KAMI, PUTRI LUBANGSA; Antara Ilmu, Ibu dan Isu
4968 View
Sebelum menyampaikan apa yang tersirat dan tersulut di hati, izinkan kami menyampaikan manisnya puja dan puji kepada-Nya yang Maha Suci, yang telah mencipta kami sebagai perempuan di Lubangsa Putri. Kami, istimewa (menurut kami), tak bermaksud sombong lebih-lebih tinggi hati, hanya bentuk rasa syukur kepada Ilahi, atas nafas, teman, tempat, serta keshalehan dan kedermawanan pengasuh kami. Ini, nikmat. Jadi kami sekadar bersyukur agar tidak kufur.
Mulai, dari sebuah upaya mencipta perempuan yang berakhlak dan beradab. Sopan dalam sikap, santun dalam ucap, dan istiqamah dalam shalat. Satu hal yang penting disampaikan, bahwa ini bukan hayal dan mimpi, tapi nyata dan pasti. Oleh karenanya, butuh usaha, upaya, dan do’a, yang terkemas dalam proses berani payah, berani susah dan berani lelah, dengan tetap mengutamakan pendekatan 'kemanusiaan'.
Mari sejenak menepi, dari keangkuhan diri, dan mulai membaca dengan tenang dan damai, tentang kami, perempuan Lubangsa Putri.
Agama
Sebagai perempuan, Lubangsa Putri mengajari kami tentang apa itu mahram, dan ia ketat dan tegas menjaganya. Demi mendidik calon “Ibu” yang takkan sembarang berdampingan, bergandengan, lebih-lebih berboncengan.
Lubangsa Putri mengajari kami tentang seni dan tari lisan, untuk melafalkan makharij al-huruf, menjaga dengung dan hukum tajwid yang lain. Tak tanggung-tanggung kami dididik, agar kelak mampu menjadi “Ibu” yang tak tanggung menjaga al-qur’an dari bacaan yang tak benar dan tak lancar.
Lubangsa Putri mengajari kami tentang menjaga waktu shalat melalui murattal, merapikan shaf yang renggang, dan hening saat iqamah mulai dikumandangkan. Diharapkan, kelak kami bisab menjadi “Ibu” yang mampu menjaga shalat dan ‘shaf’ keluarga agar tak renggang dan tak rentan.
Lubangsa Putri mengajari kami tentang kerapian, kebersihan dan keindahan. Tak hanya melalui slogan an-nadzafatu minal iman, tapi memaksa dengan lisan dan tindakan. Memaksa kami untuk bersih dan rapi setiap hari, demi mendidik calon “Ibu” yang mampu menjaga kerapian, kebersihan, dan keindahan rumah sehingga nyaman untuk ditempati.
Lubangsa Putri menegaskan kepada kami, apa itu halal, apa itu syubhat, dan apa itu haram. Agar kelak mampu menjadi “Ibu” yang bisa menjaga jism, akal dan qalb keluarga dari kotor bahkan najis.
Pendidikan
Sebagai seorang perempuan, Lubangsa Putri juga mengajari kami untuk selalu belajar. Dengan ‘paksaan’ jam belajar setiap hari, bandongan kitab setiap pagi, sekolah diniyah dan sekolah formal berikut menjaga busananya agar tetap rapi. Tak lain, untuk bekal menjadi “Ibu” yang terdidik dan berdedikasi. Tidak untuk siapa-siapa, hanya bekal untuk mendidik keluarga.
Lubangsa Putri mengajari kami untuk tidak monoton, dalam arti mampu memperluas wawasan, mempertajam gagasan, dan melatih keterampilan. Untuk itu, disediakanlah untuk kami Lembaga Semi Otonom (LSO) dengan berbagai aktivitasnya, perpustakaan dengan berbagai komunitasnya, dan creative house dengan berbagai pelatihannya. Agar kemudian mampu menjadi “Ibu” yang multi-intelligence dan multi-talent. Lagi-lagi bukan untuk apa-apa, tapi untuk keluarga.
Lubangsa Putri kemudian juga mengajari kami tentang apa itu organisasi. Tak jemu ia melatih bagaimana mengorganisir keuangan dan mengorganisir peran, bagaimana mengorganisir waktu dan bagaimana cara menjamu tamu, serta melatih kami bagaimana memasak menu rumahan, melalui Organisasi Daerah-asal (ORDA). Agar kelak, mampu menjadi "Ibu" dengan kemampuan manajerial yang mapan dan bisa diandalkan.
Sosial
Tak lupa, sebagai perempuan yang lahir di tengah masyarakat dan tentunya akan kembali bermasyarakat, Lubangsa Putri mengajari kami tentang kepekaan sosial dan kepedualian sosial. Melalui ta’ziyah dan do’a bersama pada setiap keluarga santri yang meninggal dunia, dan berkunjung pada shahibul mushibah atau dhu’afaiyyah melalui bakti sosial pada momentum hijriyah. (mohon maaf), tak sekadar untuk jalan-jalan atau semata-mata mancari hiburan, tapi sebagai bekal bagi calon “Ibu” agar tak mengajari keluarga tak acuh pada kerabat, sahabat dan masyarakat.
Isu
Namun sekali lagi, sebagaimana disampaikan di awal, bahwa ini usaha bukan rekayasa, bahwa ini proses bukan sulap dengan mantra 'abra-kadabra'. Jadi tak bisa kita gunakan pribahasa “sekali dayung, seribu pulau terlampaui”, lebih-lebih dengan jumlah santri yang tidak sedikit. Sebagai cerminan, bahwa Nabi kita, dengan usaha yang gigih dan proses yang terus-menerus dalam kurun waktu yang tak sebentar ‘hanya’ didapati sekian pengikut yang taat kala itu.
Maka, jika dikaji dengan hati-hati, dari semua peraturan yang ‘berusaha’ ditetapkan, takkan semua santri yang akan ‘langsung mentaati’. Dari semua ketertiban yang ‘berusaha’ diciptakan, takkan semua santri yang akan ‘langsung menuruti’. Dan ini hukum alam, sudah sunnahnya begini. Ada baik ada buruk, dan ada saja yang berbuat kekacauan tapi akan selalu ada yang melakukan perbaikan. Sekali lagi, ini sudah sunnah-Nya.
Jika demikian, yang benar bukanlah menghindari hukum alam, bukan naif terhadap kenyataan. Namun yang terpenting, saat mendapati kekacauan, usaha untuk malakukan perbaikan itulah yang dilakukan. Oleh karenya, diciptakanlah sanksi jelas dan tegas sebagai konsekuensi dari ketidakbiasaan dan ketidakpatuhan. Ini manusiawi, daripada sekadar mencaci, membuli, merasani, menghakimi, atau bahkan mengundang massa untuk mendukung asumsi pribadi. Jika demikian, bukan justru berusaha mencipta perbaikan tapi bagian dari penyulut kekacauan.
Terakhir, terlepas dari isu apapun, somoga Lubangsa Putri tetap terus berusaha membangun dengan pondasi kemanusiaan.
Semoga, Lubangsa Putri tetap terus menjadi lumbung kebaikan untuk mencipta santri yang berakhlak dan beradab.
Dan semoga, Lubangsa Putri akan mampu menjadi cermin besar dari falsafah progresif Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang sering didengungkan. Almuhafadzah ‘ala qadim as shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.
Sekian, dan Selamat Hari Ibu untuk 'ibu-ibu potensial', pun 'ibu-ibu aktual'.
Dari kami, ‘Putri’ Lubangsa.
Penulis: Faizatin al-Junaidi