Menahan Kantuk hingga Gatal-gatal, Ket Mung Siapkan Hidangan Saber
4392 View
Lubangsa_Bagi kebanyakan orang, menyiapkan makanan untuk sahur, apalagi membangunkan teman bukanlah perkara mudah. Lelah dan kantuk sehabis menyiapkan menu masakan setelah Isya hingga jam dua dini hari, lalu mempersiapkannya untuk sahur bersama, harus ditahan. Itulah yang dirasakan Moh. Miftahol Khoiri dan pengurus Ikstida lainnya saat menyiapkan Sahur Bareng (Saber) untuk menyambut puasa sunah Arafah.
“Karena ini bukan bulan suci Ramadan, jadi harus sabar menahan kantuk dan capek setelah menyiapkan menu sahur semalaman. Habis itu, juga mesti membangunkan teman-teman.” tutur Tahol (sapaan akrabnya) sembari membantu teman-teman yang lain memasak.
Sebagai Ketua Ikstida, dia turun langsung ke dapur meski debu dan asap dari tungku menyebar ke mana-mana. Dia lakukan semua ini untuk mengajak teman-teman anggota dan pengurus Ikstida menyemarakkan puasa sunah Arafah. Selain bernilai ibadah, dia juga berharap solidaritas antar pengurus dan anggota tetap terjaga satu sama lain. Mulanya, kegiatan ini muncul setelah salah satu senior mengusulkan agar diadakan sahur bersama. Kala itu dia sedang menunaikan puasa Tarwiyah. “Kebetulan banget. Kami sedang puasa tarwiyah, besoknya, kami langsung mengadakannya untuk menyambut puasa Arafah. Karena hal ini masih belum ada di Lubangsa dan kami di kepengurusan juga merespon positif hal tersebut.” kisahnya sembari menyeka keringat dihadapan tungku yang menyala.
Dia bersama teman-teman pengurus serta beberapa anggota yang lain berbagi tugas. Ada yang bertugas untuk menyiapkan bahan makanan, memasak, membangunkan teman-teman yang tidur sampai menghidangkan sahur pada daun pisang yang dihampar di halaman masjid Jamik Annuqayah. Dia bergerak gesit ketika teman-temannya butuh bantuan. Salah satunya ketika Ket Mung (sapaan akrab ketua DPA Ikstida) menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Dia langsung turun tangan dan membantu sekaligus mengoordinir teman-temannya yang lain agar ikut andil.
Memasak menu buat sahur di pesantren tidak semudah di rumah. Dia dan teman-temannya harus mencari kayu bakar. Setelahnya dia juga yang harus berada di depan tungku bersama kawan-kawannya yang lain meski kantuk menggantung di bawah pelupuk dan gatal-gatal terasa akibat keringat bercampur debu. “Ya, ini kan buat teman-teman yang mau sahur. Kalau ngantuk, ya, ditahan.” aku Ket Mung sambil menyorong kayu ke tungku. Wajahnya tampak kusam.
Memasak menu sahur membutuhkan waktu kisaran delapan jam sebab yang dimasak tidaklah sedikit. Meski jam menunjukkan pukul tiga dini hari, ada sesuatu yang terbayarkan, yakni kebahagiaan komunal yang tidak pernah ditemukan di manapun kecuali di pesantren; kesetiakawanan. “Saya merasa salut pada teman-teman sebab ini (memasak; Red.) di luar kebiasaan. Biasanya mereka tidur, malah lelah-lelah buat nyiapin sahur.” Kata Ket Mung. Setelah masak, dia meminta teman-temannya yang lain untuk membawanya ke halaman masjid untuk segera dihidangkan.
Di sana, sebagian anggota sudah berkumpul. Ada yang mencabut belek, menguap meski sudah cuci muka dan bercakap-cakap dalam kesunyian. Teman-teman yang kebagian tugas membangunkan anggota menyebar ke setiap kamar, bersusah payah mengajak mereka agar melawan kantuk dan menyingsingkan selimut . “Semua terasa mudah walau badan pegal-pegal. Saya tidak bekerja sendiri, teman-teman pengurus tidak bekerja sendiri-sendiri pula, tapi bersama. Ini yang membuat saya tergugah.” Ujar Ket Mung di sela-sela menyiapkan hidangan. Jam tiga dini hari, mereka sahur bareng di bawah langit terbuka beralaskan daun pisang. Kebersamaan di pesantren telah mengajari mereka untuk tetap menjaga persaudaraan dan saling mengerti walau di antara mereka ada yang tidak berasal dari satu daerah, “tapi kami serasa satu keluarga besar di Ikstida.” tambahnya.