Pleno II Perumusan Kurikulum MD BTT Membuahkan Hasil
4059 View
Perumusan kurikulum MD BTT yang dilaksanakan pada Ahad (17/9) masih dirasa remang-ramang. Akhirnya pada Rabu (21/9) kemarin kembali digelar menindaklanjuti rapat kurikulum tersebut.
Fathorrahman Usman, salah satu tim perumusan kurikulum menjelaskan bahwa kurikulum memang seharusnya dilakukan dalam setiap sepuluh tahun, agar lembaga pendidikan dapat melihat kondisi perkembangan, tujuan, target dari pendidikan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan. “Hal semacam ini seharusnya sudah dilakukan pada tahun 2011 yang lalu, sebab pada masanya saya (tahun 2001-2004, Red ) pernah dilakukan perumusan kurikulum. Dan pada saat ini bisa dilakukan review baik dalam pengembangan (development), diperbaiki (improvment), diubah total atau sekadar evaluasi,” ungkap alumnus Lubangsa itu.
Rapat yang dihadiri tim perumusan kurikulum dan pengurus diniyah mengulas banyak hal, terutama materi pembelajaran diniyah. Masyhuri Drajat, Mudir MD BTT sekaligus pemimpin rapat dalam kesempatan tersebut menawarkan sekian banyak meteri-materi diniyah mulai dari tingkat Ula sampai dengan Wustha kepada peserta rapat. Sebagai rancangan awal, menurutnya dalam satu hari, siswa Madrasah Diniyah akan disuguhkan dua materi pembelajaran dengan alokasi waktu 2x40 menit.
Tetapi, rancangan dua materi setelah masuk sore itu ditolak oleh tim. Menurut Pak Ong, panggilan akrab Fathorrahman Usman, rancangan yang demikian sangat tidak efektif untuk pembelajaran, karena memungkinkan terjadi ketidakpuasan pengajar dan siswa diniyah. ”Belum lagi kapasitas santri berbeda-beda dalam menangkap materi pelajaran, materi jam pertama belum terserap, sudah mau beralih ke materi yang kedua. Kurang efektif juga,” tegasnya.
Senada dengan hal itu, Abd. Aziz menyampaikan bahwa masuk sore dengan suguhan dua materi pembelajaran yang berbeda kurang baik bagi santri. “Kalau bisa dua jam itu dimanfaatkan satu mata pelajaran sehingga santri nantinya bisa puas. Gurunya puas menerangkan, tentu muridnya pun puas,” paparnya. Atas beberapa usulan dari peserta rapat, akhirnya disepakati bahwa mata pelajaran cukup dengan satu materi saja, baik di tingkat Wustha maupun Ula.
Tidak hanya persoalan meteri yang diulas dalam rapat kedua tersebut, termasuk juga metode pembelajaran menjadi sasaran utama. Menurut KH. Muhsin Amir ada banyak metode yang dapat diterapkan. Salah satunya metode ceramah, praktik, dan musyawarah. Tetapi menurutnya metode yang paling banyak memberikan pengaruh adalah metode praktik dan musyawarah. “Kalau semasih saya di Timur Tengah dalam tiap minggunya di kelas-kelas itu musyawarah, bahkan dalam musyawarah itu rada-rada orang bertengkar,” tegasnya.
Hal itu juga diamini oleh K. Ali Tsabit Habibi. Tutor ajian kitab Tanbih al-Ghafilin itu mengatakan, bahwa semasih dirinya belajar di Lirboyo, dalam waktu tertentu di sana kerap melakukan musyawarah. “Sehingga santri itu merasa terpancing untuk giat belajar, karena malu kalau dalam musyawarah tidak mengeluarkan gagasannya,”ujarnya.
Hal itu berbeda dengan pengalaman yang disampaikan oleh Fathorranman saat dirinya nyantri di PP. Annuqayah Lubangsa, bahwa tradisi di Lubangsa sangat kental dengan mengaji ke Masyaikh di daerah lain, selain diberengi dengan diskusi-diskusi rutin di serambi dan halaman masjid, dan di bilik-bilik pondok. “Santri dulu itu tidak bangga pinter sendiri, santri senior membuka kelompok-kelompok belajar, bahkan dulu saya pernah belajar ke Pak Amir saat saya menjadi pengurus P2P,” ujarnya saat diwawancari di Kantor MD BTT.
Selain itu, ia menambahkan bahwa santri harus mengubah cara belajar yang baik sehingga santri mudah dalam cara memahami mata pelajaran. “Makanya saya harapkan sistem kaderisasi di Madrasah Diniyah di tata dengan rapi, terutama santri-santri yang sangat ingin belajar kitab kuning perlu diteliti dangan baik, dan bahstul masail, kelompok belajar, kajian kitab kuning dapat ditingkatkan ke depannya,”pungkasnya.
Penulis : Misbahul Munir
Editor : Abd. Muqsith