Dari Purwokerto; Kiprah Sastra Pesantren di Hari Santri Nasional 2018
3105 View
(Laporan Wartawan Koran Lubangsa)
Lubangsa_Kemarin (22/10) dua kru Majalah Muara, Abd. Warits (nama penanya Abdul Warits) dan Ach. Murtafiq (nama penanya R. Key Ageng) diundang menghadiri acara pesantren menulis 4 sekaligus dalam rangka hari santri Nasional 2018. Kami berdua diundang ke sana karena menjadi salah satu nominator lomba cipta cerpen nasional 2018 sekaligus pengumuman juara Lomba cipta Cerpen di Pesantren Mahasiswa (PESMA) An-najah Purwokerto. Dengan bermodal restu kiai, kami berangkat dengan keyakinan berharap semoga kemenangan berpihak kepada kami berdua.
Kami berangkat ketika matahari masig begitu garang menyentuh tubuh. Tepat pada hari sabtu 20 Oktober 2018 jam 13.00 WIB. Magrib kami sudah tiba di terminal Bungur Asih Surabaya. Sebagai santri, sembahyang kami dahulukan. Makan sejenak terlebih dahulu sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke Purwokerto. Akhirnya, kami berangkat dengan menaiki bis patas yang langsung menuju Purwokerto. Sekitar jam 07.00 pagi kami sudah sampai di terminal Purwokerto. Perjalanan yang cukup melelahkan. Di terminal, kami langsung konfirmasi ke panitia, mas Heru Mulyadi dengan temannya. Kami langsung dibonceng menuju pesantren mahasiswa An-najah.
Sebelum kami tiba di sana, ternyata sudah ada yang mendahului kami. Menurut salah satu penuturan panitia di Grup WA ada beberapa orang santri dari Annuqayah juga yang mengikuti lomba baca Puisi di Purwokerto. Panitia pun menyampaikan banyak terimaksih kepada para peserta yang telah meluangkan tenang dan materi dalam rangka memeriahkan hari santri pada tahun ini. Akhirnya, kami bertemu dengan mereka pada pukul 12.00 WIB, selepas Istirahat lomba baca Puisi se jawa Madura. Ternyata mereka adalah salah satu santri Lubtara dan Al-Furqan. Masih berjiwa muda.
Malam senin (21/10) kami langsung disambut oleh pengasuh pesantren mahasiswa An-najah Purwokerto, Dr. KH. Muhammad Roqib. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa pesantren mahasiswa An-Najah adalah pesantren yang tidak hanya fokus pada hal keagamaan saja, tetapi juga mengembangkannnya di dalam dunia literasi terbukti dengan ada even pesantren menulis yang sudah memasuki yang keempat kali. Event pesantren menulis biasanya memang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Tetapi, dengan perlombaan kepenulisan yang berbeda. “Program Pesantren menulis kami upayakan istiqamah setiap dua tahun sekali”ungkap pengasuh.
Dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto itu juga mendukung penuh acara pesantren menulis 4. “seharusnya ada forum-forum sastra pesantren sebagaimana juga ada forum bahsul masail antar kiai pesantren”tuturnya di tengah-tengah sambutannya. Kami cukup bahagia sebab pada malam itu juga kami bertemu dengan para penulis dan nominator dari seluruh penjuru Indonesia dan kami bisa bertukar pengalaman dengan mereka. Acara pada malam itu juga diisi oleh salah satu penulis tamu, Sulfiza Ariska, salah satu cerpenis yang sudah banyak meraih beberapa penghargaan di tingkat perlombaan nasional. Ia baru saja menerbitkan antologi fenomenalnya yang berjudul Siluet Balerina diterbitkan oleh penerbit basabasi. Sulfiza menyampaikan bahwa, “menulis cerpen sama halnya juga dengan menulis riset. Jadi, harus mendalam”ungkap penulis asal Sumatera itu yang menetap di Yogyakarta.
Pada malam itu juga kami ditemani mas Indiana Senja, salah satu cerpenis Indonesia yang sudah ikut acara UBUD WRITERS di Bali sekaligus orang yang membimbing kepenulisan di pesantren mahasiswa An-najah Purwokerto. Beberapa nominator saling tukar pikiran dengan kami di antaranya Sulfiza Ariska, Irwan Apriansyah (salah satu lay-outer penebit Gambang di Yogyakarta, ia juga kenal dengan Salah alumni Annuqayah Lubangsa, Mawaidi D. Mas), Riska Nur Widya,(temannya mas Irwan yang pernah menulis novel berjenis kelamin laki-laki), Muhammad Ibrahim (dari Medan, masih semester V di Universitas negeri Medan), mas Agus (istrinya pernah diundang ke Sumenep dalam rangka lomba cerpen Dinas kearsipan Kabupaten Sumenep Kemarin) dan mas Hud Alam dari Jakarta, mas Khairul Anam, mas Faiz Adittian Ahyar. Akhirnya perbincangan pada malam itu melebur dalam kenangan yang mengesankan bagi kami.
