K. Moh. Ali Fikri Mengingatkan Tata Tertib Santri
5076 View
Sabtu malam (28/1) setelah jamaah shalat isya, pengasuh PPA. Lubangsa, K. Moh. Ali Fikri, sebelum keluar dari masjid jami’ Annuqayah, beliau menjelaskan beberapa hal tentang tata tertib santri didepan semua santri.
Pada poin pertama yang beliau sampaikan yaitu mengenai perizinan santri. Beliau menyinggung yang segaligus memberikan contoh tentang adanya tiga santri yang minta izin pulang dikarenakan kakeknya meninggal. K. Fikri—panggilan akrab K. Moh. Ali Fikri—telah memberi izin pada mereka (3 orang, red) sampai tiga hari wafatnya. Namun, mereka mebihi waktu yang telah ditentukan. Sehingga K. Fikri memberi perhatian khusus kepada ketiganya dengan memberi sanksi tidak boleh pulang sampai liburan bulan Rhamadan, kecuali sakit parah. “ini kalau saya biarkan kemungkinan akan merambat pada santri yang lain,” tuturnya.
K. Fikri menambahkan, bahwa jika santri sudah tidak mengindahkan batas atau peraturan yang telah ditetapkan, maka hal itu menandakan bahwa santri itu tidak disiplin lagi. “jika orang tuanya atau saudaranya yang meninggal, maka saya beri waktu izin minimal tujuh hari,” ujarnya.
Beliau juga memberi tahu dan juga meminta agar apabila ada santri yang akan pamit berhenti atau izin pulang di pagi hari sampai siang supaya hendaknya selain pada hari Sabtu, Senin dan Selasa, karena pada waktu-waktu itu beliau mempunyai tugas mengajar di MA I Annuqayah, kecuali di sore hari. “kalau dihari-hari itu, saya jangan diganggu dulu, biar saya ada waktu untuk mengajar,” jelasnya.
Karena menurut beliau, tamu harus juga bisa mengerti dan memperhatikan waktu. “tamu jangan hanya memperhatikan waktu luangnya sendiri, tanpa memperhatikan orang yang akan ditemui untuk bertemu,” tambahnya.
Selain hal diatas, beliau juga menyinggung santri yang masih riuh saat iqamah dikumandangkan. Beliau menganjurkan agar santri bisa diam saat iqamah itu telah dikumandangkan. “jika iqamah sudah dikumandangkan, maka apabila ada rapat, dijeda dulu dengan kalimat ‘lanjutkan nanti ya’,” jelasnya sambil tersenyum. “Tetapi, lanjutnya, sangat tidak pantas rasanya apabila santri berbincang-bincang di dalam Masjid. Iya kalau tidak bisa, jika iqamah dikumandangkan usahakan diam,” tambahnya.
Kemudian, beliau juga menyinggung tentang kerapian sandal. Beliau menceritakan bahwa saat beliau lewat dari selatan waktu akan mengimami shalat jamaah di Masjid, beliau melihat sandal yang ada di Selatan Masjid tidak rapi, padahal waktu beliau selalu lewat dari utara selalu rapi. Mungkin menurut beliau tidak rapinya itu karena beliau tidak lagi lewat dari Selatan.
“Berarti santri ini dulunya Cuma berniat mendinginkan dan menghibur hati saya saja. Padahal ini merupakan bentuk pelatihan kedisiplinan terhadap saudara. Mari mulai kedisiplinan saudara dari hal yang kecil seperti ini,” pungkasnya.
Penulis : Nur Mahmudi
Editor : Misbahul Munir