Gila Bola hingga Nasionalisme
2646 View
Oleh: Misbahul Munir
Kaum muda yang tidak mendukung club bola tanah air atau luar negeri, rasanya kurang afdal menjadi pemuda yang hidup di era serba pertandingan. Pertandingan mengadu nasib di panggung politik, pertandingan gagasan mempertaruhkan keselamatan agar tidak masuk bui karena kasus Korupsi Kolusi dan Nipotisme (KKN).
Sudahlah. Saya tidak ingin membeberkan hiruk pikuk panggung politik. Terlalu dini bagi saya. Kapan-kapan saja dah! Lebih asik kalau kita omong bola saja, sambil nyeruput kopi dan rokok.
Dulu, semasih di bangku Madrasah Ibtidaiah (MI) sertara SD disodorkan cerita-cerita dogmatis tentang bola. Guru sangat melarang untuk menonton pertandingan bola, apalagi bermain. Pasalnya, bola itu kan bentuknya bulat. Dengan kebulatan itu, ia mengibaratkan dengan kepala manusia, sehingga kudu melarangnya.
Kalau di pandang secara rasionalitas, Cie..cie... diksinya... sudah mahasiswa ya? Ya, dong. Ayo, mana hubungannya antara kepala manusia dengan bola yang diciptakan manusia dari bahan karet itu. Untuk apa bola dibuat? Untuk pajangan atau hiasan. Kapan mau menang klub Barcelona sama Real Madrid kalau bola hanya untuk pajangan. Bahkan, tidak mungkin ada 54 suporter yang tewas (Goal.com) dan 7 peristiwa bentrok yang berakhir mati (Jawapos.com) akibat olah satu bola yang dimainkan dua klub.
Sulit untuk tidak mengernyitkan alis, ketika berbicara persepakbolaan di negeri kita ini. Kerap setelah tanding, melulu terjadi bentrok di bawah kibaran merah putih. Katanya kita beridelogi Pancasila? Mana? Wujud darinya. Sepatutnya para suporter diberi pelatihan IAD-ISD-IBD sebelum nonton kedua belah pihak. Eits. Tampak ada yang dilupakan dalam bahasan ini, tentang hubungan kepala manusia dan bola. Itu, itu di atas, bait ke 3 dan 4.
Ya. Memang beda sekali antara bola dengan kepala manusia. Masak kepala manusia mau dijadikan bola, sekalian saja kepala para suporter yang membuat gaduh setelah pertandingan, agar tidak nonton laga selanjutnya. Kurang ajar banget. Masak kita mau tendang menendang kepala manusia. Sudah bukan zamannya ninja bro.
Begini saja, agar kita melulu dicekoki dengan sesutu kurang rasional. Kenapa bola disamakan dengan kepala manusia. Sebenarya agar anak didik kita (masa-masa kami) tidak melulu menonton dan bermain bola yang menyebabkan anak tidak belajar. Belum lagi masalah kesehatan (memang benar olahraga bisa menyihatkan) tetapi pada masa saya sebaliknya; betis, kaki dan lutut menyisakan luka. Dapat diakui para permainan bola pada masa itu bukan bolanya yang ditendang tapi betis dan kaki pemain, lalu keesokan harinya sudah tidak masuk kelas karena sakit. Itu sebabnya kenapa dilarangan.
Pada sisi yang lain, permainan bola yang dimotori oleh para Bos atau Direktur tidak hanya mempertemukan kedua tim yang berbeda, tetapi pertaruhkan para pemain yang hebat untuk dibeli dan masukan ke klubnya. Direktur yang punya uang banyak dan mampu membeli pemain yang hebat, dialah yang akan menjadi pemenangnya. Mampukah Direktur PSSI atau Timnas Garuda Indonesia membeli pemain seperti Cristian Ronaldo, Neymar, Missi, dll. untuk Sea Games 2017di Kaula Lumpur, Malaysia, mungkin itu mimpi. Sudahlah, kita tidak boleh tulul amal panjang angan-angan. Yang terpenting dalam pertandingan nanti kita yang akan jadi juaranya.
Berlalu dari sejarah tak rasional itu. Setiap kali pertandingan sepak bola mesti ada yang kalah dan menang, atau paling tidak imbang. Jika pihak kita yang kalah kita tidak boleh kecil hati, brutal dan segala macamnya. Sudah mafhum, jika bertanding mesti ada kalah dan menang. Tetapi, jika kita dalam posisi menang, jangan dulu menyombongkan diri, sombong dilarang agama bro, hanya Tuhan yang boleh sombong. Kalau kita merasa bahagai dengan kemenangan tim kita, cukup dikata “bahagia dan bangga” saja, jangan terlalu berlebihan, berlebihan lagi dilarang agama. Tidak seperti yang terjadi pada saya ini.
