Pendidikan Madin dalam Buaian Perpres
2862 View
Oleh: Misbahul Munir*
Tak lekang dari banyaknya kebijakan pendidikan di negeri ini, setiap pergantian pemimpin, kebijakan tentang pendidikan selalu bertambah dan atau bahkan berubah. Otaknya berbeda, maka kebijakannya berbeda. Apakah harus seperti itu setiap tahunnya? Kapan kita akan merasakan kenikmatannya, sementara peraturan tentang pendidikan selalu berganti ini dan itu.
Pada tanggal 9 Agustus 2017 kita kembali dikejutkan dengan dikeluarkannya Rancangan Peraturan Presiden (Pepres) tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang mendapat tanggapan serius dari Kementrian Agama (Kemenag) terutama dalam pandangan Dirjen Pendidikan Islam, Kamarudin Amin, tentang klausul Madin yang tampak mau disejajarkan dengan kegiatan ekstrakurikuler. Sehingga menurutnya, ketika demikian, derajat Madrasah Diniyah sama dengan kegiatan kesenian, olahraga, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, dalam Perpres diterangkan adanya sekolah lima hari (hampir sama dengan kegiatan Madin, materinya difokuskan pada materi agama Islam: Akidah Aklaq, Al-Quran Hadist, dll.) setelah jam pelajaran sekolah formal selesai. Semisal, Sekolah Dasar (SD) pulang pukul 12:00, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) selesai pulul 13:00, lembaga harus menyisakan waktu untuk kegiatan ekstrakurikuler yang dimaksud. Tentu ini akan berdampak pada psikis siswa; tampak membosankan. Jika diberikan pilihan, barangkali siswa akan memilih kegiatan selain “diniyah”, gampangnya siswa memilih olahraga atau kesenian, untuk melepas penat karena sudah disesaki materi dari pagi.
Kerangka berfikir seperti ini, bukan berarti bahwa kita kurang percaya dengan adanya Perpres tersebut. Tetapi, ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan yang menyangkut masa depan bangsa terutama dalam pemantapan pendidikan, sudahkah melalui kajian yang mengikutsertakan semua lapisan? Tentu, itu belum (sampai tulisan ini dipublikasikan). Kebijakan seperti ini, hampir sama dengan full Day School (FDS) yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, Muhajir Efendi, yang ujung-ujungnya menuai banyak kontroversi di mata masyarakat. Tenanglah Pak Jokowi, masyarakat kita paham dengan maksud Bapak, asalkan Pak Jokowi terbuka dengan kritik dan saran dari masyarakat.
Kita tahu, bahwa peran Madrasah Diniyah (Madin) sudah ada sejak sebelum kemerdekaan ini digaungkan. Kehadiran Madin yang telah diperjuangkan oleh para kiai dan ustaz sejak dulu dan sudah dapat dirasakan sekali betapa pentingnya pendidikan Madin bagi bangsa, terutama untuk tegaknya pilar pemahaman agama Islam di negeri ini. Kalau memang, kebijakan Perpes diperuntukkan atas kekukuhkan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa ini, tentu kebijakan tersebut tidak salah. Tetapi apabila kebijakan dibenturkan dengan Madin yang “katanya” korbannya adalah meniadakan Madin, itu baru masalah. Akan timbul persoalan besar dan menjadi catatan sejarah dalam kepemimpinan Pak Jokowi. Lagi-lagi semoga itu tidak terjadi.
Okelah, kita melihat bahwa pendidikan karakter di negeri ini masih jauh dari harapan yang dicita-citakan bangsa. Kalau menengok dari tatan paling bawah dari aparat negara; RT-RW, Kepala Desa (Kades), Camat, Bupati, Gubernur, dan Menteri-menteri sudah tidak bisa lepas dengan masalah Korupsi, Kolusi, dan Nipotisme (KKN). Termasuk juga tatanan masyarakat kita, kian hari cukup mempritatinkan; masalah pelecehan seksual, sabu-sabu, dan beberapa tindakan kriminal lainnya. Cukup memilukan ketika melihat kondisi negeri ini, semuanya sudah dianggap sama, ya sama-sama tidak punya kemampuan untuk berlaku baik untuk negeri. Apabila seperti itu, jadinya, siapa yang perlu disalahkan; konsepnya, yang befikir menyalahkan, atau mamang kita?
Agar kita tidak melulu saling menuduh, dan terjadi dusta diantara kita. Perpres PPK itu memang akar masalahnya, bukan yang lain. Kalau PPK hari ini dipandang sebagai solusi menerjemahkan sekalian banyak masalah di negeri ini, itu baik dilakukan dan dipertahan oleh Presiden. Tetapi apabila menghapus atau menghilangkan Madin, jangan dulu.
