Utopia Sufi Perempuan
3087 View
(Sebuah Analisis Ilmiah Emansipasi Gender Atas Marjinalisasi Sufi Perempuan dalam Kajian Tasawuf)
Masalah perempuan kerap kali mengundang beragam diskursus pertanyaan dalam dunia tasawuf. Ada persepsi yang mengatakan bahwa tasawuf merupakan dunianya para laki-laki, barangkali tidak sepenuhnya salah. Karena jika menilik pada lembaran-lembaran literasi tasawuf sampai hari ini mengguatkan bahwa kenyataan yang ada memang demikian. Dari riwayat-riwayat yang tersampai, juga karya-karya tertulis, yang terbaca hatta dewasa ini merupakan sepenuhnya dunianya laki-laki. Nyaris tidak ada satu pun karya sufisme yang dapat dikatakan sebagai warisan khazanah intelektual dari sufi perempuan. Selama ini perempuan masih dianggab sebagai orang nomer dua setelah kaum laki-laki, mungkin ini tidak lepas dari bangunan wilayah konstruksi bias gender[1] yang kerap memposisikan seorang perempuan sebagai mahluk minoritas yang lemah, tertindas, dan menjadi sosok atribut yang butuh perlindungan dari seorang laki-laki.[2]
Perempuan sampai hari ini belum bisa meramaikan konstelasi sejarah baru dalam kajian tasawuf, tidak banyak para peneliti dan intelektual muslim menulis kiprah seorang sufi perempuan. Menurut Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan, Mag. “mungkin” karena banyaknya teks-teks al-Qur’an dan Hadist misoginis yang mendiskreditkan ruang lingkup seorang perempuan dan bisa saja itu tidak lepas dari persoalan gender.[3] Persoalan gender sepertinya sudah menyeluruh hatta masuk ke berbagai ruang dimensi kehidupan sosial. Di tengah-tengah suasana domestikasi perempuan dan dominasi patriarki, kalangan feminis semakin tidak memiliki gerak bebas.[4] Kebebasan (hurriyah) dalam artian Mernissi adalah kebalikan dari sistem perbudakan.[5]
Melihat fenomena demikian, sepertinya kajian tasawuf perempuan tidak bisa berjarak dengan munculnya wacana emansipasi gender seorang wanita.[6] Fenomena ini bisa dilihat dalam literasi tasawuf dari zaman ke zaman, minimnya kajian tokoh wanita dalam tasawuf menandakan jika persoalan ini dibangun oleh degradasi historis yang sangat panjang. Seakan tokoh perempuan memang begitu gelap dan tabu untuk dikenal dalam bibliografi tasawuf.
Berbicara tentang “diskriminasi” sufi perempuan barangkali sangat erat kaitannya dengan kontruksi gender sebagaimana yang sudah disebutkan dimuka.[7] Sejarah kelam kaum Jahiliah pra Islam datang sampai menjadikan perempaun sebagai instrumen pelampiasan nafsu seksual seorang laki-laki, dan mengubur anak perempuan secara hidup-hidup, karena perempuan dianggab sumber penyebar fitnah yang menambah berbagai masalah dalam kehidupan keluarga mereka.[8] Problem ini diamini oleh Dr. Hj. Mufida, Ch., M.Ag. perempuan dan tasawuf seakan ada ruang lingkup pemisah antara keduanya yang bernama “kontruksi gender.” Ada “marjinalisasi” atau subordinat atas elan vital perempuan di berbagai lini kehidupan.[9] Sejalan dengan Dr. Nashruddin Baidan, yang mengutip beberapa ide dari Aristoteles, Nietzsche, dan Schopenhauer beberapa kitab suci Yahudi, tentang keadaan kaum wanita pada tahun 1900 yang tidak mendapatkan hak apapun untuk dihormati oleh kaum pria menurut hukum formal. Cerita ini disinyalir dalam al-Qur’an jika perempuan merupakan biang keladi perpecahan harmonisasi sosial sebagaimana yang dilakukan Hawa saat menggoda Adam di surga, jelas dalam penafsiran ayat ini perempuan sangat dipojokkan hingga iblis tak dapat menggoda Adam secara langsung.[10]
Penelitian tentang “marjinalisasi sufi perempuan” menjadi sangat menarik, jika kita bisa memecahkan latar belakang diskriminasi sufi perempuan secara mendalam, kritis dan representatif. Sayangnya, kita hanya bisa menelusuri seluk beluk persoalan ini pada akar rumput sejarah tokoh-tokoh sufi terdahulu, serta indoktrinasi ajaran sufi perempuan di masanya melalui keterbatasan literatur yang menulis tentang sufi wanita. Barangkali karena masih minim nan nyaris belum ada buku yang secarah utuh total menjelaskan dengan rinci latarbelakang minornya sufi perempuan, hal ini menjadi kendala untuk memperdalam penelitian tentang hipotesa yang disebut “marjinalisasi” sufi perempuan dalam penelitian ini.
