Dari Ingin Beli HP sampai Jadi Hafiz al-Qur’an
4950 View
--Obrolan Santai Bersama Santri Baru (Bagian I)--
Bermula dari ketemu di masjid, Aldis dan Faqih tidak akan pernah menyangka bahwa mereka akan dipertemukan serta menjadi best freind di segala situasi dan kondisi. Obrolan seputar pengalaman pribdainya itu, sambil ditemani senandung lagu, kopi dan susu, diceritakan pada kami saat pagi pukul 09.00 WIB di kantin sebelah barat depan Aula Lubangsa(12/7/22).
Much. Aldis Riziq Alfah Rezi, 13 tahun, sudah tahu betul dirinya akan mondok di Madura. Pengetahuan itu mula-mula muncul atas inisiasi dan dorongan dari keluarga, terutama pamannya, saat ia masih duduk di kelas VI SD. Aldis yang beralamat di Jln, MT HARYONO. 99 Demak, Wirolegi, Sumbersari, Jember itu, memang, sebagian kecil pemudanya adalah alumni pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa.
“Saya mondok di sini karena dorongan orang tua dan om saya. Kebetulan om saya dulu alumni di sini, juga agar bisa merasakan mondok sepeti embak. Sebab embak mondok di Salafiyah Safi’iyah di Situbondo,” ucapnya.
Semangat nyantri yang Aldis bawa, walau jarak tempuh antara rumah dan Madura cukup jauh, tidak membuat ia merasa sedih. Tak seperti santri kebanyakan, yang saat pertama kali menyentuh pondok pesantren langsung menangis karena merasa asing alias tak perna. Sebaliknya, ia justru senang mendapatkan iklim yang baru, meski iming-iming ‘beli hp’ dari pamannya jadi modal agar ia lebih kerasan.
“Kata om, “kalau tidak kerasan, maka tidak akan beli hp,” sambungnya.
Aldis yang selalu pake songkok nasional motif NU itu, baru tinggal 1 minggu lebih di pesantren. Ia kerap mendapatkan hal-hal yang tidak seperti di rumah, sebut saja mandi bareng, ngantri, cuci baju, baca buku, terutama masalah bangun Subuh.
“Kalau di rumah susah untuk bangun Subuh. Di sini enggak. Cuma denger suara pentungan, sudah bangun,” ungkapnya.
“Soal membaca buku, awalnya sih ikut anak-anak. Bukunya itu novel, judulnya Air Mata Cinta. Di sana diceritakan tentang pasangan yang lama berpisah tapi belum menemukan jodoh; cari lagi, pisah lagi, ” terangnya.
Ternyata siswa baru MTS 1 Annuqayah ini memiliki hobi bermain sepak bola. Hobinya sudah tumbuh sejak di rumah. Menurut ceritanya, ia pernah mengantarkan timnya jadi runner-up dalam kompetisi liga sepak bola tingkat pelajar. Hal ini relevan dengan cita-citanya yang ingin sekali menjadi pemain sepak bola profesional. Ketika diberi tawaran untuk ikut klub futsal tahun depan, Ardis hanya menjawab, “tidak mau, karena lapangan futsal licin,” ujarnya.
Berbeda cerita dengan Muhammad Nur Faqih. Santri yang sebaya dengan Aldis itu, niat awal memang pengen mondok. Atas saran dari kakeknya, Mbah kung—sebutan akrab kakek Faqih sekaligus alumni—menempatkan ia ke PPA. daerah Lubangsa.
Faqih yang sudah dulu tinggal lama daripada Aldis, mengungkapkan “Pengalaman pertama sampai di sini gak kerasan. Pengen lari,” ucapnya.
Menurutnya, perasaan tidak kerasan itu muncul karena dirinya tak mempunyai teman dan sahabatnya di rumah. Biasanya, santri yang mau mondok, ada temannya yang masih sama-sama satu kampung, setidaknya sebagai teman bicara. Nyatanya Faqih tak menemukan itu di Lubangsa. Dengan latar belakang kawasan Ajung Kulon, Jember, yang relatif jauh, ia tetap mencoba untuk kerasan.
“Teman pertama saya di sini Nobel. Santri Jawa yang ada di blok B/10, ” singkatnya.
Faqih memang sempat sedih di saat ditinggalkan keluarga. Mula-mula ia tak kuasa menahan air matanya, tetapi karena rasa malu yang tinggi, perasaan sedih itu pergi. Ia berkeyakinan, perasaan sedih harus tidak ada sebab hal itu jadi ranjau di masa depan.
Dia yang pemalu itu awalnya sulit berbicara tentang pengalaman buruk dan baiknya selama di pesantren. Data yang kami peroleh, ia pernah dijahili oleh temannya.
Meski begitu, Faqih memiliki bakat menggambar yang baik. Ketika ia duduk di sekolah dasar (SD), ia pernah menjuarai lomba menggambar. Ditawarkan untuk ikut Klub Lukis Lubangsa, ia tidak mau, “saya pengen menjadi hafiz di sini; menghafal al-Qur’an,” ujarnya.
Di tengah-tengah pembicaraan dengan Faqih, Aldis tak jera untuk menganggu. Meski begitu, Faqih seolah-olah tak ingin merespons kelakuan Aldis. Dua santri ini, sejak bertemu di masjid, tampaknya sudah menjadi saudara meski latar belakangnya berbeda-beda. (Red)
Penulis : Ikrom F.