Hari Santri: Saat Keheningan Menjadi Pidato yang Paling Lantang
1377 View
Oleh Faizatin
Ketika banyak pesantren merayakan Hari Santri Nasional dengan kemeriahan dan berbagai acara — sebagaimana Annuqayah Lubangsa Putri di tahun-tahun sebelumnya — kali ini, Lubangsa Putri memilih jalan berbeda. Tidak ada panggung besar, lomba, atau kirab panjang; yang ada hanyalah halaqah reflektif, dan para santri duduk bersimpuh mendengarkan nasihat dari pengasuh dan pengurus. Halaqah ini digelar pada malam 21 Oktober khusus pengurus, dan malam 22 Oktober untuk santri.
Tahun ini, kami tidak ingin sekadar memperingati Hari Santri; kami ingin merenungkannya. Bagaimana halaqah ini mampu menjadi ruang hening untuk mendengar, menimbang, dan menata kembali makna menjadi santri di tengah dunia yang terus berubah. Karena kadang, yang paling bermakna bukanlah keramaian acara, melainkan keteduhan yang menetap dalam hati.
Ketika Pesantren Diuji
Dunia pesantren sedang tidak sepenuhnya tenang. Belakangan, berbagai kabar tentang lembaga pendidikan Islam ini bermunculan, dari peristiwa menyedihkan hingga isu-isu miring yang kebenarannya kabur. Pesantren, yang selama ini dikenal sebagai benteng moral dan ilmu, tiba-tiba dihadapkan pada gelombang opini publik yang tidak selalu jujur dan tidak selalu adil.
Di tengah situasi itu, peringatan Hari Santri tidak bisa hanya menjadi seremonial. Ia harus menjadi momen membaca ulang diri: apakah pesantren masih menjaga makna terdalamnya? Apakah santri masih memaknai perjuangan menuntut ilmu sebagai jalan sunyi yang penuh adab dan keikhlasan?
Karena itulah, di Lubangsa Putri kami memilih cara yang lebih tenang. Sebuah bentuk peringatan yang sunyi, tapi sarat makna. Karena kadang, dalam kesederhanaanlah nilai sejati justru lebih mudah ditemukan.
Membaca Diri, Bukan Sekadar Teks
Sebagai ketua pengurus, saya membuka halaqah malam itu dengan pengantar singkat. Bukan pidato panjang, hanya ajakan untuk menundukkan kepala dan membuka hati:
“Mungkin kita tidak sedang berbahagia dengan cara biasa, tetapi di sinilah kita belajar bahwa menjadi santri bukan soal ramai atau sepi, melainkan bagaimana kita tetap kokoh ketika dunia mulai bertanya siapa kita.”
Setelah itu, pengasuh melanjutkan dengan tausiyah kesantrian. Beliau mengajak kami untuk memaknai kembali posisi santri di tengah masyarakat modern yang kerap menilai hanya dari permukaan.
Dalam diam, saya merenungkan: pesantren dan para pewarisnya — kiai, nyai, maupun santri — adalah bagian dari kehidupan yang juga manusiawi yang terus berjuang menjadi lebih baik. Memang tidak sempurna, namun berusaha untuk terus menjaga marwah dan nilai-nilai warisan para ulama. Karena kekuatan pesantren sejatinya bukan pada kesempurnaan, tetapi pada kejujuran untuk terus memperbaiki diri.
Santri di Tengah Zaman yang Bising
Santri masa kini hidup di tengah derasnya arus informasi. Tantangan tidak lagi sebatas keterbatasan fasilitas, tetapi justru limpahan wacana. Fitnah kadang datang dalam rupa “analisis,” dan tuduhan bisa disamarkan sebagai “kajian ilmiah.”
Di titik inilah santri perlu memperluas makna belajar: mengaji tidak cukup hanya pada teks, tetapi juga konteks. Menyimak bukan hanya kata, tetapi makna. Mampu memilah mana kritik yang membangun, mana narasi yang hanya ingin meruntuhkan. Santri tidak boleh menutup diri, tapi juga tidak boleh hanyut. Ia harus menjadi lentera — tidak menyilaukan, tetapi menerangi.
Halaqah reflektif di Lubangsa Putri menjadi ruang kecil untuk melatih itu semua: duduk bersama, mendengar, dan berpikir. Banyak santri meneteskan air mata ketika mendengar kisah santri-santri terdahulu yang belajar dalam gelap, tetapi cahayanya justru menerangi zaman. Kini, di tengah dunia yang terang-benderang, sering kali kita justru kehilangan cahaya hati. Ironi ini layak untuk direnungkan.

Keheningan yang Melahirkan Kesadaran
Ketika halaqah berakhir, tidak ada tepuk tangan atau musik penutup. Hanya salam dan keheningan panjang. Namun di balik hening itu, ada rasa lega yang sulit dijelaskan — seolah setiap santri baru saja berdialog dengan dirinya sendiri.
Seorang santri menulis di catatannya malam itu: “Tahun ini Hari Santri terasa paling sunyi, tapi juga paling jujur.”
Barangkali memang begitu seharusnya peringatan Hari Santri dijalani: bukan sekadar perayaan, melainkan perenungan. Sebab tidak semua perayaan dan kebahagiaan harus diramaikan; sebagian justru disyukuri dalam diam dan renungan. Dan Hari Santri di Lubangsa Putri tahun ini memilih jalan ini, serta memberikan justifikasi bahwa kadang, keheningan adalah pidato paling lantang, dan refleksi adalah bentuk cinta paling tulus terhadap pesantren.
Dari perayaan Hari Santri ini kami belajar bahwa kekuatan sejati pesantren bukan pada sorak-sorai, melainkan pada ketulusan menjaga nilai. Bahwa menjadi santri bukan sekadar status sosial, tetapi tanggung jawab moral.
Jika santri masa lalu berjuang dengan bambu runcing, maka santri masa kini berjuang dengan kejernihan hati dan kecerdasan membaca zaman.
Semoga dari kesunyian Lubangsa Putri, lahir gelombang ketenangan baru bagi dunia pesantren.
Tentang Penulis
Faizatin adalah Ketua Pengurus Annuqayah Lubangsa Putri 2025. Aktif dalam kegiatan literasi dan kajian reflektif di lingkungan pesantren.
Email: faizatin.olaf@gmail.com
