Talk Show: Memoar Jurnalis PBB dan Penyelam Bawah Laut
5535 View
Lubangsa. Kegiatan Talk Show dengan tema “Kemanusiaan dan Memoar Jurnalis Perang” berjalan cukup lancar pada hari Ahad malam di Aula Lubangsa kemarin (18/12). Acara yang diformat serial dialog ini, menghadirkan Ugi Agustono dan Eric Franklin Scott sebagai narasumber. Tak hanya itu, peserta yang hadir berjumlah 50 orang.
Tujuan dari acara ini yakni mengisahkan catatan seorang penulis yang ditugaskan pada medan pertempuran. Bukan jurnalis saja, dalam acara itu terdapat kisah-kisah di bawah laut yang perlu dipelajari.
Ibu Ugi Agustono mengungkapkan bahwa penyambutan dengan bentuk dialog ini begitu luar biasa. Dirinya bisa berkesempatan untuk bercerita soal apa yang ia dapat selama ini, “saya termasuk orang yang miskin. Tapi saya punya mimpi. Saya terus berusaha untuk mewujudkan mimpi itu,” katanya.
Ibu Ugi yang berkarier sebagai jurnalis Internasional pada tahun 2003 ini, telah melalang buana ke berbagai negeri, baik di daratan eropa maupun timur tengah. Salah satu fenomena yang sangat berkesan ketika bertugas di wilayah Himalaya. Katanya sebelum perang, penduduk di sana biasa membuka pasar dulu sebelum jadi medan pertempuran, “ada satu jalur di perbatasan Himalaya. Penduduk di sana biasa sudah bertempur ketika siang hari. Tapi mereka paham akan waktu untuk bertempur kapan, membuka pasar. Biasanya setiap hari Juma’t,” lanjut beliau.
Selama bertugas sebagai Jurnalis, Ibu Ugi juga menulis novel. terdapat 8 novel yang sudah terbit dan 1 novel yang ingin diterbitkan pada tahun 2024, “judulnya Mercusuar Indonesia. buku berkisah perjalanan kami saat melihat fenomena indah dari sabang sampai merauke,” ungkapnya.
Hal sama diungkapkan oleh Bapak Eric Franklin Scott. Pria Amerika ini tertarik mengunjungi Indonesia karena banyak wisata laut. Katanya pada bulan ini, mereka bakal mengunjungi pantai di Bali, “ada banyak hal di bawah laut ketika saya lihat, baik ekosistem maupun lainnya,” ujarnya memakai bahasa Inggris.
Selain suka pada laut, Bapak Eric ahli dalam bidang kelautan. Sebab beliau berprofesi di Ocean Scientist. Kata Ibu Ugi, bapak Eric pernah menyelam sejauh kedalaman 50 meter, bahkan beliau pernah bertemu dengan ikan hiu berjenis wail shrak, “jika kalian mau menyelam, haruslah berani. Nantinya kalian jadi jurnalis di bawah laut,” kata Ibu Ugi.
Lebih jauh, bapak Eric menjelaskan mengapa air laut di wilayah Madura Timur, terutama Kalianget, arusnya tidak sama dengan di pulau Jawa. Hal ini dikarenakan oleh faktor angin dan bertemunya arus, “perbedaan gelombang tidak hanya soal angin, tapi juga faktor purnama. Di Indonesia air lautnya dari India dan Pasifik. Jadi ketiga ini sangat mempengaruhi gelombang air,” pungkasnya.
Penulis | : Moh. Aqil |
Editor | : Moh. Tsabit Husain |