Pesantren dalam Menangkal Penyebaran Berita Bohong
3186 View
(Upaya Menanggulangi Penyebaran Hoaks Melalui Kehidupan Pesantren)
Esai M. Syamilul Hikam*
Beberapa waktu yang lalu, tepatmya pada penghujung tahun 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis pernyataan yang menggemparkan : teridentifikasinya virus mematikan di daerah Wuhan, Tiongkok bernama 2019-nCoV. Kasus ini, sejatinya bukan yang pertama kali terjadi, mengingat pada pertengahan tahun 1960, juga terjadi kasus semacam ini. Virus yang dalam bahasa Indonesia di sebut virus korona itu merupakan kelompok virus terbesar dalam ordo Nidovirales yang meliputi family Coronaviridae, Arteriveridae dan Roniviridae. Coronaviridae mumiliki subfamily yang salah satunya yaitu Coronavirinae. Coronavirinae juga dibagi menjadi 4 kelompok : gamma, delta, alfa dan beta (Fedik A. Rantam).
Dalam sehari, virus ini mampu bereplikasi (memperbanyak diri) dua kali lipat bahkan lebih dari jumlah semula. Tidak sedikit jumlah negara yang positif terjangkiti. Diantaranya, Amerika Serikat, Vietnam, Thailand, Filipina, Jepang dan tentu saja Tiongkok yang menjadi pusat mewabahnya virus korona. Hingga tulisan ini ditulis (7 Fabruari 2020), sudah ada sekitar 28 ribu kasus dengan angka kematian 566 jiwa akibat virus korona. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan belum ditemukann obat penangkalnya. Tentu, ini bukan hanya sekadar berita menggemparkan, melainkan kabar duka bagi semua Manusia di dunia.
Virus itu Bernama Hoaks
Ditengah kegaduhan perbincangan antarnegara seputar virus korona, banyak orang yang lupa terhadap ‘makhluk’ yang sebenarnya tidak kalah membahayakannya dari 2019-nCoV. Makhluk yang telah menyebar cukup lama, bahkan ke negara-negara yang belum terserang virus korona:Indonesia. Ya, apalagi kalau bukan ‘virus’ Hoaks. Di Indonesia, nyaris setiap hari berita tentang penyebarannya terdengar. ‘Virus’ ini bisa menular ke tubuh manusia. Dan anehnya, hanya manusialah satu satunya incaran virus ini. Beberapa peralatan medis amat tidak mempan menangkal penyebaran hoaks (berita bohong). Bahkan, dengan memakai masker atau pakaian setebal apapun, ia akan tetap menular. Sebab, biasanya, penularannya terjadi melalui indra penglihatan dan pendengaran, kemudian merasuk ke bagian inti:hati. Dan, media sosial merupakan habitat asli perkembang biakan virus jenis ini.
Sebagaimana sebuah studi, para psikolog mengklaim, bahwa seseorang yang terpapar berita bohong (Hoaks) akan mengalami beberapa gejala mental, seperti post-traumatic stress syndrome, mengalami kecemasan sampai melakukan perbuatan amoral. Tidak cukup sampai itu, para psikolog juga meyakini bahwa orang yang terserang hoaks perlu segera diterapi guna mengembalikan kondisi kesehatan mentalnya seperti sediakala (kompas.com).
Namun, yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa hoaks belum sampai pada taraf menghilangkan nyawa seseorang. Akan tetapi, apabila dicermati lebih mendalam, cepatnya ‘makhluk’ ini berkembang dan menyebar nyaris sama dengan virus korona, yang sama-sama belum juga ditemukan obat penangkalnya.
Pesantren sebagai obat
Salah satu wujud dari era globalisasi ialah dengan adanya media sosial di bidang teknologi informasi. Arus globalisasi membawa dampak yang sangat luar biasa ke semua lini kehidupan. Salah satunya, dengan mudahnya mengakses informasi dengan sangat cepat. Bahkan, dari belahan bumi sekalipun (Abdulloh Hamid).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia, tidak luput dari serbuan gelombang globalisasi. Lambat laun, pesantren juga mengambil peran dalam mengikuti perkembangan wacana yang sedang berkembang diluar. Dalam upaya mewujudkan kondisi yang demikian, maka dibutuhkan alat atau media elektronik- sebut saja media sosial- dalam upaya mendapat dan mengikuti perkembangan kabar teraktual.
Namun demikian, mudahnya mendapat berita dari media sosial tidak dibarengi dengan manfaat yang dapat diberikan di dalamnya. Banyak sekali pihak yang kurang bertaggung jawab memberikan kabar/berita yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya (hoaks). Tentu saja, hal ini membuat pesantren dalam ancaman yang cukup besar. Sebab, berita bohong, menurut beberapa tokoh, apabila terus menerus disebar, pada akhirnya akan menimbulkan suatu kebenaran. Maka dari itu, perlu adanya strategi khusus yang harus digalakkan pesantren dalam menanggulangi mewabahnya hoaks.
Nah, dalam mengantisipasi penyebaran hoaks, sejatinya, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan pesantren dalam menangkal hoax utamanya terhadap kalangan pelajar ataupun santri. Pertama, bersikap skeptis. Dalam konteks ini, pesantren atau elemen yang berada dan hidup didalamnya (santri dan kiai) perlu bersikap acuh terhadap berita yang terdengar aneh dan belum jelas kebenarannya. Cara ini dilakukan agar lebih waspada dan tidak mudah mempercayai setiap ada berita yang tersebar.
Kedua, menjadikan pengurus sebagai orang tua kedua. Dalam konteks ini, pengurus pesantren berperan sebagai pengayom, pendidik, hingga pemberi nasehat yang baik bagi para santri. Sebab, -jika dianalogikan seorang anak- mereka (santri) akan cenderung menanyakan hal-hal yang dianggap membingungkan. Sehingga, banyaknya informasi yang berkembang menjadikan pengurus harus benar-benar peka/jeli dalam menangkap informasi sebelum memberikan kepada santri.
Ketiga, menanyakan kepada ahlinya. Dalam hal ini, Pengasuh ataupun Kiai merupakan sosok yang amat patut diteladani, alim serta berakhlaq mulia. Maka dari itu, sangat tepat kiranya menanyakan terlebih dahulu kepada Kiai, terkait berita yang kita temukan, guna mengetahui kebenaran berita tersebut. Dengan kata lain, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan islam berbasis kemasyarakatan, melainkan juga menjadi tempat dalam menangkal maraknya serbuan berita bohong-khususnya di Indonesia- sebagai salah satu upaya mensterilkan otak, hati serta mental mereka dari dampak negative berita palsu. Wallahu A’lam.
*Juara I Lomba Esai dengan tema "Hoaks dan Pesantren" yang diselenggarakan oleh Lubangsa Annuqayah Festival (LA Fest) 2020.