Maka, dari fenomena yang ada akan muncul banyak diskursus mengenai sufi perempuan. Sufi perempuan seakan hanya—menurut bahasa penulis sebatas utopia atau isapan jempol belaka—, persoalan ini semakin runyam jika dikaitkan dengan kenyataan yang ada. Sebagaimana Islam dijadikan sebagai alibi untuk mendiskreditkan gerak kaum perempuan. Sebagaimana paparan Dr. Kaukab Siddique, dalam bukunya Menggugat Tuhan Yang Maskulin, ternyata ada banyak problem kesalahan para mufassir tentang penafsiran berbagai ayat al-Qur’an berkenaan dengan perempuan, mereka hanya menggunakan ayat al-Qur’an sebagai cambuk justifikasi memarjinalkan perempuan.[11]
Akhirnya, kita hanya bisa menafsirkan berbagai literasi dan historiografi masa awal sejarah munculnya seorang sufi dari beberapa buku tasawuf yang ada. Beberapa tokoh sufi perempuan yang mewarnai dunia tasawuf adalah titik cahaya dimana kita ingin membantah konsep feminisme baru dalam kesejarahan tasawuf; bahwa feminim harus ada batasan istilah dan pengklasifikasian secara formal dalam dunia tasawuf mutakhir.
Karena tidak bisa menutup kenyataan pada masa kini, julukan sufi perempuan memang jarang sekali terdengar, meski banyak perempuan salehah yang perjalanan spiritualnya demikian tinggi dan patut disebut sebagai guru sufi, akan tetapi mereka tidak banyak ditulis dalam kesejarahan tasawuf.[12]
Dalam gambaran konsepsi sementara fenomena ini harus dipahami sebagai gejala degradasi-stagnan yang bisa saja dibentuk oleh negasi kultur historis dan budaya literasi yang kurang berminat untuk meneliti dan mendalami persoalan sufi perempuan.[13] Namun, konsepsi kedua yang dibangun oleh penulis fenomena ini memang terjadi secara alami; sedikitnya perempuan yang menjadi ahli sufi seperti tokoh sekaliber Robiah al-Adawiyah, karena pada persoalan lain banyak tokoh-tokoh sufi laki-laki yang membahas tentang sosok perempuan dalam proses pencapaian puncak makrifat kepada Tuhan seperti Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
Sebagaimana mafhum, dalam ajaran tasawuf perempuan memiliki porsi atau posisi yang paling istimewa, dari pandangan Ibn Arabi perempuan diposisikan sebagai bentuk manifestasi menuju penyatuan dengan Tuhan yang maha sempurnah.[14] Baginya, kerinduan dan kecintaan pria kepada perempuan merupakan cermin kerinduan dan kecintaan Tuhan kepada manusia. Maka disini perempuan memiliki peluang yang sama dalam memperoleh maqomat dan ahwal guna meniti jalan sebagai sufi sejati.[15] Oleh karena itu wacana sufi perempuan sangat penting untuk diketengahkan dalam kultur literasi tasawuf, ketika perempuan sudah banyak didiskreditkan dengan berbagai kepentingan.
