Memperkokoh Formal Sebagai Organisasi Santri Mahasiswa Lubangsa
4455 View
Koran Lubangsa_Pengurus Pendidikan, Pengajaran dan Pengembangan Keilmuan kokohkan pengurus unit Formal. Dikemas dengan Pelantikan dan Seminar Kemahasiswaan dengan tema Mahasiswa Hebat, Pesantren Bermartabat, yang bertempat di aula Lubangsa, selasa (25/2) malam.
Bapak Zawawi Mayang menuturkan bahwa Santri-Mahasiswa sebagai agen of change tidak sebatas adegum belaka yang disandang oleh kalian yaitu santri mahasiswa. Sepintas, predikat itu menjadikan kita berbangga diri, berkeilmuan tinggi, namun predikat tinggi tidak diimbangi dengan belajar maka akan sia-sia. “jadi benar motto yang ditulis oleh Bapak Abdullah Mamber, jadilah santri mahasiswa bukan mahasiswa santri. Dulu, semasa saya menjadi anggota P2PK hampir setiap malam menghukum santri khususnya yang mahasiswa santri, karena mereka melampaui batas,” tutur mantan ketua pengurus Lubangsa tahun 2012-2013 itu.
Dalam penyampaiannya, penyaji asal Batang-batang itu mempertegas bahwa mulai sejak orde ’45 santri menjadi reformis dan ternyata santri meskipun terkungkung dalam dunia pesantren senantiasa argumen-argumennya memberikan sumbangsi yang segar sampai saat ini. Sebagai santri jangan berkecil hati untuk mendedikasikan diri sebagai agen of change sejati.
Bapak Ubaidullah Muayyad sebagai penyaji kedua memperkokoh agumen di atas—sejarah telah mencatat bahwa santri memiliki sumbangsi tenaga dan pemikiran dalam mempejuangkan kemerdekaan Indonesia ini. Sehingga perjuangan itu ditandai dengan penetapan Hari Santri Nasional oleh presiden kita Bapak Jokowi tepat pada 22 Oktober 2015 kemarin. Selain itu, disamakan dengan resolusi jihad yang pernah dipelopori oleh seorang santri. “pelakunya siapa, iya santri, KH. Hasyim Asy’ari,” jelasnya sambil senda gurau memecahkan keheningan.
Lebih lanjut, siapa yang tidak kenal Wahab Hasbullah, beliau santri, beliau juga ngaji, ikut bahsul masya’il-ngaji, ikut bahsul masya’il namun beliau sebagai perumus Pancasila Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Jadi sebagai santri mahasiswa tentu kapasitas keilmuan harus ditingkatkan lagi, karena kalian sudah menyandang dua tanggungjawab. Tanggungjawab sebagai ‘santri’ dan lebih-lebih ‘mahasiswa’.
Sosok yang gemar diskusi, membaca, sekaligus lulusan pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta itu, menegaskan, santri harus sami’na wa atho’na kepada guru. Seperti yang dicontohkan, Imam Syafi’ie dalam keilmuan berbeda dengan Imam Hanafi, namun beliau tetap takdzim kepada guru. Jadi santri mahasiswa tidak hanya sami’na wa atho’na, melainkan juga, sami’na wa asoina.
Abdullah Mamber, Dullah sapaan akrabnya, memberikan solusi bagi audien bahwa kekuatan mahasiswa ada dua, pertama, menulis dan., kedua, membaca. “Di suatu kesempatan saat saya ikut acara bedah buku di Lesbumi NU, penulis menyampaikan bahwa kelemahan orang Madura itu tidak bisa menulis karya ilmiyah,” tambah pegiat Lesbumi dan Ansor NU itu.
Acara yang dimoderatori oleh M. Fathor Rozi resmi ditutup tepat pada 23:30 WIB ditandai dengan pemberian cenderamata kepada ketiga penyaji.
Penulis: Abd. Aziz
Editor: Abd. Warits