BAHRUDDIN, SANTRI ASAL CIREBON; Inspirasi Mondok ke Annuqayah dari Sang Pakcik
4932 View
Memilih mondok ke negeri orang seperti orang merantau ke seberang nun jauh. Tak banyak orang berani memilih menuntut ilmu ke negeri yang jauh dari kampung halaman sendiri. Seperti Bahruddin contohnya, santri asal Cipari, Kecamatan Lewu Minding, Provinsi Majalengka, Ceribon, berani mengambil keputusan mondok ke Madura tepatnya di Annyaqayah. Bagi Bahruddin mondok atau merantau mencari ilmu ke negeri orang adalah sebuah pilihan yang tak banyak dimiliki oleh para santri di Annuqayah.
Kemarin (15/10) ada suasana yang berbeda di kantor Redaksi Muara, tak seperti biasanya. Ternyata, ada Bahruddin yang menyempatkan bercerita dengan pengurus Kepustakan, Penerbitan, dan Pers (KP2), menurut santri kelahiran 29 April 1995 memilih mondok ke Annuqayah karena Sang Paman, “ada paman saya di Kemisan,” katanya. Sang Paman yang bernama Pak Hasan, mengajar di MTs 2 Annuqayah itulah yang jadi inspirasi untuk mondok ke Madura.
Sebelum menetapkan pilihan untuk mondok ke Annuqayah, Bahruddin, sudah bersekolah SD dan SMP di kampung halamannya, di Majalengka, kemudian juga pernah mondok di Jawa Timur, tepatnya di Sukorejo Situbondo, pesantren Salafiyah Syafi’iyyah. “Saya sudah tau orang Madura, bahkan komunikasi pakek bahasa Madura ketika masih sekolah SMA di Sokurejo,” katanya kepada wartawan Koran Lubangsa.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Instika itu mulai merasakan suasana pesantren yang damai dan tentram semenjak menginjak bumi Annuqayah. Bahruddin mengaku di pesantren Annuqayah menemukan suasana yang berbeda dengan beberapa pesantren yang ada di Majalengka. “Urang seneng mondok di diye’ (aku seneng mondok di sini, Red)” katanya dengan logat Sunda. Lebih lanjut Bahruddin menuturkan bahwa, selain mencari ilmu, dirinya juga mencari pengalaman, “urang nengan pengalaman mondok (mencari pengalaman mondok, Red)” katanya lagi.
Tak terasa para wartawan Koran Lubangsa dan pengurus KP2 bercerita panjang lebar dengan Bahruddin kira-kira satu jam lebih, suasana larut dalam perbincangan yang tak terbatas oleh sekat-sekat sosial. Mereka saling berbagi pengalaman, berbagi pengetahuan, baik tradisi Sunda dan Madura. Dari situlah Bahruddin menemukan perspektif yang berbeda tentang orang Madura yang selama ini sering dinilai negatif karena keras-keras atau suka carok.
Bahruddin:
“Orang Madura Bagiur-Bagiur, Urang Seneng Pisan”
Dulu, katanya, semasih nyantri di Sukorejo ia telah banyak berkomunikasi dengan orang Madura. Menurutnya, ada celah perbedaan antara orang Madura oplosan dengan orang Madura asli, hal itu dirasakan saat Bahruddin mondok di Annuqayah. “Eh, ternyata. Orang Madura bagiur-bagiur ya, (Eh, ternyata. Orang Madura baik-baik ya, Red),” katanya saat diminta untuk berbahasa Sunda.
“Urang seneng pisan kenal sama orang Madura, (aku seneng banget kenal orang Madura, Red),” demikian akunya sembari disambut tawa menggelegar oleh wartawan Koran Lubangsa. Sampai saat ini, Bahruddin yang sudah satu tahun lebih mondok di Annuqayah semakin hari semakin paham dengan berbagai tradisi orang Madura, baik dari kerapan sapi, bahkan sampai yang paling lucu sekalipun katanya, “seperti sapi Sono’ itu sapi macam apa’an, kalau di rumah mah nggak ada kayak gitu,”katanya dengan nada bercanda.
Namun, ditanya keinginannya untuk tinggal di Madura setelah lulus kuliah, Bahruddin malah cengar-cengir dan mengaku mau pulang kampung, ke Majalengka, Cirebon. Biar begitu Bahruddin tak akan melupakan orang-orang Madura yang katanya, ramah-ramah dan lembut-lembut, bahkan sikapnya sangat sopan sekali.
Penulis : Jamalul Muttaqin
Editor :Misbahul Munir