Kisah Farhan, Seorang Gamer yang Tak Lupa Cara Belajar
10134 View
-Obrolan Santri Bersama Santri Baru Bagian III-
Muhammad Farhan El-Haqiqi, adalah sosok lelaki berusia 13 tahun yang sekarang menjadi salah satu santri baru di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Kepada Redaksi, ia berbagi cerita prihal kisah hidupnya sebelum berada di pondok ini, atau saat dirinya menikmati hari-hari bersama keluarga dan teman-teman di rumahnya.
Liputan edisi kali ini akan mengulas sosok Farhan. Sosok yang gemar bermain game, kerap pula dimarahi sang ayah. Hingga dikemudian hari, ia sadar betapa orang tuanya ingin mendidiknya menjadi pribadi yang luar biasa.
***
Minggu (11/12) malam, sekitar pukul 21.30, saya beranjak ke salah satu kamar santri baru yang berada di lantai pertama asrama blok G. Tepat di sebelah selatan gedung aula Lubangsa, saya bertemu seorang lelaki yang tidak saya kenal sedang duduk santai di teras kamarnya. Sementara, di dalam kamar G no 2, tampak tidak ada geliat santri, termasuk Farhan (13), sosok lelaki yang sedang saya cari.
“Nggak ada, biasanya sekarang dia lagi beli bakso ke Yono”, jawab lelaki dengan tubuh agak gemuk itu, saat ditanya keberadaan Farhan.
Karena belum ada di kamarnya, saya memilih untuk sekadar membeli makanan ringan ke kantin sufi, lalu menikmatinya di kantor redaksi Muara. 15 menit berselang selepas bercakap-cakap singkat bersama kru pers di sana, saya kembali ke kamar Farhan, untuk memastikan apakah dia sudah ada di sana atau tidak.
“Kak”, tiba-tiba ada suara yang memanggil dari belakang ketika saya sedang berjalan di depan kamar F no 13.
Orang itu ternyata Farhan. Ia baru saja selesai makan bersama dua teman yang berpostur lebih pendek darinya. Seperti biasa, Farhan selalu menggunakan pakaian dengan lengan panjang. Dan malam itu, ia memakai kaos warna biru kesukaannya. Sambil mendekap air botol ukuran 600 ml, Farhan lalu saya ajak berjalan dan duduk santai di teras perpustakaan. Sementara dua temannya tadi, memilih untuk tidak ikut kami.
Pembicaraan malam itu dimulai dengan pertanyaan tentang alasan ia memilih pondok pesantren Lubangsa sebagai tempat belajarnya. Ia berujar, bahwa ibu dan kakaknyalah yang menjadi motivasi kenapa dirinya memilih pesantren Annuqayah Lubangsa sebagai tempat menimba ilmu.
“Motivasi saya mondok sebenarnya karena ummi dan mbak yang alumni sini”, ungkapnya.
Sebagaimana santri baru, saat ditanya tentang betah tidaknya mondok, dirinya mengaku belum sepenuhnya kerasan. Meski jarak rumah dengan pesantren terbilang tidak terlalu jauh, ia mengatakan, masih sering teringat hal-hal di rumahnya, lebih-lebih ingat sama sang ibu. Meski susah kurang lebih lima bulan dirinya menjalani hari-hari sebagai santri baru.
“Awal-awal mondok, saya sering teringat sama ummi. Ya, karena sebelum mondok saya biasa tidur bersama ummi”, ujarnya.
“Bahkan, suatu waktu, siang hari, saya pernah nangis sendirian di maqbaroh K. Amir”, lanjut lelaki kelahiran Ganding itu.
Alasan lain yang membuatnya tidak kerasan di pondok adalah sering teringat teman dan game. Sebelum memutuskan untuk belajar di pesantren, dirinya kerap bermain game bersama teman-temannya, terutama game online, seperti Mobile Lagend, Free Fire, PUBG dan Minecraft. Ketika ditanya perihal game kesukaan, dirinya menyebut game Free Fire (FF) sebagai pilihan utama.
“Kalo saya, lebih suka FF”, ungkapnya, sambil tersenyum.
