Minum Teh Rio Buat Ngilangin Rindu Rumah daripada Pulang Disuruh Jaga Karbau
6390 View
Lubangsa_Tinggal di pesantren dengan budaya dan orang-orang beragam karakter bukanlah hal mudah. Alif, Sahrul, Yamanda, Qari dan Aris berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Namun, di Lubangsa, justru perbedaanlah yang membuat mereka jadi serasa saudara.
Saat ditemui di emperan asrama santri, kelimanya sedang ikut Orientasi dan Pembinaan Santri Baru 2023 (Opsaba’23). Mereka mengenakan baju dan akseseoris yang sama. Cuma, mereka tidak saling kenal dan di Opsaba’23, mereka kenal satu sama lain. “Awalnya kenal wajah, tidak tahu nama.” Aku salah satu dari mereka.
Bukan berarti mereka tidak mau berbaur atau berinteraksi dengan yang lain. Hanya saja, adaptasi dengan lingkungan baru butuh waktu. Sama seperti yang dialami Aris dan Yamanda. Masing-masing berstatus mahasiswa baru Instika dan siswa Madrasah Aliyah. Saat pergi ke PP. Annuqayah Lubangsa untuk menuntut ilmu, mereka tidak kenal siapa-siapa. Mereka berangkat hanya berbekal tekad demi membahagiakan orang tua.
“Meski saya suka ketawa dan bercanda, kadang saya canggung ketika akan memulai pembicaraan, apalagi saya pernah diusilin pakai bahasa Madura sedang saya tidak paham. Saya tersenyum saja, begitu.” kenang Aris pada hari kedua dia berada di pesantren. Pengalaman serupa juga dialami oleh Yamanda. Jika diusilin teman sekamar, dia kadang ingin pulang.
“Tapi saya betah-betahin saja tinggal di pondok. Alhamdulillah, sekarang saya mulai kerasan” ujarnya sambil tertawa. Sekarang, Yamanda lebih aktif berinteraksi dengan santri lama.
Aris dan Yamanda tidak bisa bahasa Madura. Namun, mereka tidak kenal putus asa. Mereka mencari teman baru dan berupaya berinteraksi dengan santri yang lain walau bahasa Madura mereka minim.
Berbeda dengan keduanya, Sahrul yang berasal dari Kalimantan malah melawan jika ada teman sekamar yang membuli. Dia tidak mau diusilin. Dia lebih aktif dan mudah untuk bergaul dia bercerita. Semenjak ada di Annuqayah, dia merasa ada yang berubah pada dirinya, salah satunya ketika bicara dengan orang tua. “Kalau bicara sama orang tua saya lebih terbuka. Sebelumnya tidak pernah begitu.” aku santri yang punya keinginan menguasai nahwu-sharraf dan bahasa Inggris tersebut.
Sahrul pikir, di pesantren dia hanya mentok belajar ilmu agama. Nyatanya, ketika sampai di Annuqayah, sudah ada wadah pengembangan keterampilan, bakat dan minat santri. “Saya tahu Annuqayah sebab ada saudara yang sudah alumni dan jago ngomong Arab. Saya bertanya-tanya, kok bisa? Pas sampai ke sini, saya sadar, di Annuqayah memang ada lembaga pengembangan bahasa asing, tinggal santrinya semangat atau tidak.” tuturnya.
Sama dengan Sahrul, Faris, santri asal Kangean, Sumenep, juga ingin belajar bahasa Inggris selain ilmu agama. Meski punya keinginan seperti itu, tantangan yang dia hadapi tidaklah mudah. Yang paling membuatnya repot jika rindu rumah. Biasanya perasaan seperti itu dia alami ketika sendirian.
“Tapi saya punya cara. Jika rindu rumah dan keluarga, saya minum teh Rio dan makan wafer Nabati. Sempat saya kepikiran untuk pulang, tapi jika pulang, saya bakal disuruh jaga kerbau.” ucapnya memamerkan gigi-gigi putihnya.
Mereka berempat punya cara masing-masing buat ngilangin rindu sama orang tua. Kuncinya, asal banyak teman, rindu yang mengganggu akan hilang. Alif juga punya pengalaman yang sama dengan yang lainnya. Namun, dia lebih pendiam dari yang lain. dia pernah merasakan rindu rumah, terlebih saat sakit dan dirawat oleh teman sekamar.
“Saya jadi ingat orang tua kalau sakit dan teman sekamar saya yang merawat.” ujarnya sambil tersenyum malu-malu. Sekarang, perbedaan di pesantren menjadikan mereka lebih bersyukur bahwa dalam menuntut ilmu, mereka tidak sendiri. Masih ada banyak teman sekitar yang sama-sama berjuang mewujudkan impian.
Penulis | : Moh. Tsabit Husain |
Editor | : Abd. Sa'ed |