi santri. Anda sendiri tinggal memilih.
Memahami dan mempelajari materi keagamaan bagi santri adalah kewajiban yang tidak bisa dihilangkan, sebab yang paling radik dari sekian banyak konsistensi keilmuan yang ada, memang materi agama yang harus didahuluankan sebelum yang lain. Santri yang tidak paham akan agama bukan berarti bodoh atau konyol, tetapi yang paling penting ikhtiar santri untuk memahami agama tentu akan lebih berharga dari pada tidak sama sekali. Menanggapi realitas dualisme pendidikan yang ada di pesantren tidak boleh ditinggal oleh pihak pemangku kebijakan pesantren (kiai dan pengurus pesantren).
Sebagian pesantren yang masih konsisten dan tidak mau dengan formulasi pendidikan formal, akan memberikan konsekuensi bagi santri-santrinya. Sementara pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa tidak meninggalkan materi agama dan tidak tertutup pada materi umum, termasuk pendidikan berorganisasi ini.
Rutinitas orda yang dilaksanakan setiap malam Selasa tidak hanya sekedar dipahami sebagai rutinitas yang biasa-biasa bisa saja dan tampak jenuh dipandang oleh mata. Pemahaman penulis memang seperti ini dulu. Tetapi setelah difikir ulang ternyata tidak. Ada sekian banyak kegiatan orda yang tampak jenuh; Mc, Pidato, Baca Puisi, dan lain-lain karena setiap hadir mengikuti kegiatan tersebut tampak yang itu-itu saja terjadi.
Namun, apabila kita teliti satu demi satu, kegiatan yang dilaksanakan orda cukup banyak manfaatnya bagi santri. Rutinitas “itu-itu saja” sebenarkan melatih mental santri agar tidak gugup berbicara dan berekspresi di depan santri-santri yang lain, menambah pengetahuan empirism dalam pendidikan pesantren dan membangun keterbukaan atau hidup secara pluralis antar sesama.
Nilai yang terakhir “pluralis” memang cukup sentral diperbincangkan dalam kancah publik, ada yang menilai baik dan buruk. Plural sejatinya memang harus ada dalam masyarakat yang heterogen atau majemuk. Bersikap plural pada sesama dan bahkan pada sekelompok yang lain adalah sunah nabi yang telah diajarkan sejak dulu kala. Kegiatan semacam organisasi yang menggabungkan dari sekian banyak santri dari berbagai daerah akan memberikan pelajaran bagi santri tentang makna plural dalam skala kecil (masyarkat pesantren).
Kemajemukan yang lahir dari adanya ragam organisasi di PP. Annuqayah Lubangsa cukup menjadi bukti bahwa nilai-nilai pendidikan pesantren tidak hanya mengajari bagamana cara memahami agama, tetapi secara praktis sudah mengalami pluralisme di tengah perbedaan santri. Hal ini, tentu akan mengindikasikan adanya kedamaian di tengah perbedaan.
Suatu saat penulis pernah mengadiri kegitan rutinitas orda. Sengaja tidak menyebut nama organisasi. Kegiatan orda yang dilakasanakan setelah jama’ah Isya’ itu pada masa kepengasuhan KH. A. Warist Ilsyas (Alm.) diwajibkan bagi semua santri dan pada masa kepemimpinan K. Muhammmad Ali Fikri kegiatan orda masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya; wajib bagi santri. Itulah barangkali menjadi pegangan para santri banyak yang aktif menghadiri kegiatan organisasi daerah.
Saat mengikuti rangkaian kegiatan orda yang pernah menjadi tempat belajar berorganisasi dengan baik, tampak semua santri antusias mengikuti serangkaian kegiatan dimasing-masing ordanya. Biasanya, saat mau memulai kegiatan orda, ada Mc yang memandu jalannya kegiatan. Pertama dibuka dengan pembacaan Surat Fatihah yang dipimpin MC, lalu dilanjutkan dengan pembacan ayat-ayat suci al-Quran, Shalawat Nabi, menyanyikan Mars Orda, Latihan-latihan (Pidato dan baca puisi) dan resting (istirahat) yang di isi dengan unjuk kebolehan.
Pada bagian resting ini, ada satu orang yang memimpin di depan, bukan MC. Biasanya yang dilakukan meminta para anggotanya untuk unjuk kemampuan maju ke depan. Salah satu cara yang paling dominan digunakan dengan memakai sistem atensi, sebagian anggota yang sudah mempersiapkan rentetan nama yang ditulis pada selembar kertas diberikan kepada pemimpin resting untuk memabacakan dan menyuruh maju ke depan. Anggota yang dipanggil, diberi kebebasan untuk menampilkan kemampuan di depan para anggota yang lain.
Dalam moment resting tesebut, ada sebagian anggota yang menampilkan baca puisi, pidato, bernyanyi, ngelawak, dan lain sebagainya. Anggota yang tidak memiliki rasa percaya diri biasanya di seret untuk maju ke depan. Satu lagi yang cukup menggelitik para anggota ketika ada salah satu anggota yang menampilkan lawak, semua anggota tertawa terbahak-bahak menyaksikan penampilan yang telah ditunjukkan.
Dengan demikian, kegiatan organisasi di PP. Annuqayah daerah Lubangsa seperti rutinitas malam Selasa itu, tidak hanya sekadar melatih keseriusan dalam beroganisasi tetapi juga sebagai pengobat penat, galau gelisah dan merana (gegana). Intinya, pendidikan organisasi yang ada di pondok pesantren sangat berarti bagi kader-kader bangsa. Selain sebagai penambah pengetahuan tentang organisasi, ada nilai-nilai kebersamaan, keberanian, kerukunan, dan perdamaian di tengah perbedaan santri.