Sepanjang perjalanan Madin di negeri ini, hakikatnya telah menjadi penyeimbang pendidikan umum yang telah berkembang, karena memang di dalamnya memuat materi-materi agama; al-Quran, hadist, aqidah, akhlaq, fiqih, tarikh atau sejarah Islam, bahasa Arab, dan muatan lokal (dalam koran Jawa Pos (12/8), SK Dirjen Pendis 7131/2014 tentang pendoman penyelenggaraan MDT), jika Madin dengan muatan materi seperti itu, dan dimaksismalisasi proses penanaman pendidikan di lapanggan, kita tidak perlu program PPK. Tetapi, jika mamang ada maksud lain dari presiden, kita masih belum tahu-menahu soal itu.
Kita tidak perlu melambung jauh meratapi bagaimana melihat kebobrokan yang terjadi selama ini, lebih-lebih yang tampak persoalan KORUPSI (sengaja ditulis kapital agar di dengar) dan masalah-masalah lain yang membuat kita mengeryitkan dahi. Dengan ini, tidak berarti bahwa konsep pendidikan kita salah atau tidak tepat sasaran. Tetapi, kita selalu terlena dengan konsep baru tentang pendidikan, padahal konsep yang ada, masih belum teruji dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan karakater yang diagung-agungkan sebagai solusi pengentasan sekian banyak persoalan di negeri ini, barangkali sudah cukup menjadi konsep pendidikan. Masyarakat kita, sudah banyak yang mengamini perihal tersebut, walaupun pada tatanan output atau out come-nya masih membutuhkan evaluasi yang berkelanjutan. Atau ketika hadirnya Perpres itu menganggap bahwa Madin saat ini perannya masih dipertanyakan. Layaknya, pengelola Madin dapat mengintrospeksi diri akan keberlangsungan pendidikan Madin.
Kalaupun memang sekolah lima hari dalam Perpres hanya diperuntukan bagi sekolah umum (SD, SMP dan SMA) setidaknya cukup memberikan tantangan bagi sekolah umum yang berdiri di dalam pesantren. Bagi kaum santri, kebijakan seperti itu terkesan buang-buang waktu, karena memang sekolah lima hari bagi pesantren terkesan masih kurang dan tidak cukup. Kita lihat siswa SMA yang dikelola di pesantren, setiap hari tidak putus dengan kegiatan mata rantai pendidikan pesantren. Dengan begitu, pendidikan umum yang ada di luar pesantren, jangan samakan dengan pendidikan umum yang ada di dalam pesantren.
Nasib-nasib....!!! Pendidikan umum yang ada di pesantren, tidak dapat terkena kebijakan Perpres nantinya. Mau bagaimana lagi, kalau mamang begitu adanya. Pendidikan pesantren jauh dari keramaian FDS, termasuk sekolah lima hari ini, kwkwk. Bukan berarti masyarakat pesantren menolak atas Perpres tersebut. Tetapi, kenyataan sudah demikian.
Masalah pendidikan karakter di negeri ini kenapa tidak berjalan dengan maksimal, hakikatnya kita kekurangan patron yang dapat dijadikan contoh untuk melakukan perubahan, pasalnya semua sudah dianggap sama, kiai yang duduk kursi parlemen juga bisa korupsi dan termasuk aparat penegak hukum juga ditegakkan oleh hukum. Lagi-lagi yang yang disalahkan adalah pendidikannya. Dari mana sambungannya, kok disalahkan. Pendidikan kita jangan melulu dianggap salah, menuntut tidak baik dari proses pendidikan berarti kita selalu mengangap keliru terhadap konsep pendidikan yang sudah tertata rapi. Hampir kita tahu apa yang salah dari semuanya. Ternyata, kita sendiri yang salah, tidak mengimplementasikan ilmunya.
Ketika demikian, Madrasah Diniah sebagai lembaga pendidikan yang lebih fokus untuk mamahami konsep-konsep, aturan dan tata nilai yang ada dalam agama Islam akan memberikan sumbangsih pemahaman bagaimana hidup yang sebenarnya di bumi Nusantara ini. Tanpa mengeluarkan Perpres untuk memantapkan PPK kita bisa. Karena, Madin sudah ada dan berkembang di negeri ini. Sangat tidak setuju jika Madin menjadi korban Perpres PPK.
Ternyata cukup jelimet, membahas kebijakan Bapak Jokowi. Apalagi Jokowi sebagai Presiden RI yang memikirkan bangsa ini, penulis tidak habis pikir bagaimana ruwetnya. Agar kita tidak tidak termasuk orang yang ikut ngejlimetin Pak Joko tetangga sebelah, mari kita ngamalin pendidikan karakter yang telah kita ketahui.
*Penulis adalah penikmat kopi tubruk