Di Annuqayah, Tiga Saudara Sekampung Ini Bertemu
5499 View
Adalah benar bahwa menuntut ilmu tidak memandang usia dan tempat. Walau sampai ke negeri Cina, sebagaimana kata hadis, asalkan demi ilmu, lautan pun harus dilampaui. Tiga santri asal Sumatera datang jauh-jauh ke Annuqayah untuk menwujudkan harapan mereka. Mereka adalah Usamah, Angkasa dan Rapid. Ketiganya tidak menyangka kalau ada saudara seperjuangan yang berasal dari kampung halaman yang sama.
Meski M. Darius Sepriadi atau yang biasa dipanggil Angkasa dan Usamah pernah nyantri di PP. Al-Amien, Prenduan sebelumnya, pertemuan mereka kembali menyisakan cerita tersendiri. Usamah melanjutkan studi menengah atasnya di Annuqayah lalu Angkasa menyusul setahun setelahnya. Mereka bertemu dan semakin rekat ketika mengikuti Orientasi dan Pembinaan Santri Baru 2023 (Opsaba’23) yang dihelat beberapa hari lalu. Tak dinyana, mereka juga bersua dengan Rapid Hariri Obama Ashar yang juga berasal dari tanah yang dijuluki pulau emas ini.
“Awalnya tidak tahu kalau ada santri yang juga berasal dari Sumatera.” ujar Angkasa. Rapid pun demikian. Dia tidak tahu kalau dua kakak kelasnya itu juga berasal dari sana. Mereka bertemu saat diwawancara dalam kegiatan Orientasi dan Pembinaan Santri Baru (Opsaba’23) pada 15 September lalu. Mereka pun saling kenal dan bertukar cerita.
Angkasa tahu Annuqayah dari kakak iparnya. Sebelum nyantri di PP. Al-Amien, dia pernah mondok di salah satu pesantren di Palembang. Pertukaran budaya dan ilmu yang dialaminya selama berada di pesantren mengajarkannya banyak hal, salah satunya adalah persaudaraan. Dia bertemu banyak orang yang sama seperti dirinya. Sama-sama belajar, sama-sama mencari jati diri.
Pada titik tersebut, Angkasa merasa memiliki saudara baru walau terkadang rindu orang tua menyergap dirinya. Pengorbanan orang tuanya dan biayaya yang mereka keluarkan tidaklah sedikit. Namun, liburan maulid Nabi Muhamma SAW. 1445 H. tahun ini, dia tidak bakal pulang ke rumah. Dia berdoa semoga orang tuanya tetap sehat wal afiat.
“Saya akan pulang ke rumah teman di Pandian, Sumenep.” ucapnya, mengingat biaya pulang ke kampung halaman membutuhkan ongkos yang tidak sedikit untuk berlibur satu minggu.
Di pesantren Annuqayah Lubangsa, Angkasa belajar banyak hal. Yang membuatnya kagum adalah kesederhanaan santri dan Kiainya. Melihat kebiasaan santri sehari-hari, hatinya terketuk betapa sederhananya mereka. Angkaa berteman dengan banyak orang yang semuanya memakai pakaian ala kadarnya dan makan secukupnya. Terkadang uang kiriman mereka tidak cukup. Jika demikian, teman-teman yang lain ada untuk saling mengulurkan tangan. Kekaguman itu semakin menguat saat dia tahu bahwa Kiai adalah teladan dibalik it semua.
“Ya, mereka sederhana.” tambah pemuda yang bercita-cita ingin jadi BJKA dan Timnas tersebut.
Sama dengan Angkasa, Rapid juga mengenal Annuqayah dari saudaranya yang mondok di Al-Amien Prenduan. Saudaranya, katanya, menyarankan Rapid agar mondok ke Annuqayah agar pengalaman selama mondok di pesantren beragam dan saling melengkapi satu sama lain ketika mereka tumbuh dewasa nanti.
“Kakak saya bilang biar tidak sama pondoknya agar saling melengkapi ketika lulus.” ungkapnya saat itu (13/09).
Pengalaman itu dia dapatkan melalui interaksi antar santri dengan latar belakang berbeda dan kegiatan keilmuan yang dia tekuni selama berada di pesantren. Semakin hari, dia jadi lebih semangat belajar dan mengaku bahwa dirinya semakin disiplin. Saat ini, Rapid masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah dan menjadi salah satu santri yang belajar mandiri di usianya yang masih belia.
Berbeda dengan Angkasa yang masih belajar bahasa Madura, Rapid lebih fasih sebab dia agak lama tinggal di Kalimantan. Sekarang dia punya cita-cita untuk mewujudkan impiannya. Ketika ditanya, dia tersenyum dan enggan memberikan jawaban. “Yang penting, saya ingin membahagiakan orang tua.” tutupnya.
Penulis | : Moh. Tsabit Husain |
Editor | : Ikrom Firdaus |