Jadi Santri Jangan Tanggung-Tanggung
2889 View
Saat saya sedang duduk santai di Kantor Redaksi Pers Lubangsa sambil menikmati sebatang rokok, Sabtu (8/10), tiba-tiba, datang sesosok lelaki yang agak kurus dengan memanggil salam seraya menebar senyuman. Waktu itu tepat pada pukul 16:00 WIB. Ia tidak lain adalah senior Jurnalis Lubangsa, yang kini sudah menjadi alumni. Ahmad Fandrik namanya. Selesai menghadiri acara Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) yang bertempat di Aula Assarqawi, ia meluangkan waktu bertemu dengan kader-kadernya di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Ia resmi menjadi alumnus Lubangsa pada tahun 2012.
Sosok yang satu ini sangat gesit dalam dunia tulis menulis, terutama dalam menulis yang berimajinatif. Misalnya, menulis puisi, cerpen dan esai. Kehadirannya di kantor redaksi disambut hangat oleh teman-teman pers Lubangsa.
Alumni yang beralamat di Sukogidri, Ledokombo, Jember tersebut langsung mendatangi Kantor Redaksi Pers Lubangsa dan bercerita banyak hal tentang dirinya sebelum boyong dari pesantren, termasuk dalam hal tulis-menulis. Ia menceritakan, bahwa gairah menulisnya ia lakukan semenjak menjadi siswa kelas akhir di Sekolah Menengah Atas (SMA) Annuqayah, dengan landasan bahwa ia sudah tidak lama lagi akan hijrah menjadi mahasiswa. Dalam pikirnya, mahasiswa sangat dekat dengan dunia tulis-menulis seperti makalah dan semacamnya.
Karena itulah, ia berusaha mencari wadah untuk melatih dan mengembangkan kreativitasnya dalam tulis-menulis. Dengan keyakinan penuh, ia pun langsung mengikuti Komunitas Cinta Nulis (KCN) asuhan Zaiturrahem di PP. Annuqayah Lubangsa Selatan. “Pikiran saya itu tidak ingin sama dengan mahasiswa yang cuma men-copy paste makalahnya orang lain. Tetapi ternyata, komunitas (KCN, red) tersebut hanya fokus pada fiksi saja,” jelasnya sambil mengotak-atik handphone-nya.
Keaktifannya di komunitas KCN sebagai awal pertemuannya dengan dunia tulis-menulis. Dari situlah, ia punya kesempatan untuk mengirim karya-karyanya. Ia pun mencoba mengirim karyanya ke berbagai media di Lubangsa, seperti Buletin Kompak dan Majalah Muara. Ketahuan dirinya mahir dalam dunia tulis menulis, ia pun ditarik untuk menjadi pengurus kedua media tersebut, sehingga lambat laun, ketajaman kreativitasnya dalam menulis mulai dikenal oleh santri Annuqayah.
Tidak hanya dikenal oleh santri, melainkan dari kalangan pengasuh muda Pondok Pesantren Annuqayah. Tak salah, satu-satunya santri Lubangsa yang diberikan amanah untuk mengelola media informasi berbentuk Weblog dan cetak milik Pondok Pesantren Annuqayah adalah santri yang satu ini. Meski tak jarang, tulisan-tulisannya mendapat kritik pedas oleh kiai muda (K. Faizi, K. Muhammad Shalahuddin, K. Zammil el-Muttaqien, dan K Musthafa), tidak membuat dirinya getir dan berhenti untuk menjadi penulis. Baginya, kritik yang diberikan oleh Pengasuh adalah curahan barokah. “Yang terpenting tidak pernah putus asa untuk menjadi penulis, kritik dari siapapun itu adalah cambuk agar kita lebih semangat,” katanya, yakin.
Bagi santri yang biasa menggunakan nama Fandrik Ahmad atau Fandrik HS Putra dalam tulisannya ini, keterampilan menulis tidak hanya ingin dinikmatinya sendiri, tapi ia juga menginginkan teman-teman dan kadernya untuk juga mempunyai semangat menulis. Semenjak aktif di Majalah Muara, ia menempelkankan karyanya yang telah di muat di media cetak seperti Radar Madura, Jawa Pos, dan lainnya di dinding kantor redaksi. Hal itu dilakukan untuk menyemangati teman-temannya kala itu. “Itu lho karya saya, mana karyamu? Baru kemudian banyak dari teman-teman redaksi yang mengirim ke media dan dimuat, seperti Taufiqil Aziz, Lek Wahedi, Faruqi Munif dan teman- teman lainnya yang muncul di berbagai media,” tegasnya.
Bahkan, menurutnya, dulu tradisi diskusi sangat kuat mengakar di Annuqayah. ”Kalau dulu, Lek, saya, Taufiqil Aziz, Paisun, Ahmad Qusyairi Nasrullah, dan Samsuni, berlima sering berdiskusi, dan sering jhung-ejhungan (berlomba-lomba) untuk mengikuti even-even lomba dan mengirim ke media. Meski tidak terima, yang penting mengirim, salah satunya pasti ada yang jebol, jadi pemenang dan dimuat di media,” paparnya.
Menurutnya semua orang punya kemampuan untuk menulis, tidak menjadi penulis pun asal memiliki kelebihan kemampuan yang mempuni dalam satu bidang adalah nilai plus yang bagi santri Lubangsa. Makanya ia berharap kepada semua santri bahwa menjadi santri sangat dilarang menjadi santri abu-abu. “Kalau memang mau menjadi penulis, ya, tekuni dunia kepenulisanya. Kalau mau menjadi jurnalis takuni kejurnalisannya, kalau mau belajar Bahasa Arab ya tekuni, jangan tanggung-tanggung, sehingga kemampuan kita nanti akan jelas. Kalau kita sudah pulang ke masyarakat akan mudah orang mencari titik kemampuan kita. Buatlah output dari Lubangsa ini beragam. Kan tidak semua pasti menjadi Kiai?”puskasnya.
Penulis : Misbahul Munir
Editor : Abd. Muqsith