Wujudkan Semangat Hari Pahlawan
3330 View
(Diskusi dan Cangkruan dalam Rangka Refleksi Hari Pahlawan Nasional)
Lubangsa_Pada momentum Hari Pahlawan Nasional. Angkatan Komunitas Lebur Noles (Kaleles) menyelenggarakan salah satu kegiatan Diskusi dan Cangkru’an dalam rangka refleksi 10 November 1945. Kegiatan tersebut bertempat di halaman Masjid Jami’ Annuqayah, sabtu (10/11).
Terlihat pada malam sabtu banyak santri mengerumuni amperan Masjid Jamik Annuqayah. Kegiatan tersebut mendapatkan apresiasi dari para santri. “Saya senang kegiatan diskusi terlaksana dengan sukses,”ungkap salah satu pengurus Kaleles kepada Koran Lubangsa.
Sebelum kegiatan Diskusi dan Cangkru’an dimulai, Hafiluddin, santri asal Pamekasan bersama Nur Khalis Junaidi menjadi host-nya. “Mari yang mau nampil ke depan nyanyi hubbul wathan. Malam ini, kita mesti bangga bisa memperingati hari pahlawan,” kata Jun Cheng Hou, panggilan akrab Nur Khalis Junaidi.
Akhirnya, tepuk tangan bergemuruh oleh para santri yang hadir saat salah satu Kasi Kepustakaan, Penerbitan, dan Pers (KP2), Jamalul Muttaqin membacakan salah satu puisi Chairil Anwar. “Merdeka! Merdeka! Surat buat Bung Karno,” katanya, memberi semangat para santri, pengurus yang sebentar lagi akan boyong pesantren. Suasana semakin hangat saat dua santri berduel Musfiq Haironi dan Nuzulul Alif Rifki di depan para santri saat sebelumnya juga ada Mu’iz menampilkan satu puisi. Tepat pada jam 22. 25 Wib kegiatan diskusi dipimpin oleh Jamalul Muttaqin.
Pahlawan Kekinian; Sebuah Kilas Perjuangan 10 November
Kemerdekaan Indonesia, tutur Jamal tak ada yang gratis, dulu saat pertama kali negara kita memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia secara konstitusional telah terbebas dari belenggu kolonialisme. Lebih lanjut Jamal mengatakan bahwa proklamasi bukan satu-satunya dari kemerdekaan Indonesia yang final. “Itu kan karena Jepang kalah pada negara Sekutu,” katanya. Sebab itu, pemimpin diskusi memberikan keterangan bahwa momentum Hari Pahlawan Nasional adalah momentum “kemerdekaan” Indonesia yang sesungguhnya.
Hari Pahlawan, tengarai Jamal sebagai satu nilai pokok perjuangan para ulama’ dalam berjihat membela negara di atas satu komando KH. Hasyim Asya’ri dan K. Wahab Chasbullah. Sebab itulah, menurut Kasi KP2 itu, kegiatan diskusi yang selenggarakan merupakan bentuk kepedulian terhadap jasa-jasa pahlawan, karena kepedulian atas sejarah pahlawan untuk generasi kenikian semakin terkikis arus, dan terkikis dengan atmosver modernisme yang jahil. “Di saat yang lain tertidur. Kita malam ini prihatin tampil sebagai santri yang nasionalis karena dengan besar hati merayakan memperingati hari pahlawan,” katanya.
Sebelum diskusi dilanjut, Jamal kemudian memanggil Komunitas Sanggar Poar untuk pementasan tragedi 10 November 1945, dengan judul “Tragedi Berdarah, Surabaya.” Pertunjukan tersebut menyedot perhatian ratusan para santri. Suasana panggung menjadi aktiv dengan plot cerita yang menarik. Lampu dipadamkan, hanya ada lilin yang menyala, tampak suasana menjadi sedikit sunyi dan legang. Saat tentara Sekutu tampil dan mencari-cari Bung Tomo kemudian terjadilah baku tembak dengan Bung Tomo, sehingga tampak suasana semakin asyik dan penuh dengan rada-rada menegangkan.
Dari penampilan tersebut Jamal menegaskan bahwa sejarah bangsa dilalui oleh perjuangan dan perlawanan berdarah oleh para ulama’ dan santri. Sebab itu, mengutip apa yang dikatakan oleh Azyumardi Azra, bahwa pesantren telah menancap tegak menjadi satu pondasi kokoh untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, dalam diskusi tersbut Jamal menyimpulkan bahwa pahlawan kekinian haruslah memiliki perlawanan yang berbeda. Tentu dari satu ruang dan waktu yang berbeda kita harus bisa mengisi sebuah kemerdekaan, menjadi bagian yang berperan aktif dengan salah satunya, yang dicontohkan oleh santri adalah semangat juang dan cinta terhadap tanah air. Karana mengutip apa yang dikatakan Said Aqil Siraj, kita berjuang di atas tanah air bukan di atas air. Maka Jas Merah, selayaknya benar yang dikatakan oleh sang tokoh revolusioner bangsa Bung Karno tempo hari. (MR/Jejen)
Penulis: Abd. Malik Editor: Jamalul Muttaqin