Siapa yang Pantas Bicara Cinta
1683 View
Oleh: Jamalul Muttaqin*
Dalam bukunya Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita, pernah mencaplok perkataan seorang sufi pencerita ulung, Abdul Rahman al-Jami’, yang bombastis sekaligus menyimpang dari aforisme-aforisme cinta, menerobus bangunan epestimologi dan pengertian-pengertian cinta yang kaku, bagi Shimel, tak ada orang yang pantas berbicara cinta. Jika semua orang tak ada yang pantas membicarakan cinta lalu siapa yang pantas? Mungkinkah Shimel lelah mendengar bahasa cinta yang dibuat profanitas sekali oleh kalangan pencinta dan kekasih? Mungkin saja Shimel sudah benci karena ujub-ujub kalangan pencinta dan kekasih.
Sebelum jauh mengejar perkataan Shimel, penulis ingin menayakan siapakah kisah cinta yang diagungkan dalam sejarah dunia? Ya, mungkin hanya ada tiga kisah cinta yang pada gilirannya terus melahirkan benih-benih inspiratif bagi para pecinta dan kekasih. Pertama, siapa yang tidak kenal kisah agung dalam dunia tasawuf yang menjadi rujukan penulisan kisah-kisah cinta dunia, ia tidak lain adalah Lailah dan Majnun. Kedua, di dunia barat yang cenderung rasionalis siapa yang tidak kenal kisah populer tentang Romeo dan Juliet. Ketiga, dalam al-Qur’an siapa yang tidak mengenal kisah perjalanan cinta suci Zulaiha dan Yusuf—semua berkait kelindan—dan sama sekali secara historis belum pernah ada cerita sesudahnya yang dapat mengungguli apalagi melebihi dari tiga kisah cerita tersebut.
Penulis merasa memiliki kesempatan untuk sekadar memberikan ruang pemahaman yang lebih demokrasi, dari dan untuk semua kalangan pecinta dan kekasih agar bisa memikirkan aspek yang perlu diambil dari cerita tadi. Kalau kalian pernah memiliki kekasih atau pernah jatuh hati terhadap seseorang yang begitu mengagumkan dan sulit untuk digambarkan, mari sedikit dirasionalkan dengan kata-kata, meski sebagian kalangan menyangkal tak ada cinta yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kenapa harus dilogikakan? Karena di zaman perseteruan cinta yang sering digadaikan dengan idealisme, kemapanan, dan percobaan, patut kiranya membuktikan bahwa ini bukan lagi zamannya Zulaiha- Yusuf, Laila-Majnun, atau Romeo-Juliet, kalangan pecinta dan kekasih telah memilih alasan yang lebih rapuh dengan murasak idealisme, dan kemapanan.
Maka tidak salah jika perselingkuhan menjadi kalimat paling banter didengar “selingkuh itu indah,” karena pada tatanan yang lebih sejati, idealisme dan kemapanan telah ditukar dalam konteks yang lebih bersifat pragmatis, bukan hanya dalam lini kehidupan yang bersifat sosiologis-interakstif ideologi pragmatisme itu masuk merebak, akan tetapi dalam urusan percintaan kalangan kekasih dan pecinta lebih memilih yang pragmatis, sehingga tidak jarang dari mereka mengambil tindakan yang lebih fleksibel dan pragmatis.
Mungkin kisah di atas, adalah sebagai jurang pemisah antara kisah-kisah yang terlalu kaku dan didikte dengan koridor-koridor dan ketentuan-ketentuan agama, dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku. Seperti harus setia, harus berkorban, harus syar’ih, harus Islami, dan harus-harus yang lain.
Maka tidak jarang dalam penerapannya, kalangan pecinta dan kekasih melepas ritme cinta yang terlalu kaku dan didikte, mungkin mereka sudah bukan lagi menemukan makna “cinta” melainkan ber-“cinta” untuk sekadar melampiaskan hasrat cinta yang mengebu berupa nafsu ammarah. Ya, praktek lain yang dilegalkan adalah pacaran dengan alasan yang tadi itu, tidak mau didikte dengan hukum-hukum yang kaku dan membosankan. Sebab itu, mereka beranggapan bahwa cinta tak butuh pengorbanan jiwa melainkan bersifat materi, bukan perasaan melaikan paksaan. Pasalnya, praktel yang lebih ekstrem dan dilegalkan adalah “cinta satu malam” menjadi cinta satu malah oh indahnya.
Akh. Di bagian ini, mungkin itu alasannya Shimel mengatakan tak ada kalangan yang pantas mengatakan kalimat cinta, karena bagi Shimel hanya orang yang mengenal penderitaan mencintai Yusuf sajalah yang berhak berbicara tentang cinta. Para penyair tahu bahwa cinta merobek Zulaiha dari selubung kesucian, sehingga bagi Jami’ Zulaiha adalah lambang bagi semua orang yang merasakan penderitaan cinta dan kerinduan yang tak terbatas. Maka, Zulaiha menjadi pahlawan wanita yang berani dan kuat, yang rela menahan apa saja demi kekasihnya.
Maka kesimpulannya tak ada yang pantas mengatakan cinta kecuali ia mau berkorban jiwanya, mau menahan nafsunya, mau memahami hukum-hukum cinta yang berlaku dalam ketaatan agama, sehinga apa yang dikatakan Shimel menjadi layak untuk para pecinta dan kekasih.
*Suka mengembala kambing dan sapi. Sayang penulis masih nyantri di PP. Annuqayah daerah Lubangsa, jadi ngak ngembala sendiri.