Ceritanya seperti ini. Hidup diantara orang-orang pendukung Real Madrid cukup memberikan tantangan sendiri bagi fans Club Barcelona yang hanya dua orang (saya dan teman) dalam satu kamar. Pasca kemenangan klub Real Madrid atas Barcelona laga Super Copa de Espana, di Santiago Bernabeu, Madrid tidak hanya dilokasi pertandingan yang merasa kecewa dan bahagia, bilik-bilik santri pun demikian. Hanya saja di bilik-bilik santri tidak ada bentrok fans Madrid dan Barca. Ya kalau bentrok, dapat ganjaran dua kali; di hukum pesantren atau dipulangkan oleh kyai.
Menariknya, fans berat dari kedua belah pihak itu, ketika klub yang didukung menang, atribut seperti kaos, tas, celana (tapi bukan celana “itu”,hehe) dan sandal mewarnai penghuni bilik itu. Tetapi tidak semuanya, ada saja yang hanya ikut-ikutan, karena tidak punya sampetan (celana yang dibuat penutup aurat) mandi di sumur milik pesantren. Ada untungnya juga, bagi para penjual atribut yang tepat dengan momen kemenangan. Bisa meraup uang banyak dari santri yang gila bola (gibol). Tidak hanya itu, ocehan untuk para pendukung yang kalah setiap hari terus menghujani. Begitu juga sebaliknya, kekalahan ketika mengalami moment kemenangan, tidak mau kalah saing, yang pada akhirnya sama-sama tukang celoteh. Kwkwk. Tapi, santri masih cinta kerukunan dan perdamaian, tidak ada santri pisah kamar karena beda klub. Satu kamar bahkan satu piring makan bersama, itulah santri.
Bisa-bisanya kita ini, pertandingan luar negeri didukung oleh dalam negeri, sungguh menyakitkan dan meyinggung perasaan orang Indonesia. Lho, Lho, ini harus minta maaf sama semua masyarakat Indonesia. Selain memang saat pertandingan Timnas Garuda kita, minim sengamat 45 dari kaum muda kita. Apa ada yang salah dari tim Garuda Indonesia? Apa (mungkin) karena salalu kalah saat berada di seperpat final, apa kita terlalu sombong saat leg pertama kita menang dan atau banyak alasan lain, sehingga kita tidak pernah menjadi juara. Apanya yang salah. Ayo Garudaku. Tunjukkan di Sea Games 2017 ini, kita kan tuan rumahnya, sekali-kali kalau sudah kebelet juara keluarkan jurus, seperti film solin soccer itu.
Kita yang sering bilang Nasionalis, NKRI harga mati, dan Pancasila ideologi negeri ini, hanya persoalan bola kita sudah tidak nasionalis, mana janji kita, munafik samar-samar tampaknya. Sesekali memperjuangkan nasib dilaga pertadingan Indonesia melawan siapapun, sepantasnya dapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk yang tak suka dengan pemain Timnas.
Wah..! semangat banget bacanya, doakan saja agar Garuda juara nanti. Entar dulu, sebelum itu, kita harus paham makna pertandingan itu sendiri. Sama tidak pertandingan dengan adu domba. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pertandingan berasal dari kata “tanding” yang mendapat imbuhan per dan an berarti yang seimbang; yang sebanding; satu lawan satu. Kalau “pertandingan” memiliki arti perlombaan dalam olahraga yang menghadapkan dua pemain (atau regu) untuk bertanding; persaingan atau pertandingan. Sementara kata “adu domba” memiliki arti menjadikan berselisih (bertikai) di antara pihak yang sepaham; menarungkan (mempertarungkan, memperlagakan) kita sama kita.
Jika “pertandingan” sama dengan “adu domba” dalam pemahaman makna yang dimaksud, sepantasnya olahraga bola dihapus dari deretan olahraga yang lain. Sebab selama ini, kita merawat suatu yang pada dasarnya dilarang oleh agama. Mau bukti, ini ada sabda Nabi la yadhulul jannata qattata (tidak masuk surga orang yang mengadu domba). Sudah ada berapa ribu orang yang tidak akan masuk surga ketika mendengar dogma seperti ini, para direktur, suporter dan fans sepakbola, sudah satu paket tidak kebagian surga. Ekstrim sekali ini. Agar tidak ekstrim, niatkan hati ini (menjadi CEO, Pemain dan Fans) tidak untuk kata adu domba, innama al a’malu biniyati wa innama likullimriim ma nawa... Jangan berisik soal ini, agar tidak dikebukin sama orang-orang fans bola.
Intinya, siapapun punya hak menjadi fans bola dari sekian banyak klub-klub di dunia, tetapi jauh lebih esensial sebagai bangsa Indonesia, harus mendukung produk dalam negeri sendiri tanpa terkecuali.
*Penulis adalah penikmat kopi tubruk,