Bukan hanya sekadar bermain, ia mengatakan, dari saking sukanya, beberapa kali sering topup. Meski kemudian, akun game kesukaannya itu dihack oleh salah seorang teman karibnya.
“Akun saya pernah kena hack sama teman”, ungkapnya.
“Ceritanya, suatu ketika, saya pernah by one dengan teman saya itu. Lalu, dia kalah. Dia mungkin mengubah sandinya lewat adik sepupu saya yang kebetulan di Hp adik sepupu ada akun saya”, kenangnya.
Tidak hanya game online, lelaki yang bercita-cita menjadi polisi itu, juga hobi main game PS2. Game yang sebelum maraknya pengguna android menjadi semacam primadona bagi anak-anak muda. Dirinya sempat menyebut macam-macam game kesukaannya ketika bermain PS dahulu.
“Ya, banyak. Seperti GTA, Rumble Racing, Basara dan Naruto Shippuden.
Ia menegaskan, di antara game itu, Naruto Shippuden menjadi nomor wahid. Meski begitu, baginya, game ini lumayan sulit karena harus melawan musuh yang hebat-hebat. Bahkan, selama ia bermain game tersebut, ada dua karakter yang belum didapat. Yaitu Sasuke muda dan Minato. Saat ditanya karakter pilihan ketika duel, Farhan memilih Lee muda sebagai pilihan utama.
“Kalo karakter jagoan saya, Lee muda. Saya suka karena dia punya jurus mabuk”, ungkapnya,
Lelaki yang gemar membaca komik itu memulai karir bermain game pada tahun 2018 silam, atau ketika dia masih berada di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Sejak saat itu, ia kerap bermain game bersama kawan-kawannya. Dari saking seringnya bermain game, ia juga sering kena marah sama orang tuanya, lebih-lebih sang ayah.
Diketahui, sang ayah cukup tegas dalam urusan membatasi waktu bermain bagi anaknya, terutama dalam membagi waktu belajar dan bermain game bagi Farhan selama di rumah. Dalam sehari semalam, Farhan hanya mempunyai kesempatan bermain game dua kali. Yakni, siang da malam hari,
“Kalo main, siang hari setelah sekolah, dari pukul 12.00 hingga 13.30 karena habis itu ada sekolah diniyah hingga sore hari. Lalu, malam hari dari pukul 20.00 sampai 21.00”, ujarnya sembari mengerutkan dahi.
Sang ayah, menurut Farhan, dikenal sebagai sosok yang tegas soal mendidik anak. Tidak jarang Farhan kena marah bahkan hanya karena urusan yang menurutnya cukup sepele. Saat jam belajar, ya harus belajar, menurutnya. Jika sedikit saja bermain game sebelum waktunya, misalnya, ayahnya pasti akan segera menegur.
*Bukan waktunya main Hp, main Hp. Nggak usah main Hp”, katanya sambil menirukan nada dan ekspresi sang ayah saat memarahinya.
Walau demikian, dirinya menyadari maksud orang tuanya mendidik dengan cara semacam itu. Ia mengatakan bahwa orang tuanya ingin menjadinya pribadi yang sukses di masa yang akan datang. Di samping itu, dirinya juga diajari bagaimana memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
“Kata ummi, agar farhan menjadi orang sukses kelak”, imbuhnya dengan mata sedikit berkaca-kaca.
“Bahkan, saya disuruh agar memperbanyak kegiatan di sini”, lanjut lelaki yang masih termasuk Bani Syarqawi itu.
Atlet Institut Karate-Do Indonesia (INKAI) itu mengatakan bahwa buah dari batasan-batasan dalam belajar dan bermain game dari orang tuanya semasa masih di rumah, adalah bisa mengatur sendiri pola belajar setiap hari di pesantren. Dan semua itu, tidak lepas dari peran orang tuanya yang tegas dalam membagi waktu untuk Farhan.(Red)
Penulis | : Muhammad Syamil |
Editor | : Ikrom Firdaus |
Comments
Tommie
Kamis, 28 Desember 2023I think this is one of the most important information for me. And i am glad reading your article. But want to remark on few general things, The website style is wonderful, the articles is really great : D. Good job, cheers aid ukraine