Dikotomi Antara Cinta dan Nafsu
3015 View
Oleh: Aldi Hidayat
Bagi dunia remaja gempuran nafsu dan emosi yang kurang terkendali secara optimal sering membuat gundah gulana, bahkan menggoncang, hingga dapat mendominasi konstelasi jiwa remaja yang berefek pada kondisi psikisnya.
Goncangan tersebut termanifestasikan pada beragam nuansa. Adakalanya, suka, benci, simpati, marah, atau meminjam kata Iis Dahlia, apalah-apalah. Di abad ke 20 ini, sudah banyak pemuda yang hanyut oleh rasa ketertarikan kepada lawan jenis (perempuan, Red), bahkan tak jarang menafsirkan rasa yang bercokol di jiwanya adalah cinta, padahal sebetulnya nafsu belaka, rayuan gombal para makhluk halus bernama setan. Wah. Jijik. Wkwk...
Aktualisasi rasa tersebut senantiasa berorientasi untuk sang pujaan jiwa melalui aneka tindakan nyata. Sedangkan aktivitas transformasi terhadap rasa itu sering menyimpang akan koridor-koridor syariah agama. Semisal pacaran.
Dari sudut pengertian, pacaran merupakan ikatan asmara (bukan asrama) antara lelaki dan perempuan berupa aktualisasi dengan tindakan-tindakan konfrontatif terhadap kodifikasi agama Islam. Pacaran merupakan imbas dari penyerapan budaya Barat secara kurang selektif. Fakta ini dibalut dengan istilah westernisasi dan modernisasi.
Lebih lanjut, kita dapat membedah konfrontasi pacaran terhadap kondisi umat Islam melalui dua ruang. Pertama, ruang fisis atau ruang jasmani dan rohani. Pada ruang ini akan dispesifikkan pada teks-teks hukum Islam. Al-Qur’an menyatakan secara tegas keharaman mendekati dan melakukan zina, la taqrabu zina, artinya mendekati bukan melakukan, apalagi melakukan. Itu kan malah ruang fisik.
Secara Ushul Fiqh, kandungan ayat tersebut mengandung Fahwal Khithab (memperingati yang lebih kecil kepada yang yang lebih besar atau sebaliknya). Dalam artian, status mendekati zina jelas haram apalagi melakukannya. Sedangkan pacaran merupakan jalan yang akan mengantarkan para pemuda menuju perzinahan. Serem kan?
Selain itu, Imam Taqiyuddin dalam karyanya Kifayatul Akhyar, memaparkan bahwa lelaki baligh haram hukumnya memandang perempuan yang bukan mahramnya, jika khawatir pandangannya mengundang godaan syahwat, demikian sebaliknya. Bahkan sebagian ulama’ ada yang mengharamkan secara mutlak pandangan lelaki ataupun perempuan kepada lawan jenis baik dalam keadaan tergoda atau tidak.
Pacaran secara terang-terangan melampaui penjabaran di atas. Jadi, adalah keniscayaan bahwa pacaran takkan dilegitimasi oleh Islam kapanpun dan dimanapun. Kalau demikian, sama sekali tidak tepat istilah “pacaran islami.” Nanti kan jadi muncul “pelukan islami”, “ciuman islami”, kalau sudah haram nggak usah pakek ismlami-islami. Titik.
Kedua, adalah ruang metafisis. Sebagaimana disinggung pada paragraf sebelumnya, bahwa pacaran adalah ikatan asmara disertai pengejawantahan rasa pada jalan yang tidak dibenarkan oleh syariah Islam. Rasa tersebut sering terselubung oleh dilematisasi logika dalam memahaminya. Rasa yang melatarbelakangi romantika dunia pacaran masih menyisakan kebingungan antara dua pilihan, yaitu antara cinta dan nafsu. Jika rasa tersebut adalah cinta, maka adalah keharusan pelampiasannya tidak mengarah pada pacaran. Sebab yang demikian akan melumuri cinta dengan kotoran dosa, sehingga kesan kontroversi terhadap definisi syukur menjadi tampak dalam insiden ini.
Mengacu pada perspektif Syekh Nawawi al-Banteni dalam kitabnya Nurul Dzalam, syukur dari sudut definitif, adalah aplikasi nikmat Tuhan pada jalan kebenaran (jalan yang diridhai Allah). Sedang pacaran merupakan aktivitas yang mencoreng kebenaran. Dari sini, fenomena pacaran sangat mengandung kontroversi dengan aturan-aturan agama Islam.
Sebaliknya, apabila rasa itu adalah nafsu, maka janganlah dilanjutkan apalagi diluapkan pada kegiatan pacaran. Realisasi nafsu takkan menemukan titik kepuasan. Para “hamba nafsu” hanya akan mengitari hal-hal beridentitas duniawi lantas mereka bakal terjebak oleh pusaran kenelangsaan. Sebagaimana wejangan Imam AL-Kharaqani “segala sesuatu ada batasnya, kecuali tiga, kekuasaan Allah, derajat Rasulullah, dan kemauan nafsu manusia”.
Meretas cinta sejati
Rasa tertarik kepada lawan jenis tidak menghadang kemungkinan hadirnya dilema antara cinta dan nafsu. Karenanya, letak dikotomis antara cinta dan nafsu begitu signifikan penulis cantumkan dalam wacana ini demi memberi solusi dan guna menambah kapasitas untuk sajian pemaparan lebih utuh.
