George Lazanov: Membaca Potensi Manusia
2979 View
Oleh: Aldi Hidayat
Setiap manusia tentu punya potensi. Potensi bila didongkrak dengan balutan persistensi, maka akan berimbas terhadap prestasi. Potensi manusia tidak terikat pada satu segi, namun meliputi berbagai lini. Berangkat dari perspektif ini, santri seyogyanya berjibaku dengan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan potensi.
Akselerasi potensi setidaknya terbengkalai gara-gara oleh dua fenomena, sebagaimana yang dicetuskan oleh George Lazanov beriku ini. Pertama, Ego Boundaris; yaitu batasan-batasan yang dibuat oleh ego manusia. Ego membatasi ruang gerak pribadi dari hal-hal yang sesungguhnya kaya urgensi. Contoh, santri ada yang mengabaikan satu mata pelajaran di bangku pendidikan. Dalih yang terlontar sering kali atas latar belakang tiadanya minat atau rasa senang dan krisis kemampuan untuk menjangkau. Kategori pertama seperti halnya santri yang tidak suka pelajaran Matematika. Ketika disuguhkan penjelasan tentang matematika, ia cuek-cuek aja, sehingga menutup peluang dalam memahami “Matematika.” Sikap tersebut sama sekali tidak pantas mengotori diri santri, selaku agen perubahan di zaman nanti. Seharusnya, santri bersikap terbuka, meski materi yang diajarkan kurang disukai.
Kategori kedua, yaitu memantulkan karakter yang minim percaya diri. Adakalanya santri menyanjung temannya yang berprestasi, sembari mengakui bahwa dirinya kurang mumpuni. Pada tataran eksplisit, sikap demikian cukup baik mewarnai kepribadian. Pasalnya, ia merupakan salah satu bentuk kerendahhatian. Namun, bila menelisik kancah implisit, sikap yang bersangkutan seakan lumrah menetaskan malas dan bosan. Tidakkah banyak santri merendah hati atas kekurangan yang dia miliki, namun setelah itu tak ada usaha mencanangkan rehabilitas? Betapa banyak santri membesarkan kehebatan temannya dan melegitimasi kelemahan dirinya, namun tak punya rencana untuk melakoni persaingan yang kentara. Tindakan itu bukanlah rendah hati, justru menyeret diri pada kerdilnya potensi. Rendah hati yang hakiki adalah mengonfirmasi lemahnya pribadi, tapi selalu ada semangat berbenah diri dari hari ke hari. Semangat tersebut tak akan timbul, apabila percaya diri kurang unggul.
Kedua, mental block; yaitu kesulitan mengungkapkan apa yang berkeliaran dalam pikiran. Misalkan, ada santri punya talenta yang susah mementaskannya, sehingga talenta hanya bermanfaat bagi dirinya dan tidak berdampak kepada yang lain. Faktor dominan fenomena demikian adalah percaya diri yang berskala kurang. Keadaan itu, mesti dianulir lewat transformasi pola pikir. Cara baca terhadap diri sepantasnya tendensius kepada penampakan diri yang sejati.
Abdurrahman Az-Zunaidi mendikotomi epistemologi pada dua macam. Pertama, epistemologi keyakinan, yaitu teori pemikiran yang meyakini adanya kebenaran dan kesanggupan manusia untuk mencapai. Kalau dikaitkan dengan topik saat ini, maka semestinya orang khususnya santri yakin akan keberadaan potensi dalam dirinya sekaligus optimis bahwa ia mampu menjadikan potensinya terealisasi. Kedua, epistemologi keraguan, yaitu teori pemkiran yang berada di antara menerima dan menolak adanya kebenaran serta kapabilitas manusia dalam menggapai. Korelasinya terhadap tema di hadapan pembaca budiman, ialah santri sebaiknya memakai epistemologi keyakinan saat akan dan menjelang menunjukkan kemampuan. Di lain keadaan, alangkah bijak dia menggunakan epistemologi keraguan sebagai filterasi pada kekurangan yang barangkali mencuat usai mendeklarasikan bakat dan kemampuan.
Percaya diri adalah modal penting bagi manusia guna meretas akan potensi. Berupa potensi dalam jiwa. Sebaliknya, krisis percaya diri, akan keberadaan potensi dalam jiwa, jauh lebih kronis dari pada kondisi pertama. Kondisi pertama berkenaan minimnya percaya diri ketika bakal menampilkan potensi, sedangkan kondisi kedua berkisar pada rapuhnya percaya diri tentang ada-tidaknya potensi.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, bukanlah pemuda (sejati) orang yang berkata “Inilah bapakku”. Akan tetapi, pemuda (sejati) adalah orang yang berkata “Inilah aku”. Beliau tidak menstimulus kita untuk menyombongkan diri. Akan tetapi, kita terutama kawula santri, harus yakin alias percaya diri akan kemampuan pribadi untuk dapat hidup dan berkreasi secara mandiri, bukan malah bersandar pada kehormatan dan kemuliaan leluhur yang telah mendahului kita sekarang ini. Santri harus percaya diri dalam melejitkan potensi. Wallahu A’lam.
*Kader Istana Pers Lubangsa (IPS) 2017-2019 M.