Mereka Belajar Cerita
3087 View
Pena Santri terbentuk usai Ahmad Fawa’id berhasil mengajak sembilan orang delegasi Organisasi Daerah agar berkumpul untuk diskusi soal cerpen. Fawa’id mampu meyakinkan mereka di tengah-tengah mirisnya komunitas cerpen di PP. Annuqayah daerah Lubangsa.
Ahmad Fawa’id (24) berkumpul di teras Perputakaan malam kemarin (03/07). Ia, ditemani Moh. Tsabit Husain (23), membicarakan cerpen: unsur, plot, bahkan hal-hal yang terkandung dalam karya fiksi tersebut. Delapan peserta berdecak kagum melihat penjelasan dari kedua orang yang menamatkan pendidikan sarjananya di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) itu.
Sebulan yang lalu, terlintas di benak Fawa’id untuk membentuk ruang diskusi di bidang sastra, terutama cerpen. Ia melihat di PP. Annuqayah daerah Lubangsa, masih belum punya komunitas bagi santri yang ingin belajar cerpen. Bak anak ayam kehilangan induknya, para cerpenis justru kebingungan menemukan kiblat karena tak punya tempat untuk belajar.
Fawa’id lalu mengajak Moh. Tsabit Husain. Ia bahkan, tak segan melakukan kontak dengan komunitas menulis di masing-masing Organisasi Daerah (Orda) dengan cara delegasi. Ia juga tahu bahwa tidak semua dari sembilan Orda memiliki komunitas yang fokusnya adalah fiksi, bahkan komunitas Orda punya konsentrasi di ranah puisi atau karya ilmiah semacam esai. “Kami mengajak mereka (delegasi) yang minatnya di cerpen,” kata Wakil Ketua Pengurus PP. Annuqayah daerah Lubangsa.
Keikutsertaan Tsabit dan Delegasi Orda ini membuahkan hasil: PP. Annuqayah daerah Lubangsa membuat komunitas bernama Pena Santri. Pena santri sendiri adalah perkumpulan pecinta cerpen di Lubangsa. Seperti Komunitas Cinta Nulis (KCN) di PP. Annuqayah daerah Lubangsa Selatan, Lubangsa memiliki forum santri yang memang gemar terhadap karya fiksi itu, “para penulis cerpen bisa berkumpul dan membedah karya para anggota, lalu mendiskusikannya,” ujar Fawa’id.
Fawa’id juga sadar, komunitas cerpen ini baru seumuran jagung. Ini semakin menguatkan dengan rentan waktu anggota Pena Santri yang berkumpul selama tiga hari. Awalnya, mereka berkumpul agar para anggota memiliki kelas sesuai tingkat pengetahuannya. Seusai kelas terbentuk, mereka berdiskusi perihal unsur-unsur intrinsik cerpen selama tiga hari sekali, “diskusi ke dua, kita membedah cerpen Ahmad Tohari dengan judul Anak ini ingin mengencingi Jakarta,” lanjutnya.
Perihal materi kelas menulis, Fawaid menjelaskan peserta mendapat pelajaran khusus soal cerpen. Tentunya tidak setiap hari mereka dapat pelajaran ala bangku sekolah, tapi setiap hari bakal ada pelajaran mengarang yang disampaikan saat bedah atau diskusi berlangsung. Mereka percaya menulis itu butuh waktu dan waktunya memang lama. Karena itu, kelas cerpen bakal berhenti ketika mereka bisa menulis dan tahu cara membaca yang baik.
Penulis | : Moh. Zainur Rozy |
Editor | : Ikrom Firdauz |