Idealisasi Sastra Sejak di Bangku Sekolah
9387 View
Judul : Testimoni Kepergian
Penulis : Gemilang L, Dkk.
Penerbit : Sufiks
Cetakan : Maret, 2020
Tebal : 98 halaman
ISBN : 978-623-92891-2-6
Buku antologi dengan judul Testimoni Kepergian ini merupakan kumpulan puisi dan cerpen dari siswa kelas akhir Madraah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep tahun 2020. Hadirnya buku ini sebagai bentuk pelaksanaan kata-kata. Artinya, seorang siswa tidak hanya dicekoki dengan teori-teori pelajaran sastra puisi dan cerpen dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang hanya sebatas formalitas semata. Mereka juga terlibat di dalam bersastra dalam aktivitas kehidupan dan menuliskannya menjadi keabadian.
Kehadiran buku ini ke hadapan pembaca tentu dalam rangka memadukan antara idealisasi sastra Indonesia ke dalam realitas. Sastra tidak hanya dikaji di ruang-ruang sekolah tetapi diejawantahkan dalam praktik, sebagi bentuk menghidupkan sebagian dari nilai-nilai sastra. Karenanya, gerakan ini mencoba membumikan paradigma dalam diri siswa untuk senantiasa terus mereproduksi kata, merawatnya, dan mengembangkan ide dan gagasannya menjadi imajinasi sehingga akan muncul bibit penyair yang diperhitungkan dalam kancah kesusastraan Indonesia.
Sebagai seorang pelajar, kenangan selama menempuh pendidikan di bangku sekolah, pesantren, dan berinteraksi dengan para guru merupakan momentum yang tidak dilupakan dalam hidupnya. Interaksi mereka dengan lingkungan sosialnya akan menimbulkan beberapa perasaan yang dirasakan secara personal dalam dirinya. Seperti termanifestasikan dalam sajak Gemilang L yang diperuntukkan kepada gurunya, K. Qusyairi: Alangkah manis katamu/ketika aku dalam keadaan dahaga lembar cahaya/sulit menakar bahasamu/yang begitu mengalir/menuju taman-taman bunga. (hal. 03)
Dalam perspektif sosiologi Emil Durkheim, perasaan keagamaan bersifat personal dan perasaan ini akan semakin mendalam jika dilakukan secara bersamaan dalam ritual yang bersifal komunal. Kebiasaan bersekolah akan menciptakan kenangan menjadi pengalaman puitis bagi seorang siswa apalagi kebersamaan yang dijalani dengan lingkungan sosialnya selama berada di Madrasah memberikan efek pengalaman puitik dalam dirinya. Seperti sajak Guz_Ash yang berjudul “Ayat-ayat Kenangan”:Saban hari kita menyiapkan cerita-cerita/tentang perjalanan dunia fana/yang kadang dibumbui bahasa/yang bergitu sederhana. (hal.36)
Oleh sebab itu, puisi yang terangkum di dalam buku ini tidak hanya dituliskan kepada seseorang yang pernah berinteraksi dengan penulisnya. Di lain sisi, mereka menjadikan almamater (Madrasah), teman sekolah, sebagai objek dan inpirasi dalam penulisan puisinya. Seperti yang ditulis oleh Imron Efendy, Firmansyah Evangelia, atau cerpen dengan judul Surat Kepada Guru yang ditulis oleh Faiki Hakiki. Afandi Long’s menggambarkan sekolahnya sebagai pahlawan. Sebagaimana termaktub dalam sajaknya Seperti pahlawan/sudah sepantasnya kau menjadi kenangan (hal.32).
Saya menganalogikan perasaan keagamaan tersebut dengan pengalaman puitik di dalam buku antologi ini. Kebiasaan bersekolah, berinteraksi dengan guru, teman, almamater sekolah yang dilakukan saban waktu sangat kentara diungkapkan. Hal tersebut terjadi karena beberapa penulis dalam buku ini telah bersinggungan dengan sosialnya dalam ruang lingkup kelas, sekolah, teman, bangku, dan lain sebagainya yang dilakukan dalam kebiasaan setiap harinya sehingga bisa jadi menjadi semacam ritual seorang siswa. Akan tetapi, diksi-diksi yang dimunculkan justru tidak begitu muncul dalam sajak di antologi ini.
Beberapa penulis di dalam antologi ini memang menunjukkan kesaksiannya tentang kepergian dalam bentuk pengalaman puitik yang menyentuh hatinya seperti diekpresikan oleh sajak Hornor Rofiq: ada yang lebih kencang berlari/serupa kuda mengentak dalam hati/kau dan sebungkus kenangan/pulas tertidur dalam ingatan/suara-suara menggema dalam dada/nama kau paling nyaring senantiasa/wahai, siapa yang paling piawai meredam/masa lalu yang terus lebam/ketika segala terungkap dalam pandang/menjelma kau sebagai kenang yang kekal dalam kening. (hal. 50). Hosnor Rofiq ingin mengatakan bahwa kenangan selama dirinya melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya telah membuat dirinya tidak mampu melupakan lebam masa lalu yang senantiasa mengiang di hatinya. Sebab, dirinya pernah melakukan interaksi secara dhahir (tampak) dengan objek tulisannnya. Entah, guru, sekolah, teman dan lain sebagainya.
Selain itu, sajak Shant yang berjudul Perpisahan: kenangan/penuhi/keranda/perjalanan/untuk/kusimpan/sebagai/bekal/masa/depan. (hal. 22). Puisinya ditulis dengan sangat pendek. Tetapi, Shant benar-benar ingin membawa kenangan itu pergi bersamanya. Maka, kepergian identik dengan perpisahan. Pengalaman berpisahnya penulis dalam antologi ini dengan sosialnya yang pernah dialami selama bertahun-tahun menjadi pengalaman puitik yang tersimpan sebagai kenangan. Peristiwa ini jelas sebagai realitas sosial tetapi hanya kata-kata yang akan mengabadikannya menjadi testimoni dari seorang calon penyair muda. Semoga!
* Abdul Warits, Pengurus Kepustakaan, Penerbitan dan Pers (KP2) Annuqayah daerah Lubangsa .
NB : Resensi ini dimuat di Koran Jawa Pos Radar Madura.