Mimpi Kaum Sarungan: Bukan Sekadar Mimpi Kemerdekaan Belaka
2430 View
Oleh: Jamalul Muttaqin*
Sebagai seorang santri, mewakili barisan kaum sarungan, ia memilih bagian yang terpisahkan dari dan, yang tak dianggap dalam sejarah kemerkaan Indonesia, namun ia memilih kemerdekaan Indonesia pada khakikatnya adalah kemerdekaan untuk rakyatnya bukan untuk dirinya sendiri. Intinya, ia sadar bahwa berjuang untuk kemerdekaan adalah suatu kewajiban mutlak dalam agama, meski kadang, untuk sekadar merasakan manisnya kemerdekaan atas negara bekas kolonialisme Belanda, ia harus menelan ludah dan menyaksikana impian Bapak Proklamator, Ir. Soekarno, belum selesai dengan kata “merdeka” atau “hidup Indonesia!”. Apa artinya mengatakan merdeka sedang intstrumen kemerdekaan tumbuh jadi benih-benih neokolonialisme yang tampil lebih mencekam dan menakutkan. Ia berupa apa saja, dengan wujud yang sulit dan subtil untuk ditebak. Entahlah, belum saatnya penulis mengatakan neokolonialisme yang dimaksud itu.
Barangkali, saat bendera saka merah putih berkibar, dan teks proklamasi dibacakan masyarakat merasa bahwa Indonesia akan terbebas dari segala gempuran penjajah Belanda atau kekosongan kekuasaan di tangan pemerintah Jepang, mereka pikir, kehidupan berikutnya menjadi lebih menyenangkan, bisa hidup sejahterah, tentram, berkecukupan, ekonomi semakin meningkat, pendidikan tak lagi termarginalkan, bebas berkeliaran, dan lapangan kerja disediakan? Mungkin, semua menjadi mimpi indah bagi masyarakat Indonesia. Ya, benar semua memang impian bukan sekadar bagian dari mimpi indah di siang hari, baik dari kaum bangsawan, atau masyarakat kecil (ada masyarakat besar?) sebut kaum buruh atau petani, pemuda pengangguran, dan kaum sarungan, tentu dari beberapa kelompok tersebut memiliki intensi prespektif yang berbeda melihat wajah baru kemerdekaan yang sudah berusia hampir satu abad ini.
Saat ini, penulis seakan merasakan betapa mirisnya kaum sarungan jika mereka tidak bisa menikmati euforia kemerdekaan yang dimaksud, padahal mereka adalah pejuang di garda terdepan—seorang nasionalis yang menyelamatkan Negara Republik Indonesia (NKRI)—dari penjajahan yang sesungguhnya. Maka penulis rasa, kaum sarungan adalah satu-satunya elemen dari barisan masyarakat yang mempunyai semangat cinta tanah air (hubbul wathan minal iman) itu sendiri, dan keinginan merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri. Meski dalam kurun sejarahnya, semenjak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 sampai saat ini, kaum sarungan tidak serak dalam lembar-lembar sejarah kemerdekaan. Memang, mereka lebih bahagia memilih sebagai pejuang Sabilillah yang memang benar-benar mewakili sebagai barisan tentara Allah atau yang dikenal dengan Laskar Hizbullah. Boleh jadi, kenapa kaum sarungan jarang (untuk tidak mengatakan musnah) ditampilkan dalam sejarah kemerdekaan, mungkin seringkali kaum sarungan berselisih paham dengan pemerintah Soekarno yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan Sekutu dan Belanda yang memukul mundur negara pancasila itu.
Kendati demikian, kaum sarungan tetap menjadi bagian dari kaum yang berani mati demi membela bangsa, lalu sejarah itu dicatat sebagai bentuk pengusiran kaum sekutu yang bercokol di Surabaya dengan ditandainya 10 November 1945., yang dikenal dengan “Resolusi Jihad.” Jangan bayangkan bagaimanya para pasukan Hisbullah, Sabilillah, maupun laskar-laskar lainnya bertempur melawan penjajah pada waktu itu, yang dapat penulis banyangkan, sekaligus pikirkan; kemerdekaan Indonesia adalah sejarah berdarah, sejarah perang dan sejarah perjuangan. Lantas, sekarang masyarakat Indonesia mau ongkang-ongkang menikmati dengan bebas kemerdekaan yang direbut dengan susah payah?
Tentu tidak. Di sini, kaum sarungan memimpikan kamerdekaan yang dimaksud, setelah tujuh puluh dua tahun menghirup kesegaran udara tanpa mendengar desing peluru dan meriam Belanda menggaung. Merdeka bagi mereka adalah mimpi masa depan Indonesia yang digenggam oleh sang pencetus “revolusi mental” tidak lain adalah Joko Widodo, yang dapat membawa kemerdekaan Indonesia menuju puncak impian. Impian berupa keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, ketentraman, kerukunan antar agama, dan kebebasan berkarya.
Pak Jokowi, tentu mengenal bahwa kaum sarungan adalah masyarakat kecil yang dimaksud tadi, ia punya mimpi sekedarnya saja, tidak melampau batas, tidak berlebihan, karena ia bukan politisi yang arogan yang tidak mau hidup nyaman sendiri. Sekarang di bulan kemerdekaan Indonesia, kaum sarungan ingin mengucapkan selamat dirgahayu yang ke-72 tahun, semoga bapak presiden paham dengan apa memerdekakan masyarakat Indonesia khususnya kaum sarungan yang termarginalkan.
*Seorang santri yang senang mengembala kambing, ia hidup dengan keluarga kaum sarungan yang termarginalkan, tepatnya di desa Grujugan Gapura Sumenep.