Mahasiswa Antusias, Diskusi Kemerdekaan Tampil Meriah
2691 View
Luabangsa_ Diskusi Terbuka untuk mahasiswa, bersama Hadrah Banjari Lubangsa, dengan tema “Menyambut Dirgahayu 72; Ngaji Perjuangan, Maknai Kemerdekaan,” yang bertempat di depan masjid Jamik Annuqayah tampil dengan meriah. Tepat pada jam 19. 30 Wib., Jamalul Muttaqin selaku pemandu jalannya diskusi membuka dengan pembacaan al-Fatiha kepada seluruh para pahlawan atau pejuang kemerdekaan Indonesia. Kemudian, dilanjut dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan Hubbul Wathan, yang dipimpin oleh Sifil Mu’iz.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh semua mahasiswa perjurusan, baik dari Mahasiswa Tafsir Hadis (IQT), Akhlaq Tasawuf (AT), Ekonome Syari’ah (ES), Hukum Ekonomi Syari’ah (HES), Pendidikan Agama Islam (PAI), dan Pendidikan Bahasa Arab (PBA), semua sangat antusias mengikuti serangkaian kegiatan diskusi Formal perdana itu. Hadir pula dalam kegiatan tersebut Ketua Komisariat PMII Guluk-Guluk, Ahmad Helmy, dan Mantan PK. PMII Guluk-Guluk, Muhammad Royhan Fajar sekaligus sebagai pembicara tunggal.
Meski tak dihadiri oleh ketua Formal, menurut Jamal diskusi tetap meriah diikuti mahasiswa antar jurusan yang tumplak ke halaman masjid jamik. “Saya rasa kegiatan ini sangat asyik karena dihibur dengan Hadrah Banjari Lubangsa,” kata Rasyidi saat diminta untuk berbicara oleh muderator.
Mahasiswa yang hadir di halaman Masjid Jamik Annuqayah menurut penilaian ketua pengurus Lubangsa, ia tidak lain adalah santri yang mempunyai semangat dan jiwa nasionalisme yang tinggi, dengan cara apapun santri tetap memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke 72 itu. “Saya sangat bangga sekaligus terharu,” katanya.
Memahami Kolonialisme Baru dalam Wajah Kemerdekaan
Bicara kemerdekaan tidak selesai pada konstelasi sejarah penjajahan kolonealisme Belanda dan Jepang, menurut Royhan, wajah koloniasme baru hadir dengan membawa ideologi-ideologi baru yang pelan tapi pasti merongrong bangunan ideologi pancasila di Indonesia, ia bisa berupa Islam Liberal, Kapitalisme, imperialisme, dan radikalisme, sebut Royhan ideologi yang tak sama dengan Ahlussunah wal al-Jama’ah.
Sebagai mahasiswa yang memiliki interes kesadaran yang sangat tinggi akan kemerdekaan Indonesia, bagi Roy tak penting kita membaca sejarah yang kaku, karena sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah selesai dan hari ini mahasiswa dihadapkan pada tantangan sejarah kolonealisme baru yang lebih menjajah, baik terhadap bangsa, agama, dan terhadap tatanan sosial masyarakat Indonesia. “Saat ini kita duduk di tempat yang suci ini, adalah bagaimana membendung arus ideologi kapitalis yang pelan-pelan terus menguasai kekayaan tanah Indonesia, itulah bentuk dari kolonialisme baru yang bertopeng,” katanya dengan lantang.
Namum, setidaknya, menurut Ahamad Fairozi, pernyataan mantan ketua LPM Instika itu ia ditentang, karena mengatakan sejarah kemerdekaan tidak penting, menurut santri yang sudah delapan tahun mondok di Lubangsa itu, sejarah adalah cermin terhadap masyarakat untuk melihat bagaimana kesalahan di masa lampau terjadi, sebut seperti sejarah pejuang para santri untuk mengusir kaum kolonial Jepang di Surabaya, dan para Laskar Hisbullah yang berjuang membela negara. “Kalau kita bilang sejarah tidak penting, tentu kita akan pincang,” katanya.
Tidak hanya Fay, selau Ketua Anggatan Paser, Ibnu Abbas juga membantah pernyataan Royhan, bahwa masyarakat yang hidup di era reformasi berarti hidup dalam lingkup yang tidak lagi tertekan, sebut pada era Orde Baru, menurut Abbas, tak ada salahnya berbagai ideologi masuk pasca reformasi, karena sejatinya era reformasi adalah menghargai segala aspirasi dan ideologi masyarakat, meski kata Abbas keadaan itu terasa terpimpin oleh satu ideologi negara yang berkuasa, “saya rasa kita sudah bebas untuk berpendapat,” katanya dengan tegas.
Kendati demikian, Misbahul Munir selaku ketua Perisai juga angkat bicara, menurutnya memaknai kemerdekaan adalah memaknai bagaimana masyarakat dapat hidup bahagia dan tidak tertekan dengan berbagai kolonialisme macam apapun, ia bebas berpendapat, hak-haknya dilindungi sebagai warga negara, dan memiliki hak untuk memilih pemimpin yang terbaik. Itulah kemerdekaan yang diimpikan 72 tahun silam saat pertama kali teks proklamasi dibacakan oleh Bung Karno.
Akhirnya, setelah pertimbang waktu, Jamal memutuskan untuk menyudahi diskusi yang makin alot itu tepat pada pukul 222. 30 Wib dengan pembacaan do’a majlis yang dipimpin oleh Fathur Rozi.
Penulis: Muhammad Fathur Rozi
Editor: Jamalul Mutaqin