*Penulis adalah santri Annuqayah daerah Lubangsa.
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Muara 2015 M.
Saat ini sedang bergelut di dunia tasawuf.
Referensi Bacaan
Baidawi, Nashruddin. Tafsir bi al-Ra’yi; Upaya Konsep Penggalian Wanita dalam al-Qur’an Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita dalam Al-Qur’an. PUSTAKA PELAJAT, Yogyakarta, 1999.
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif Ibn Arabi. terj. Moh. Hozim, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi, (Yogyakarta: LKiS, Cet. I, 2002).
Ch, Mufidah. Isu-Isu Gender Kontemporer dalam Hukum Kkeluarga, UIN Maliki Prees, 2010.
Fatima Mernisi, Ratu-ratu yang Terlupakan, terj. the forgotten Queens of Islam. (Bandung: Mizan, 1994).
Febriyani, Nur Afiyah. Ekologi Berwawasan Gender. MIZAN Pustaka, Bandung, 2014.
Hasan al-Mahami, Muhammad Kamil. Wanita di Mata Dunia dan al-Qur’an, terj. Budi Sudrajat, S. Ag., al-Mar’ah fi Qur’anil Karim, MUSTAQIM, Melayu Kecil, Cet. Ke-II, 2004.
Murtofin. Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Amina Wadud Dan Riffat Hassan. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Volume 3 Nomor 1 Juni 2013.
Smith, Margaret. Rabi’ah; Pergulatan Spritual Perempuan. (Risalah Gusti: Surabaya, Cet. IV, 2001).
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Krtik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Mizan Pustaka, Bandung, 2006.
Siddique, Kaukab. Menggugat Tuhan Yang Maskulin, terj. Arif Maftuhin, M.Ag, The Struggle of Muslim Women (1983), PRAMADINA, Jakarta, 2002.
Yusuf, al-Syah. Jami’ Karomatil Auliya’. Dar al-Qutub al-Ilmiyah, Lebanon, 2009
Sumber Jurnal:
Anil Islam, Jurnal Kajian Ilmu Keislaman, Vol. 5, No. 2, Desember 2012, INSTIKA Annuqayah.
Jurnal Ulumuna, Volume XIV Nomor 2 Desember 2010.
Jurnal e-USU Repository Universitas Sumatera Utara, 2005.
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4 No.2 Desember 2011 ISSN : 1979-5408.
Skripsi Universitas Negeri Sunan Kalijaga Jogyakarta, 2009.
Jurnal Republika, Islam Digets Ahad, 30 Oktober 2011.
[1]Secara etimologi, kata gender berasal dari bahasa Inggris gender, yang berarti “jenis kelamin.” Pengertian secara etimologis ini lebih menekankan hubungan antara laki-laki dan perempuan secara anatomis. Dalam Webster’s New World Dictionary, kata gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah lakunya. Lihat juga buku Dr. Hj. Mufidah, Ch., M.Ag., Isu-Isu Gender Kontemporer dalam Hukum Kkeluarga, UIN Maliki Prees, 2010, hlm, 31., bahwa feminisme lahir pertama kali pada abad ke-19 ketika secara perlahan perempuan mulai mempertanyakan status inferior dan pada saat yang sama mempertanyakan status sosial mereka. Dalam buku Nur Afiyah Febriyani, Ekologi Berwawasan Gender, Mizan Pustaka, Bandung, 2014., hlm, 129. Pada Islam klasik persoalan ini belum banyak muncul karena gender baru muncul pada awal-awal abad 19, dalam kajian Islam modern gender mengambil posisi penting dalam meluruskan kesalahpahaman terhadap teks kitab suci yang selama ini mengakar dan membudaya.
