Membaca selawat Nabi memang sangat istimewa, dengan keistimewaannya bagi yang membaca mendapatkan pahala tanpa memandang khusyu’ atau tidak. Dengan demikian tidak heran jika banyak orang yang membacanya khususnya orang Islam, lebah-lebih santri yang tinggal di lingkungan agamis seperti pesantren yang memang mentradisikan pembacaan selawat. Dari pembacaan selawat tersebut maka lahirlah organisasi yang kemudian dikenal dengan Ikatan Santri Pantai Utara (Iksaputra).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Iksaputra lahir karena pembacaan selawat yang dilaksanakan setiap malam Jum’at di masjid Jami’ Annuqayah. Kegiatan tersebut mendapat perhatian keluarga pesantren (dhalem) dengan diberi plotan etem, bahkan hal itu tidak hanya dari keluarga pesantren, dari masyarakat sekitar pesantren (Bu Hamidah) juga ada yang bersedekah berupa buu’.
Pada perkembangan selanjutanya, tepatnya pada tahun 1979 M., lahir kelompok baru dalam membaca selawat yang diprakarsai oleh K. Qohar (alm), K. Fathor K. Baihaqi dan Warid Khan. Hal itu karena merasa tersisihkan disebabkan tidak mendapat bagian membaca selawat. Versi yang lain menyatakan bahwa lahirnya kelompok baru tersebut karena santri pantai utara berebutan buu’ dan versi terakhir menyebutkan karena pada waktu itu santri pantai utara tidak memiliki kegiatan. Pada tahun selanjutnya, kelompok ini membentuk kelompok lain dengan dengan nama Jam’iyah Diba’iyah yang dikelola bersama. Untuk memenuhi kebutuhan anggotanya berupa konsumsi, maka bergeliryalah mereka kepada tetangga untuk mendapatkan sedekah berupa buu’.
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan kelompok ini tidak hanya terbatas pada pembacaan selawat, dengan tetap istiqomah kegiatan didalam tubuh organisasi ini bertambah pada Burdah, pembacaan syi’ir-syi’ir Arab, gambus, kursus pendidikan moral pancasila, kursus khat jamil, dll.
Dari Jam’iyah ke Iksaputra
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan membawa perubahan tersendiri bagi kelompok Jam’iayah Diba’iyah, hal itu ditandai dengan gagasan K. Qohar (alm) untuk mengubah Jam’iayah Diba’iayah menjadi organisasi yang disampaikan pada teman seperjuangannya yang mendapat tugas ke Bangil yakni K. Muksar (H. Shaleh) dan K. Fathor melalui surat. Namun ternyata, K. Muksar merasa khawatir hal itu dapat ditangkap dari isi pesannya bahwa “jika ingin membuat organisasi harus dipertahankan”. Dan sepulangnya K. Muksar dan K. Fathor dari Bangil, beliau membawa oleh-oleh berupa selawat yang sekarang dikenal dengan Mars Iksaputra.
Dari gagasan tesebut, maka pada tahun 1980 dikumpulkan santri pantai utara untuk musyawarah menindak lanjuti gagasan K. Qohar yang yang di pimpin oleh KH. M. Syafi’ie Anshari. Ada sekitar 50 nama yang diusulkan pada saat musyawarah itu. Akan tetapi, dari sekian banyak nama tersebut maka dipilihlah nama Iksaputra (akronim dari Ikatan Santri Pantai Utara) sebagai nama pengganti dari Jam’iayah, dan dideklarasikan tepat pada tanggal 9 April 1980 M. Yang kemudian dijadikan sebagai hari lahir Iksaputra dan diperingati setiap tahunnya.
Namun menurut K. Abdus Shamad, sebelum nama Iksaputra ada nama lain yaitu Cabang Organisasi Daerah (COC), tetapi kepastian nama tersebut dipakai tidak jelas karena sulitnya sumber informasi. Terlepas darii itu semua, berubahnya Jam’iyah pada Iksaputra mempunyai konsekuensi tersendiri, yaitu dengan adanya struktur kepengurusan dalam tubuh Iksaputra.
Visi dan Misi Iksaputra
Visi
Terbentuknya insan yang cakap serta bertanggungjawab pada seluruh kualitas moral dan intelektualnya dan kehidupan sufisme.
Misi
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang berorientasi pada budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia.