Disaat yang Lain Mendengkur, Andalas Wujudkan Semangat Berkarya
3582 View
Lubangsa_Salah satu budaya santri yang masih kental keberadaannya dan banyak diminati yakni budaya diskusi di pesantren. Dari diskusi seputar sastra, pendidikan, politik hingga ekonomi kerakyatan. Seperti halnya yang dilakukan Sanggar Andalas PP. Annuqayah daerah Lubangsa, Jum’at (13/09) malam mereka antusias melaksanakan diskusi di depan kediaman K. Wahib yang dalam tahap pembaharuan. Suatu kebanggan malam tersebut, mereka sempatkan ngaji puisi sambil ngopi bersama Abdullah Mamber, alumni asal kelahiran Banuaju-Barat Batang-Batang, termasuk juga mantan ketua Sanggar Andalas.
Diskusi yang dikemas dengan bedah karya itu berlangsung efektif, karya puisi yang ditulis Dimas Ariezta dikemukakan banyak masalah yang perlu dibenarkan bersama. Nuril S. Zaini selaku pengulas menganggap dalam puisi tersebut hanya berhasil dalam konteks struktural, tetapi gagal secara penafsiran. Sehingga pembaca tidak harus banyak berpikir untuk menyelami puisi tersebut.
Tepat pukul 11.55 WIB diskusi sedang hangat-hangatnya dibicarakan, hampir semua kritik yang disampaikan sama. Sebagaiman disampaikan Hafil, “dari soal kedangkalan logika penulis, pengendapan yang kurang, hingga ketebalan majas yang kurang diperhatikan membuat pembaca tidak perlu lagi berpikir panjang,” tutur santri asal Silobanteng, Banyuglugur, Situbondo itu, yang saat ini pemangku Sanggar Andalas. “Seorang penyair itu harus keluar dari zona nyaman, berusaha membaca alam, dan peka terhadap lingkungan,” lanjutnya sambil senyum.
“Menulis puisi tidak mudah, kecuali bagi orang jatuh cinta. Ya, begitulah kata seseorang,” ucap Abdullah Mamber mengawali komentarnya yang pada akhirnya pembicaraan malam itu semakin meluas dan mendalam. Cerita-cerita, serta motivasi yang disampaikannya menghadirkan pengetahuan baru. “Seorang penyair harus menguasai kata dalam kamus, makanya disaat Sitok Srengenge belajar pusi pada Ws. Rendra, dia disuruh mengahafal kata dalam kamus. Untuk lebih memperkaya perbendaharaan kata dalam puisinya,” lanjut Mamber sapaan akrabnya, “Cobaan bagi seorang penulis puisi, biasanya ia tergesa-gesa pada karyanya, ini perkataan alm. K. Zammiel el-Muttaqin, yang jelas puisi yang berjiwa tidak mudah. Ingat, bagi saya puisi yang dibedah ini bukan gampang dimengerti akan tetapi gelap, karena puisi yang gelap, ketika tidak terukur pemilihan kata-katanya. Yang biasanya orang mengambil bahasa ‘Aku’ dalam pusinya, namun tidak universal,” tambahnya.
Setelah komentar dari alumni selesai, lalu temen-temen Andalas masih melajutkan bedah karya puisi yang ke dua, meski alumni tersebut pamit duluan malam itu. Tidak berselang lama, karena masalah puisi yang pertama dan yang kedua tidak jauh berbeda. Mereka menutup diskusi malam itu di jam 00.35 Wib. Hampir setiap malam Andalas tidak lepas dengan budaya ngopi dan diskusi seperti ini, disaat santri yang lain mendengkur, Andalas wujudkan semangat berkarya.
Penulis : Malik MR
Editor : Abd. Warits