[2][2]Lihat dalam Jurnal Ulumuna, Volume XIV Nomor 2 Desember 2010., hlm. 299.
[3]Lebih lejasnya lihat dalam wawancara Republika, Islam Digets Ahad, 30 Oktober 2011. Ia seorang psikolog sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Lihat juga dalam penelitian Ach. Mutam Muchtar, Menyoal Peran-Kerja Perempuan dalam Pandangan Syekh Nawawi al-Bantani, Anil Islam, Jurnal Kajian Ilmu Keislaman, Vol. 5, No. 2, Desember 2012, INSTIKA Annuqayah, hlm, 231-258. secara historis penelitian ini mengatakan bahwa perempuan sebagai second creation, sebagaimana peradaban dan agama dari sejak masa Jahiliah memberi tempat tidak terhormat, diperlakukan secara marjinal, subordinatif, dan eksploitatif.
[4]Lihat tulisan Murtofin, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Volume 3 Nomor 1 Juni 2013. Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Amina Wadud Dan Riffat Hassan., hlm, 236.
[5]Diambil dari tulisan Arif Budi Raharjo, Posisi Perempuan dalam Sejarah Pendidikan Islam. Lihat juga Fatima Mernisi, Ratu-ratu yang Terlupakan, terj. dari the forgotten Queens of Islam. (Bandung: Mizan, 1994), hlm.27.
[6] Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013. Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud Dan Riffat Hassan, hlm, 236.
[7]Masih banyak yang tidak paham terkait dengan gender, dan menganggab bahwa gender adalah perempuan , wacana ini dianggb lahir dari Barat.
[8]Muhammad Kamil Hasan al-Mahami, Wanita di Mata Dunia dan al-Qur’an, terj. Budi Sudrajat, S. Ag., al-Mar’ah fi Qur’anil Karim, MUSTAQIM, Melayu Kecil, Cet. Ke-II, 2004., hlm, 28. Dalam tradisi Jahilaih bayi yang dikubur itu disebut dengan Al-Mau’dah, Dr. Said Aqil Siroj. Tasawuf Sebagai Krtik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Mizan Pustaka, Bandung, 2006, hlm, 254.,
[9] Dr. Hj. Mufidah, Ch., M.Ag., Isu-Isu Gender Kontemporer dalam Hukum Kkeluarga, UIN Maliki Prees, 2010, hlm, x.
[10] Dr. Nashruddin Baidawi, Tafsir bi al-Ra’yi; Upaya Konsep Penggalian Wanita dalam al-Qur’an Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita dalam Al-Qur’an, PUSTAKA PELAJAT, Yogyakarta, 1999, hlm, 13.
[11]Dr. Kaukab Siddique, Menggugat Tuhan Yang Maskulin, terj. Arif Maftuhin, M.Ag, The Struggle of Muslim Women (1983), PRAMADINA, Jakarta, 2002, hlm, 11.
[12]Ada sebagian nama-nama tokoh perempuan yang ditulis dalam kitab Jamik Karomatil Auliya’, al-Syah Yusuf, Dar al-Qutub al-Ilmiyah, Lebanon, 2009.
[13]Hasil dari wawancara yang dilakuakan Republika, Islam Digets , Ahad, 30 Oktober 2011. Dan lihat dalam penelitian Margaret Smith, Rabi’ah; Pergulatan Spritual Perempuan, (Risalah Gusti: Surabaya, Cet. IV, 2001), hlm,157.
[14]Lihat Fususl Hikam, dan Imajinasi Kreatif Ibn Arabi, Karya Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi, terj. Moh. Hozim (Yogyakarta: Lkis, Cet. I, 2002), hlm, 202-203, bagi Ibn Arabi perempuan adalah seberkas cahaya Ilahi, dia bukanlah wujud yang menjadi sasaran hasrat nafsu. Dia adalah pencipta. Dia bukanlah makhluk.
[15] Dr. K. H. Said Aqil Siroj. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Mizan Pustaka, Bandung, 2006, hlm, 254-255.