Menuju Simposium Budaya Dan Bedah Buku
Bersama Ahmad Tohari dan Mas Pidi Baiq, Penulis Dilan 1990.
[caption id="attachment_3919" align="alignright" width="300"] Suasana Bedah Buku di Purwokerto[/caption]Siapa yang tidak kenal dengan sastrawan Ahmad Tohari yang pernah mengisi acara seminar nasional di kampus Instika pada acara festival cinta buku (FCB) tahun kemarin? Mungkin sebagian santri sudah pernah membaca karyanya yang sangat fenomenal yaitu Ronggeng Dukuh Paruh. Tokoh sastrawan asal Banyumas Jawa Tengah tersebut ternyata juga salah satu jebolan pesantren.
Lalu, bagi kalian anak muda, barangkali sudah mengenal mas Pidi Baiq, salah satu penulis novel Dilan 1990. Novel ini sangat fenomenal bagi kalangan anak muda. Mas Pidi Baiq salah satu penulis karya sastra pop di Indonesia. Ia salah satu alumnus ITB (Institut teknologi Bandung), maka pantas saja jika ia menulis tentang kehidupan anak muda dengan sepeda motor gengnya sebab penulis memang menulis apa yang dekat dengan dirinya. Tidak jauh-jauh sehingga tulisannnya mendalam dan bisa dibaca oleh khalayak.
Senin (22/10) pagi itu kami diantar panitia dari pesantren mahasiswa An-Najah menuju Auditorium IAIN Purwokerto. Kami istirahat sejenak sebelum dipersilahkan masuk oleh panitia. Kami disambut dengan musik kentongan Banyumasan. Sangat mendebarkan di tengah keramaian penonton yang hadir menyambut kedatangan kami sebagai nominator.
Kemudian kami menyimak penyajian yang disampaikan oleh Ahmad Tohari dan Pidi Baiq. Seminar pada hari itu bertema “bulan bahasa sebagai momen kebangkitan sastra pesantren”. Dalam penyampaiannya, Ahmad Tohari menyatakan bahwa sastrawan adalah orang yang ikhlas memperjuangkan realitas sosial sehingga dalam hal ini sastra menjadi jembatan antara hati nurani dan realitas sosial. Pidi Baiq juga menyampaikan bahwa dirinya sebenarnya bukan penulis karena penulis memang harus dituntut profesional dalam melahirkan tulisannya. Ia malu dikatakan sebagai penulis karena novel dilannya banyak sekali yang tidak mematuhi kaidah baku bahasa Indonesia. Novel dilan hanya banyak senda gurau dan lebay yang ada di dalamnya. Seperti rindu itu berat, biar aku saja.
Pidi Baiq ingin menyampaikan bahwa ketika orang-orang sedang serius dengan permasalahan negeri Indonesia. Justru, ia ingin menyelesaikan masalah dengan guyon. Sebab, dalam guyon, ada hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran berharga. Pengumuman juara pun diumumkan dan kami gagal menjadi juara. Setidaknya kami sudah berusaha berkarya untuk menghadiri undangan panitia. Sebab tugas kita sebagai sesama muslim hanya untuk memenuhi undangan. Masalah pemenang barangkali kita serahkan kepda yang maha kuasa. Setidaknya kami sudah menjadi pilihan dalam antologi cerpen yang berjudul Sundul Langit itu.
Selepas bedah buku kami langsung menuju pesantren mahasiswa An-najah yang diantar oleh panitia. Kami dipersilahkan makan siang terlebih dahulu kemudian shalat dan beristirahat sejenak. Lalu, pada sore hari, sebelum pulang ke Sumenep, kami sowan ke Pengasuh, K. Muhammad Roqib untuk pamit pulang. Beliau menitipkan salam kepada penulis-penulis alumni Annuqayah yang sudah pernah ke sana. Salah satunya mas Raedu Basha., A’yat Khalili dan lainnya. Menjelang magrib, kami diantar panitia ke terminal. Dan selamat tinggal Purwokerto...!!! selamat hari santri Nasional...!