Paox Iben Isi Diskusi bersama Santri Lubangsa
5787 View
Jum’at (15/4/2016) malam, Sang Penjelajah Dunia, Paox Iben, mengisi Diskusi Akbar dengan para santri Lubangsa. Diskusi tersebut diletakkan di Aula Lubangsa lantai II, yang dimulai pada pukul 20.45 WIB. Sejak pukul 19.50 WIB, banyak santri berbondong-bondong untuk mengikuti diskusi bersama tersebut, karena tidak ada aktivitas sekolah diniyah, selain santri baru yang harus mengikuti program CBAI (Club Baca Al-Quran dan Imla’).
Diskusi ini merupakan yang kedua kalinya dilaksanakan di Annuqayah. Sehari sebelumnya, diskusi semacam ini juga dilaksanakan di PP. Annuqayah daerah Sawajarin. Di Sawajarin, diskusi tersebut juga diikuti oleh seluruh santri Sawajarin. Selain itu, juga ada panitia FCB VIII Nasional Instika Guluk-Guluk, yang saat ini dilaksanakan di Aula Asy-Syarqawi hingga 20 April 2016 mendatang.
Diskusi yang dimoderatori oleh Sekretaris II Lubangsa, Akhmad Riadi, tersebut dibuka langsung oleh Pengasuh PP. Annuqayah daerah Lubangsa, K. Muhammad ‘Ali Fikri. Dalam sambutannya, beliau mengharapkan agar para santri bisa banyak belajar dari pengalaman yang dimiliki oleh Paox Iben tersebut. “Kita nantinya bisa belajar bagaimana kebesaran ayat-ayat Allah yang tertulis di hadapan kita, dan juga yang akan dipresentasikan oleh beliau (Paox Iben, red),” dawuhnya.
Setelah sambutan pengasuh, langsung dipasrahkan kepada Paox. Dalam diskusinya, pria yang dilahirkan di Semarang ini banyak menjelaskan seputar latar belakang penciptaan novel “Tambora”. Menurutnya, banyak orang-orang Indonesia yang tidak tahu apa itu Tambora, apalagi tempatnya. “Kalau di Indonesia, banyak orang yang saya tanyakan, tidak tahu di mana itu Gunung Tambora. Hebat santri Guluk-Guluk ini langsung bisa menjawab di mana Gunung Tambora ini,” katanya, mengapresiasi, yang diikuti dengan tepuk tangan santri.
Dia menambahkan, kalau dunia ditanya tentang gunung terhebat di dunia, maka jawabannya ada dua. Pertama Himalaya karena ketinggiannya, kedua Tambora karena letusannya. “Ada gunung yang letusannya lebih besar dari Tambora, iya. Tapi yang paling mengguncangkan dunia, yang mengubah dunia, yakni Tambora,” tegasnya.
Letusan Gunung Tambora, menurutnya, besarnya 13.000 kali letusan bom atom Hiroshima. Perkiraannya, sebelum meletus, gunung tersebut ketinggiannya mencapai 4.700 meter hingga 5.200 meter. “Sekarang tersisa 2.851 meter. Panjang kawahnya itu sekitar 11 kilo, lebar 7 kilo,” imbuhnya. Ketika meletus, tambahnya, gunung ini mampu menghancurkan 3 kerajaan, Sanggar, Pekat, dan Dompu.
Banyak hal yang dibahas seputar Gunung Tambora tersebut. Dan, yang paling hebat dari letusan ini, adalah disebut-disebut sebagai pemicu perubahan dunia dari tradisional ke modern. Hal ini dapat ditandai dengan adanya penemuan roda di daerah Eropa yang digunakan untuk melewati salju yang tebal karena letusan ini. Sepeda itulah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya teknologi transportasi seperti yang sekarang kita nikmati.
Terinspirasi Ibnu Khaldun dan Ibnu Batutah
Diskusi tersebut mendapat apresiasi dari para santri, terbukti dengan adanya 3 penanya yang menanyakan beberapa hal kepada Paox. Salah satunya adalah santri bernama Ansori. Santri yang berstatus sebagai pengurus Perpustakaan Lubangsa ini menanyakan motivasi menjadi seorang penjelajah.
Paox, yang bernama asli Ahmad Ibnu Mudhaffar, menjawab pertanyaan ini dengan menganalogikan pada pengembara-pengembara Islam, semisal Ibnu Khaldun dan Ibnu Batutah. “Jadi, saya senang mengembara, karena Islam yang datang ke Nusantara ini, kalian semua bisa Islam ini karena ada pengembara seperti saya,” akunya, diikuti tepuk tangan para santri.
“Jadi bisa dibayangkan, Ibnu Khaldun itu mengembara abad 10-11 masehi. Ibnu Batutah keliling dunia sekitar tahun 1.300-an. Saat itu belum ada mesin, belum ada kompas, tidak tahu arah, kapal masih pakai layar, terus tidak ada jalan aspal,” imbuhnya.
Pria dengan rambut gimbalnya itu, menambahkan, pada saat itu saja sudah ada yang mengembara, mengapa saat ini dengan fasilitas yang memadai, kita tidak mau mengembara, hanya di rumah saja. “Tapi kalau masih nyantri, ya, nyantri yang benar. Silahkan punya cita-cita yang tinggi pingin kuliah ke Mesir, mau kuliah di Amerika gak apa-apa. Itu caranya agar Islam maju. Dengan apa? Ya, dengan ilmu, bukan dengan senjata,” tegasnya.
Setelah beberapa jawaban yang diberikan kepada para penanya, diskusi pun ditutup dengan pemberian kenang-kenangan kepada para penanya, yang diberikan langsung oleh Paox Iben. Acara tersebut benar-benar ditutup dengan pembacaan doa, yang dipimpin langsung oleh K. Muhammad ‘Ali Fikri. [Cith]