Ulasan dikotomisasi akan dimulai pada rasa yang bermuasal dari struktur jiwa terdalam, yakni hati. Cinta sebenarnya tumbuh di hati. Kemurniannya dari alasan dan penilaian merupakan suatu keniscayaan. Namun, kadangkala cinta yang terpatri pada pujaan hati masih terjamahi alasan dan penilaian. Cinta kategori ini ternyata masih terkena sentuhan nafsu atau bisa saja hawa nafsu.
Oleh karena itu, berangkat dari statemen di atas, kita bisa mengklasifikasi cinta pada dua macam. Pertama, cinta sejati, yaitu cinta yang murni dari alasan dan penilaian. Ia tumbuh dan bersemi dalam hati dengan sendirinya. Pada kategori ini, alasan dan penilaian terbentuk usai terbitnya cinta. Sehingga cinta jenis ini menduduki tatanan tertinggi dan paling kokoh dalam meladeni kompleksitas terpaan dari luar. Cinta sejati tak peduli akan status pujaan hati, tak peduli akan kelemahan dan kekurangan sang tambatan hati. Pujaan hati laksana bidadari anggun, jelita, menawan, cantik nan memukau dalam ruang penilaian pecinta sejati.
Max Sceller, ilmuwan Barat menyatakan ungkapan seirama dengan paragraf diatas bahwa cinta sejati mendahului alasan dan penilaian. Bahkan Era Ari Astanto, novelis Indonesia turut menjustifikasi identitas cinta sejati yang seperti ini. Hanya saja dia mengemasnya dengan redaksi berbeda yakni cinta pertama. Menurutnya, cinta pertama alias cinta sejati jernih dari noda-noda nafsu birahi dan alasan serta penilaian.
Kemauan nafsu tak terbelenggu oleh kriteria tertentu. Ia akan terus mengintai hal-hal yang lebih berpotensi menghidangkan kenikmatan dan kesenangan. Jadi, apabila cinta sudah kerasukan elemen nafsu, maka elegansi pujaan hati takkan mencapai stadium akhir dari kriteria si pecinta. Sebaliknya, yang demikian memungkinkan si pecinta mencari objek asmara yang lebih memikat ketimbang tambatan hati pilihannya.
Pemaparan selanjutnya ialah mengenai nafsu. Menurut bapak Mastura, S. Pd. I, salah satu guru di Madrasah Diniyah Lubangsa, secara terminologi, nafsu adalah kemauan alamiah manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karakteristik nafsu tidak senantiasa membidik keburukan. Nafsu yang tertuju pada keburukan disebut hawa nafsu.
Jika rasa tersebut terbit tanpa alasan dan penilaian, maka dapat dipastikan ia merupakan cinta sejati. Namun sama sekali tidak patut cinta sejati ternodai oleh aktivitas pacaran yang merupakan wadah kemaksiatan bagi para pecandu kehinaan. Pacaran bukan solusi tepat bagi realisasi cinta sejati. Tetapi yang mesti dilakukan ialah memupuk cinta dengan siraman rohani disertai do’a kepada sang Ilahi supaya sang pujaan hati kelak berkenan menerimanya dan kedua orang tua dari dua belah pihak (pecinta dan pujaan hatinya) merestui keduanya memadu cinta kasih dan merakit kenangan sukacita dalam bahtera keluarga hingga penghujung usia tiba.
Di lain hal, kalau perasaan tersebut muncul karena kehadiran fenomena yang memenuhi kriteria atau sebab alasan tertentu, maka dalam versi ini, rasa seseorang kurang layak diklaim cinta akan tetapi hanyalah buaian nafsu belaka. Contohnya, tertarik pada lawan jenis karena kepandaiannya. Contoh lain, merancang kriteria untuk calon pasangan. Usai mendapat objek yang senada dengan kriteria, ia lantas mendambakannya. Dua contoh ini merupakan segelintir contoh yang universal dari fakta yang diproduksi nafsu.
Lebih ironis, jika rasa itu berangkat dari kecantikan, proporsionalitas badan atau pemicu lain yang sejalan, dengan catatan condong pada keburukan, maka kondisi demikian termasuk kategori hawa nafsu. Titik lemah dari asmara sebab nafsu atau bahkan hawa nafsu adalah si pecinta akan mudah mendapatkan godaan dari luar. Malah besar kemungkinan, para pecinta spesies ini bakal terseret arus gelombang godaan yang lebih memuaskan.
Maka, konteks yang sudah dipaparkan di atas, yaitu cinta sejati, cinta yang terjamah nafsu, suka karena nafsu dan suka sebab hawa nafsu, pembuktiannya bukan malah mengarah pada kelamnya pacaran, melainkan mesti terus dibenahi dengan implementasi tuntunan Islam sehingga gelora perasaan terus terpupuki oleh sinar-sinar Ilahi di tengah gemulai rayuan yang selalu mengancam. Disamping itu, nyanyian do’a hendaknya giat mengalun indah dari sanubari dan lisan sang pecinta agar kelak mampu menggandeng sang dambaan hati menuju jenjang sakral, pelaminan antara laki-laki dan perempuan.
Insya Allah, pelaksanaan tuntunan Islam di tengah hantaman badai perasaan akan mengantarkan pecinta dan pujaan hatinya ke mahligai kebenaran dan kebahagiaan. Wallahu A’lam.